Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Putus Asa
Yoga berbalik pergi, tetapi mata Rima justru tak mau lepas. Ada sesuatu pada lelaki itu, ketenangan yang dingin, postur tegap tanpa perlu kemewahan. Senyumnya jarang, tatapannya dalam, dan itu cukup membuat dada Rima berdebar aneh.
"Anak muda seperti ini… tidak rakus, tidak sok kaya. Hanya dengan melihat cara ia berdiri saja, aku tahu dia bisa menjaga diri. Ah, Rima… apa kau mulai gila?"
Riri menyipitkan mata. Dari sudut bibir ibunya, dari caranya melirik, ia bisa membaca arah pikirannya. Gadis itu mendengus kasar, sengaja menatap Yoga dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan.
“Bu, jangan bilang Ibu tertarik sama orang kayak dia? Cuma modal tampang, motor butut, sama gaya sok cool? Please deh.”
Rima menoleh cepat, seolah tersadar. Senyum tipisnya ditarik, menutupi sesuatu. “Kamu ini, Riri. Bisa saja. Ibu cuma menatapnya biasa kok…”
Tapi dalam hati, Riri tahu, ibunya sudah mulai goyah.
Dan Yoga, meski tak menoleh lagi, seolah tak peduli, entah sadar atau tidak, kini berada di jalur perhatian seorang perempuan yang terkenal mudah jatuh hati… dan sama mudahnya meninggalkan.
Yoga naik ke motornya. Namun sebelum memakai helm, ia menghubungi seseorang.
"Selidiki siapa saja keluarga Kevia," ujarnya tenang namun tanpa bisa di bantah. Ia mengakhiri panggilan lalu meninggalkan rumah Rima. "Aku tak percaya gadis itu genit, apalagi penggoda," gumamnya pelan.
***
Malam kian larut. Lampu jalan redup menyinari kontrakan sederhana di gang sempit itu. Ardi duduk di teras dengan wajah letih, jari-jarinya menelusuri lembaran uang yang jumlahnya tak seberapa. Kertas-kertas lusuh itu ia hitung berulang kali, seakan berharap jumlahnya bisa bertambah hanya dengan tatapan.
Tapi nyatanya tetap sama.
Jumlah yang terlalu sedikit.
“Uangku gak bakal cukup… buat cuci darah Kemala besok,” gumamnya lirih. Suaranya parau, nyaris tenggelam dalam suara jangkrik malam.
Ia menunduk, bahunya berguncang halus. Wajahnya ditelungkupkan ke kedua telapak tangannya. Sesak. Napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh beban hidup yang tak memberi ruang untuk bernapas. Perlahan, ia mendongak ke langit gelap, matanya terpejam rapat, mencoba menahan air mata. Tapi akhirnya, setetes demi setetes menuruni pipinya.
“Kemala…” suaranya pecah, bergetar. “Aku masih ingin bersamamu lebih lama. Tapi…” Ia berhenti, menahan isak. “Tuhan… aku tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Semua akan kembali pada-Mu. Tapi… aku belum bisa melepasnya.”
Tangisnya pecah, meski berusaha ditahan. Sesekali terdengar suaranya parau, memanggil nama istrinya di sela doa yang patah-patah.
Dari balik pintu yang sedikit terbuka, Kevia berdiri terpaku. Tubuhnya bersandar lemah di kusen, matanya sembab menatap punggung ayahnya yang terguncang oleh tangis. Kata-kata ayahnya barusan seperti belati yang menancap ke dadanya.
“Aku juga belum siap kehilangan ibu…” batinnya menjerit. Tenggorokannya tercekat, nyeri, seolah ada batu besar yang menyumbat suaranya keluar.
Air matanya jatuh, membasahi pipi tanpa ia sadari. Ia menyapu kasar, tapi semakin deras.
"Aku harus gimana?" hatinya tertekan. Ia tahu benar, telat satu hari saja ibunya tidak cuci darah, nyawanya bisa terancam.
Kevia menunduk, meremas ujung bajunya sendiri. Beberapa hari ini ia sudah berkeliling mencari pekerjaan, namun selalu pulang dengan tangan kosong. Kini ia menyandarkan tubuhnya pada dinding kontrakan yang catnya sudah mengelupas, dingin dan lembap, namun seolah menjadi satu-satunya penopang di tengah rapuhnya dirinya.
Di luar sana, Ardi masih berdoa dengan suara bergetar. Di dalam, Kevia menangis diam-diam, menanggung perih yang sama.
Dua hati yang sama-sama hancur, terikat oleh cinta yang tak ingin kehilangan orang yang mereka kasihi.
***
Hari sudah sore ketika Kevia akhirnya pulang. Keringat masih membasahi pelipisnya setelah seharian berkeliling mencari lowongan. Baru saja ia melepas sepatunya, suara panik ayahnya dari dalam kamar membuatnya terperanjat.
“Kemala…! Astaga, Kemala!”
Kevia bergegas, hampir terjatuh ketika melangkah tergesa masuk ke kamar. Pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang terbaring dengan tubuh bengkak. Wajah Kemala pucat pasi, bibirnya membiru, dadanya naik turun cepat dengan napas tersengal.
“Ibuu!” seru Kevia kalut, mendekap tangan dingin sang ibu.
Ardi berdiri di sisi ranjang, matanya penuh panik. “Kevia, ibumu sesak… kita...kita harus bagaimana...” tangannya gemetar meraih botol air minum, namun Kemala menggeleng lemah, menahan mual.
