"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah selir kerajaan Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan karena trah mereka lebih unggul. Tapi ternyata ini berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak. Maafkanlah mbah Demang ya Nduk," ucap Mbah Demang padaku seraya mengatupkan kedua tangannya padaku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
"Tak apa. Jangan pikirkan kain jarik yang kupakai. Yang penting tanganmu tak memerah seperti itu agar tidak terasa panas lagi. Kain jarik masih bisa kubeli lagi. Di pasar, di Dhaha, atau bila sewaktu-waktu ke Japan. Tapi rasa sakit ditanganmu, apa kamu bisa menahan rasa sakitnya barang sedikit saja?" Tanya Raden Soemitro dengan nada begitu lembut.
Raden Soemitro menyodorkan jagung rebus pada gadis itu.
"Itu jagung pemberian dari ibuku. Makanlah dengan segera. Aku tahu dari tadi kamu belum makan sama sekali. Aku takut kalau kamu jatuh sakit," kata raden Soemitro.
"Iya raden. Di rumah juga tak ada makanan sama sekali."
Gadis itu meraih jagung pemberian raden Soemitro dan memakannya dengan lahap.
"Apa aku perlu kembali ke rumah untuk mengambil nasi jagung untukmu?" Raden Soemitro menawari gadis itu.
"Tidak perlu Raden. Jagung ini sudah lebih dari cukup untukku. Terima kasih," ucap gadis itu.
Saat gadis itu menyebutnya dengan sapaan raden, itu membuat raden Soemitro terkesiap. Darimana gadis itu tahu bahwa ia seorang Raden? Apakah ia mendengar percakapanku dengan Paijo semalam? Ia urung menanyakan hal itu pada gadis itu.
"Bila Raden berkenan, saya harap datanglah ke acara buka selambuku di desa Redjo, di pasar desa sebelah pagi hari ini, saat matahari terbit sepenggalah. Bila Raden berkenan, mohon dengan sangat, belilah saya agar saya terbebas dari acara buka selambu ini," pinta gadis itu terlihat pasrah dan seakan tak memiliki harapan untuk hidup lagi.
Setitik bayangan air mata gadis itu tampak jatuh di lantai membuat hati Raden Soemitro tergores begitu sakit.
"Berapa hargamu?" Tanya Raden Soemitro dengan nada bergetar karena ia begitu menahan nyeri di ulu hati.
Tak pernah terbayang dalam kamus kehidupan Raden Soemitro bahwa ia akan menjalani drama kehidupan yaitu membeli sebuah tubuh seseorang wanita yang dijadikan sebagai ajang pelelangan, sebagai ajang pembelian sebuah keperawanan seorang gadis yang masih memiliki selaput dara serta sebagai ajang pelampiasan seksual sesaat dari kaum lelaki hidung belang pada seorang yang berjenis kelamin perempuan. Adat macam apa ini yang begitu merendahkan sebuah harkat dan martabat sebagai perempuan?
"Kudengar, mereka mematok harga lima ratus keping uang gobog pada buka selambuku. Kata keluarga, itu harga yang pantas untukku."
"Aku mohon maaf sebelumnya. Aku tak tahu, apakah aku mampu membelimu ataukah tidak? Ini bukan tentang masalah uang. Sama sekali bukan. Tapi posisiku yang tak memungkinkan untuk melakukan itu. Tapi, aku akan berusaha untuk membebaskanmu dengan caraku sendiri. Entah nanti cara itu berhasil ataupun tidak, hasilnya akan seperti apa, aku juga tak bisa memberi sebuah janji. Yang penting, aku telah berusaha untuk membebaskanmu dari belenggu itu. Tentang apakah aku bisa datang ke acara itu ataukah tidak? Maaf aku tidak bisa memberi sebuah kepastian padamu. Tapi aku akan tetap berusaha dan mengusahakan untuk datang," ucap Raden Soemitro dengan tertunduk lesu karena ia merasa tak mampu melindungi seorang perempuan yang berada di wilayah kekuasaannya karena berlawanan dengan adat istiadat yang berada di wilayah tersebut.
Soelastri semakin bertanya dalam hati. Raden ini memiliki posisi jabatan apa hingga ia tak bisa melindunginya? Ia juga urung menanyakan hal itu pada lelaki di hadapannya karena ia merasa sungkan.
