Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 ~ Murahan
Bab 8
Biasanya Adel sangat menikmati hari off di weekend, tapi kali ini tidak. Ingin segera melewati dua hari ini dan cepat bertemu dengan senin untuk menagih janji Zahir. Mereka harus segera bicara dan Zahir menjanjikan hari senin.
Berangkat lebih awal bukan karena menghindari kepadatan di jalan dan angkutan umum di senin pagi, tapi ingin segera bertemu Zahir. Menggunakan motor tidak sampai satu jam ia tiba di kantor.
Masih setengah jam lagi sebelum jam kerja dimulai, sebagian besar karyawan masih berada di jalan. Keluar dari lift melangkah menuju ruang kerjanya, melewati ruangan Zahir. Sudah ada Neli di sana, sepertinya baru datang.
Meski ragu, Adel menghampiri.
“Pagi, Mbak Neli.”
Neli pun menoleh sambil menghidupkan komputer dan menata dokumen. “Pagi,” jawabnya.
“Pak Zahir, sudah datang mbak?”
Neli menatap heran dan tajam pada Adel. Khawatir diduga sedang mengejar atau posesif pada atasan mereka, Adel pun menjelaskan meski tanpa ditanya.
“Saya mau tanya masalah rekomendasi.”
“Hari ini jadwal bapak padat, dia ada rapat manajemen. Sepertinya kamu tidak bisa bertemu beliau karena siang nanti ada pertemuan dengan klien untuk lobi kerjasama,” tutur Neli menatap layar tablet menjelaskan jadwal Zahir.
Adel mengangguk paham, padahal ia ingin sekali menyampaikan agar dihubungi kalau Zahir sudah selesai rapat. Toh, tidak akan lama bicara dengan pria itu. Namun, nyalinya ciut, apalagi wajah Neli tidak bersahabat.
“Sabar aja, nanti juga rekomendasinya keluar,” cetus Neli.
“I-ya mbak.”
“Kamu nggak niat melobi dengan hal lain ‘kan?”
Tidak paham dengan maksud Neli, Adel mengernyitkan dahi. “Maksudnya, mbak?”
“Saya sudah biasa menghadapi staf kayak kamu, entah itu yang masih magang atau karyawan tetap. Bertemu dengan bapak bukan sekedar urusan kerja, tapi ada hal lain. Merayu atau meminta sesuatu.”
“Tapi … saya tidak begitu. Untuk apa saya merayu Pak Zahir?”
Neli mengedikan bahu.
“Adel.”
Mendengar dipanggil Adel pun menoleh, sedangkan Neli kembali fokus dengan layar komputer.
“Ngapain di sini?” tanya Mona sudah berdiri di sampingnya tepat di depan meja Neli.
“Tadinya mau bertemu Pak Zahir, tanya masalah surat rekomendasi.”
“Oh, biar nanti aku yang tanya,” sahut Mona. “Kamu ke ruangan saja, aku yang tunggu di sini.”
Tidak ingin memaksa untuk tetap bertemu Zahir dan membiarkan Mona yang niatnya karena ucapan Neli. Adel memilih pamit menuju meja kerjanya. Tidak sampai sepuluh menit Adel pergi, Zahir pun tiba. Neli dan Mona menyapa pria itu.
“Kebetulan, saya ada perlu dengan kamu,” ucap Zahir pada Mona.
“Pak, Jam sembilan ada meeting dengan presdir.”
“Hm. Masuk!” titah Zahir pada Mona dan mengabaikan ucapan Neli.
Mona pun tersenyum lebar dan melambaikan tangan seolah dia pemenang pada Neli.
“Kunci pintunya!” titah Zahir.
Mona pun patuh, gegas ia mengunci pintu dan menghampiri Zahir yang sudah melepas jas kerjanya.
“Kemari!”
“Masih pagi kali, pak,” sahut Mona. Sepertinya sudah paham yang diinginkan Zahir.
“Nggak usah cerewet. Satu jam lagi saya harus rapat, tapi saya butuh pelep4san. Bantu saya dan besok surat rekomendasi untuk kalian sudah ada di meja HRD.”