“Ardi…” suara Kemala parau, tertahan di tenggorokan. Tangannya meraba dada, wajahnya menegang menahan sakit. “Aku… mual…”
“Ya Tuhan…” Ardi berjongkok di samping ranjang, tangannya tak tahu harus berbuat apa. Keringat dingin membasahi wajahnya.
Kevia menahan tangisnya. “Kita harus segera ke rumah sakit, Yah! Kalau telat lagi…”
Ardi mendongak, matanya merah, air mata hampir tumpah. “Tapi… uangnya, Kevia. Uang kita belum cukup…”
Seketika dada Kevia sesak, tangisnya pecah. Ia menunduk, menekan wajahnya di samping ibu yang terus terengah.
"Tuhan, jangan ambil Ibu sekarang…"
Suara isakan bercampur dengan deru napas berat Kemala yang semakin tersengal. Aroma obat dan tubuh sakit memenuhi kamar sempit itu, menambah mencekam suasana.
Kevia menatap ayahnya dengan putus asa. “Ayah… apa pun caranya, kita harus bawa Ibu ke rumah sakit malam ini juga!”
***
Waktu seolah berjalan lambat di ruang tunggu rumah sakit. Lampu neon di atas kepala berpendar dingin, membuat suasana kian menyesakkan.
Ardi duduk gelisah, jemarinya saling menggenggam erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangannya tak bergeser sedikit pun dari pintu ruangan tempat Kemala sedang ditangani dokter.
Di sisinya, Kevia berusaha tegar, meski hatinya bergetar hebat. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penghakiman tak kasat mata.
“Ya Tuhan… selamatkan Ibu,” bisiknya lirih, suaranya hampir hilang ditelan dengung rumah sakit.
Ardi menunduk, wajahnya dilingkupi bayangan putus asa. “Kemala… aku suami tak berguna. Suami gagal,” gumamnya, tangannya meremas rambut sendiri. “Tuhan… aku bahkan belum sempat menebus kesalahanku. Belum sempat membahagiakan istriku…”
Kata-kata itu menancap di dada Kevia, menghujam bagai seribu pisau. Air matanya nyaris pecah, tapi ia menahan. Ibunya yang tengah berjuang di balik pintu, obat yang tak mampu mereka beli, dan kini ayahnya yang tampak kehilangan pijakan hidup, semuanya terasa terlalu berat.
"Jika Ibu tiada… apa Ayah mampu bertahan?"
Kevia menggenggam erat tangannya sendiri.
Selama delapan belas tahun hidupnya, ia menjadi saksi betapa ayahnya bekerja keras, membanting tulang agar ibunya tetap bisa berobat. Hampir enam tahun ini, ia melihat sendiri bagaimana ayahnya rela diinjak, dihina, bahkan diperbudak Rima demi biaya cuci darah sang istri.
Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang tak pernah padam. Tatapan cinta. Cinta yang tak goyah, meski tubuh ibunya melemah dan hanya tinggal tulang. Cinta yang tetap setia, meski Rima, istri kedua ayahnya, lebih sehat, lebih berkuasa, dan punya segalanya. Bahkan ketika mereka dilarang berdekatan, ayahnya tak sekalipun berpaling.
"Mereka saling mencintai begitu dalam… seperti satu tubuh, satu jiwa. Jika Ibu pergi… Ayah pasti runtuh. Dan aku… aku akan kehilangan segalanya."
Sesak. Oksigen seakan habis tersedot dari udara. Dadanya menolak udara, kepalanya berdenyut. Dengan sisa tenaga, Kevia bangkit, melangkah gontai menuju toilet.
Begitu pintu bilik tertutup rapat, tubuhnya ambruk. Ia menutup mulut agar isaknya tak terdengar. Namun tangis itu pecah juga, deras dan tak terbendung, seperti bendungan yang jebol oleh arus banjir.
“Ibu bisa cuci darah… tapi obatnya… kalau tanpa obat, Ibu gak akan bertahan lama…” suaranya parau, tertelan isak.
Tiba-tiba suara langkah masuk. Dua perempuan terdengar bercakap pelan, tapi cukup jelas untuk telinga Kevia yang masih tercekat tangis.
“Om yang sama aku semalam kasih tip banyak banget. Tapi gila, dia ganas. Pinggangku rasanya patah… sampai lecet.” Suara perempuan pertama lirih, bercampur tawa getir.
Keran dibuka, air mengalir sebentar lalu berhenti. Perempuan kedua terkekeh. “Kamu 'kan udah biasa. Masa masih lecet juga? Kayak perawan aja.”
“Halah, kamu gak tahu. Dia beda banget. Tapi ngomong-ngomong soal perawan… kemarin ada yang jual perawannya, cuma lima puluh juta.”
Kevia terdiam, napasnya tercekat.
“Masa cuma segitu? Kalau cantik bisa seratus, bahkan lebih. Aku dulu tujuh puluh.”
“Aku juga. Eh, udah ah, ayo. Ntar giliran kita kelamaan, pemeriksaannya kelewat. Jangan lupa rutin cek kesehatan. Gak semua hidung belang itu bersih.”
Suara pintu berderit, lalu menutup. Sepi kembali.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Dengan suara yang nyaris pecah, ia berbisik, “A… aku ingin menjual… keperawananku. A… apa Bapak bisa bantu?”
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