Ayam telah berkokok tanda hari telah berganti pagi. Bintang fajar juga terlihat mulai muncul dan bersinar terang di ufuk timur, menandakan telah memasuki waktu salat subuh.
"Aku harus pergi. Hari sudah mulai pagi. Tak enak rasanya bila orang lain sampai tahu aku bermalam di sini karena kita tidak memiliki ikatan apapun. Bila tanganmu masih terasa panas, basahilah kain jarik itu dengan air. Bila kamu berkenan, datanglah ke rumahku yang berjarak tiga kilometer dari sini. Ibuku sedang membutuhkan seorang guru agama dan guru mengaji. Aku tahu kamu bisa mengaji dengan fasih. Saat sebelum kejadian itu, aku tengah mendengarmu mengaji dengan nada yang indah sekali. Bila bertanya rumahku, bilang saja Dalem mbah Ibu. Aku pamit. Mohon jaga diri dengan baik," pesan raden Soemitro pada gadis itu.
"Iya Raden."
Raden Soemitro segera menghampiri kuda dan melajukannya dengan kecepatan sedang di pagi buta. Pikiran berkecamuk. Ingin rasanya ia melindungi gadis itu, tapi ia juga belum tahu tata cara dan aturan tentang acara buka selambu di daerah Redjo seperti apa. Bisa digagalkan ataukah tidak? Hal itu begitu memenuhi pikiran raden Soemitro saat ini.
Sesampainya di rumah, Raden Soemitro langsung ke kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya untuk menghalau segala kalut dan gundah yang memenuhi pikiran dan hatinya. Seusai pikirannya tenang, ia mengambil kotak penyimpanan dan menumpahkan seluruh isinya.
Krompyang
Uang dobog, uang gepeng, uang dollar Spanyol tampak berhamburan dari sana. Uang ini begitu banyak. Tapi bagi Raden Soemitro, uang ini seakan tak ada gunanya dihadapannya. Uang ini tak berguna untuk menolong gadis itu.
Apakah pantas seorang Demang yang masih perjaka menghadiri acara semacam buka selambu seorang gadis? Seorang Demang yang seharusnya melindungi warga malah akan membeli tubuh warganya hanya untuk kepuasaan sesaat? Pertanyaan itu berkecamuk di pikiran Raden Soemitro. Pertanyaan tentang pantas atau tidak. Pertanyaan tentang sopan santun? Belum pernah ia merasa tak berguna seperti ini menjadi seorang manusia.
"Lee, apa kamu sudah pulang? Bunyi apa itu? Ada apa?" Tanya mbah Ibu dari luar kamar Raden Soemitro. Ia begitu terlihat khawatir pada putra semata wayangnya tersebut.
Perempuan itu terlihat menyibak selambu kamar milik putranya tersebut. Terlihat uang bercecer di tempat tidurnya yang terbuat dari buah kapuk.
"Raden, apa kamu kekurangan uang? Pakailah uang Ibu bila kamu masih kekurangan uang. Ibu masih ada sisa uang. Bila masih kurang, jualah emas ibu ke kota," nasehat mbah Ibu pada Raden Soemitro.
Raden Soemitro terlihat menggeleng pelan.
"Uang ini juga masih banyak bu. Cuma aku merasa, uang ini tidak bisa melindungi gadis itu dari sebuah adat. Entah mengapa, hal itu semakin membuatku merasa bersalah dan merasa tak berguna menjadi seorang manusia,"jelas Raden Soemitro pada ibunya.
"Apa gadis itu yang kamu selamatkan semalam?" Telisik mbah Ibu.
"Iya."
"Jangan terburu merasa tidak mampu. Coba cari tahu tentang adat itu seperti apa? Coba hadir ke sana. Siapa tahu gadis itu masih bisa diselamatkan," ucap mbah Ibu menenangkan Putra semata wayangnya.
"Tidur dulu. Mungkin kamu lelah setelah begadang semalaman. Nanti aku bangunkan bila matahari sudah terbit," tambah mbah Ibu.
"Inggih bu."
Raden Soemitro segera mengemasi seluruh uangnya ke dalam kotak penyimpanan. Ia hanya mengambil uang seribu keping gobog dan menaruhnya di dompet serut yang terbuat dari kain perca bermotif hitam polos. Uang itu dua kali lipat lebih banyak dari penawaran gadis itu dalam acara buka selambu. Tak lama kemudian ia terlihat terlelap dalam tidurnya.