Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32
Perjalanan berlangsung dalam diam setelah ucapan Saka tadi. Senja duduk dengan tangan saling menggenggam di pangkuannya, menatap keluar jendela. Bayangan sikap Saka yang tiba-tiba berubah terus berputar di kepala, membuat dadanya sesak.
Siapa juga yang percaya sama perubahan drastis begitu, batinnya getir.
Hening itu pecah ketika ponselnya berdering. Senja menghela napas lega—setidaknya ada alasan untuk tidak tenggelam dalam kecanggungan bersama Saka.
Ia merogoh ponsel, melihat nama di layar.
“Tante Rita…” gumamnya. Ia menempelkan ponsel ke telinga. “Halo, Tante.”
“Senja,” suara wanita itu langsung menyerang, manis-manis palsu. “Tante punya video kedekatan kamu sama pria itu, loh.”
Senja memutar bola matanya. “Pria yang mana, Tante?” Nada suaranya datar; ia sudah bisa menebak arahnya.
“Itu loh… pria yang datang ke rumah kamu kemarin. Kira-kira kalau suamimu tahu, gimana ya?” Nada menggoda, tapi ancamannya jelas.
“Oh…” Senja menaikkan volume suaranya sedikit, sengaja. “Maksud Tante, Mas Zein?”
Benar saja Saka menoleh, kening mengernyit.
“Iya. Kalau suamimu tahu, tante yakin rumah tanggamu bisa… berantakan.”
Senja tertawa kecil—renyah, tapi dingin. Wanita itu benar-benar mengira ia akan gentar.
“Gak apa-apa kok, Tante. Kirim aja videonya. Sekarang juga boleh. Atau mau sekalian lapor ke mertuaku? Silakan.”
Keheningan sekejap. Lalu suara Tante Rita mengeras.
“Kamu berani juga ya sama saya! Kamu pikir saya main-main?”
“Ya terserah Tante. Sekarang aku udah gak peduli.” Senja mengangkat ponselnya sedikit, mengarahkan kamera ke Saka. “Nih, suamiku ada di sebelah. Kirim sekalian. Jangan lupa tambahin bumbu fitnahnya biar makin laku.”
Blup—telepon terputus.
Senja tersenyum tipis, puas. “Sekarang aku gak bakal diinjak lagi,” bisiknya dengan mata yang berkilat.
Saka akhirnya bertanya, “Itu siapa?”
“Tante aku,” jawab Senja dingin. “Dia mau meras aku, bilang aku selingkuh sama Mas Zein.” Ia menoleh sambil menyipit. “Padahal kalau aku selingkuh beneran pun, siapa yang peduli? Wong suamiku sendiri yang nyuruh.”
Kata-kata itu menghantam Saka seperti tamparan. Ia menoleh cepat.
“Sayang, kenapa bicara begitu?” suaranya dibuat selembut mungkin.
“Kenapa? Bukannya itu kenyataannya?” Senja tak berkedip. “Mas Zein bilang langsung. Kamu suruh aku dekat sama dia supaya kamu bisa bebas nikah sama Citra.”
Saka tercekat. Ia buru-buru memalingkan wajah, mencari jalur keluar dari pembicaraan itu.
“Sudah, Sayang… Aku kan sudah minta maaf. Jangan diungkit lagi.”
Senja tak menjawab. Diamnya justru lebih keras dari kata-kata.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar yang masih setengah jadi. Pilar-pilar beton menjulang, dindingnya masih berupa rangka baja. Seperti impian mahal yang belum sempat diwujudkan.
“Ayo turun,” kata Saka pelan.
Senja menatap bangunan itu. Ada rasa familiar yang menusuk.
“Ayo turun,” ulang Saka, kini memperhatikan ekspresi istrinya.
“Ngapain?” Senja melipat tangan. “Bukannya ini rumah kamu dan Citra?”
Saka tersenyum—tipis, nyaris seperti ia menertawakan dirinya sendiri.
“Iya. Ini rumah yang dibangun waktu aku dan Citra rencana menikah.” Ia menarik napas. “Tapi kan dulu. Sekarang aku nikahnya sama kamu. Jadi… rumah ini untuk kita.”
Ia turun dari mobil. “Ayo, kita lihat rumah kita nanti.”
---
Senja akhirnya membuka pintu. Langkahnya pelan, penuh waspada. Begitu melewati rangka pintu utama, Saka berhenti dan berkata pelan:
“Ini rumahnya. Rumah yang akan kita tempati… sama anak-anak kita nanti.”
Senja terkekeh kecil—bukan geli, tapi getir. “Mas… kenapa tiba-tiba ngomong begitu? Bukannya perjanjian kita cuma sampai kamu dapat warisan?
Saka menahan napas. “Senja, kamu bebas atur semuanya. Desain, warna, tata ruang. Kita bisa ubah total," Ujarnya coba mengalihkan suasana.
Senja menatapnya lama, mencari sesuatu di balik matanya.
“Aneh,” gumamnya. “Kamu baru perhatian begini… setelah perempuan yang kamu cintai hampir membunuhku.”
Saka memejamkan mata.
“Ini bukan soal itu.”
“Terus soal apa?” Senja mendekat selangkah. “Butuh legitimasi di depan Oma? Butuh warisan? Atau takut Zein lebih peduli sama aku daripada kamu?”
Tatapan Saka meredup,seperti seseorang yang ingin mengaku tapi tak punya bahasa untuk itu.
“Rumah ini,” ucapnya perlahan, “aku bangun untuk masa depan. Dan… sekarang, kamu masa depanku.”
Senja memalingkan wajah. “Itu bukan romantis, Mas,” suaranya lirih tapi tajam. “Itu terdengar kayak… kewajiban yang di paksakan.”
Saka hendak pergi, tapi berhenti, lalu berbalik. “Ayo. Kamu mau lihat atau enggak?”
Senja melirik sekilas. Mendadak ia teringat video Citra yang memamerkan rumah ini tadi pagi. Sebuah senyum miring muncul di bibirnya.
“Aku bales, ah…”
Ia mengangkat ponselnya dan mulai merekam.
“Citra…” Senja menyorotkan kamera ke sekeliling: dinding tanpa cat, jendela-jendela raksasa tanpa kaca, ruang besar yang masih kosong. “Kamu pernah bilang rumah ini bakal kamu tempati sama Saka, kan?”
Langkahnya pelan, memperlihatkan sudut demi sudut.
“Gak nyangka ya… sekarang Saka malah nyuruh aku buat redesain semuanya. Soalnya rumah ini bakal kami tempati.”
Kamera kembali ke wajahnya. Tenang berbahaya.
“Kamu gak marah, kan?”
Rekaman berhenti. Senja langsung kirim ke Citra.
Beberapa detik kemudian, dibuka oleh Citra, dan bagaimana reaksinya?
---
Reaksi Citra?
Genggaman ponselnya mengerat. Jantungnya seakan turun ke perut. Video itu seperti tamparan berlapis—pertama karena Saka membawa Senja ke rumah itu, kedua karena Senja mengatakannya dengan tenang seakan-akan menang.
Wajah Citra menegang. Rahangnya mengeras. Matanya memanas, bukan karena sedih—tapi karena dipermalukan.
Dan dalam hati, ia berbisik pelan, nyaris seperti sumpah:
“Saka… kamu milih dia?”
Di layar ponsel, video berhenti pada wajah Senja yang tersenyum tipis.
Tepat setelah itu, Citra menulis satu pesan.
Pesan yang hanya dua kata, tapi mengguncang:
“Kita bicara.”