“Oke, siapa takut,” ujar Mona lalu menuruti apa yang diinginkan Zahir.
***
Abi membawa nampan berisi secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul.
“Bapak ada?” tanyanya pada Neli. Minuman yang biasa dia siapkan untuk atasannya setiap pagi. Seharusnya dia antar lebih awal, tapi ada staf yang menitip sarapan dan sempat terjebak saat menunggu lift yang antri membuatnya harus melewati tangga darurat dan tiba lebih lambat.
“Ada, tapi ….”
Terdengar suara pintu dibuka dan keluarlah Mona. Bukan hanya Neli yang menatap wanita itu, Abi pun sama.
“Kalian kenapa, kayak nggak pernah lihat perempuan cantik aja,” ujar Mona sambil berlalu.
“Dih, pede banget,” cetus Neli.
Abi tersenyum sinis. Sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam dan apa yang dilakukan Mona. Rambut perempuan itu agak berantakan begitupun blazernya.
“Saya ke dalam ya mbak,” ujar Abi.
“Jangan dulu deh atau taruh sini nanti saya yang bawa ke dalam. Kamu paham maksud saya ‘kan?”
“Oh, iya.”
Sepertinya Neli khawatir, Zahir belum siap setelah sesi pertemuan plus-plus dengan Mona. Bukan tanpa alasan kenapa Neli bisa tahu dan paham karena sudah mengerti seperti apa Zahir, bagaimana brengs3knya pria itu. Karena dia pernah beberapa kali mengikuti permintaan dan permainan Zahir. Diakuinya kalau pria itu memang royal, akan memberikan uang atau barang setelah mereka bersama.
“Padahal hotel banyak, kenapa harus lakukan di kantor,” cetus Abi dengan wajah sinis. Ternyata Zahir tipe atasan yang memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi. Dalam hati ia berpikir apa pimpinan perusahaan tahu sebej4t apa Zahir.
Kembali ke pantry yang letaknya bersebelahan dengan toilet. Hampir saja ia bertabrakan dengan Mona yang baru keluar dari toilet.
“Ck, ngagetin aja.”
“Mbak Mona yang keluar tanpa aba-aba, kenapa saya dibilang ngagetin,” seru Abi dan mengabaikan Mona lalu memasuki pantry. “Justru dia bikin kaget sama kelakuannya.”
“Eh, ngomong apa kamu?” ternyata Mona malah ikut juga ke pantry. “Bikinin saya es jeruk dong!”
Mona sudah duduk sambil mematut wajahnya dengan layar ponsel.
“Nggak ada mbak, di sini bukan warmindo. Hanya ada teh, kopi dan air mineral. Silahkan buat sendiri, saya sibuk.”
“Cuih, banyak gaya kamu. Cuma jadi Ob doang aja.”
“Memang kenapa dengan OB?” tanya Abi sedang melap meja sambil menatap Mona.
“Iya itu kamu, sombong. Kecuali kamu tuh direktur atau anak yang punya perusahaan, boleh lah banyak gaya. Gaji kamu paling habis buat makan doang, jangan sok sibuk. Kerja seperlunya saja karena OB nggak akan naik jabatan jadi direktur.”
Abi menanggapi Mona yang menghinanya dengan sikap biasa dan acuh, tidak terpengaruh. Hanya menatap dengan raut wajah datar.
Merasa tertantang Mona pun beranjak dan menghampiri Abi berdiri berhadapan.
“Kamu memang ganteng,” ujar Mona menyentuh bahu Abi dengan telunjuknya. “Tapi sayang bukan tipe aku, karena apa … kamu nggak berduit. Cukup yang lain aja mengagumi kamu, aku nggak.”
Mona pun meninggalkan pantry. Abi mengusap bahu yang disentuh Mona seakan mengusir debu yang menempel dan meninggalkan bakteri yang mungkin membuatnya sakit.
“Kamu juga bukan tipeku, murahan.”
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan