NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18

Mobil yang dikendarai Angga perlahan masuk ke pekarangan melalui gerbang besi berwarna hitam dengan ukiran klasik yang tampak megah. Dari balik kaca jendela, Amira tertegun. Ia menatap takjub rumah milik keluarga Hendra yang berdiri anggun di hadapannya.

Rumah itu menjulang dua lantai dengan gaya arsitektur modern klasik. Dindingnya berlapis marmer krem yang berkilau memantulkan cahaya sore yang semakin tenggelam, membuatnya tampak elegan dan megah. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh di beranda depan, dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan meski matahari masih menggantung di langit.

Halaman depannya luas, dihiasi taman hijau dengan rerumputan yang tertata rapi. Di sisi kiri, sebuah air mancur bundar dengan pahatan batu putih memancarkan gemericik air yang menenangkan. Pohon-pohon palem berbaris di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke pintu utama, memberikan kesan teduh dan mewah.

Begitu mobil berhenti di depan tangga marmer, pintu kayu berukir rumit berwarna cokelat tua perlahan terbuka. Hilda muncul dari balik pintu dengan langkah tergesa, wajahnya berbinar menyambut kepulangan mereka. Namun, begitu matanya menangkap wanita asing, mata Hilda mulai menjurus ke arah Amira yang masih menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, sulit menyembunyikan rasa kagumnya. Bagi dirinya, rumah ini terasa seperti dunia lain—serba megah, rapi, dan menenangkan.

"Ma, ini Amira." Ungkap Hendra yang berdiri di samping Amira sambil tersenyum kecil, sementara Angga diam, menunggu Hilda mempersilakan mereka masuk. "Mulai sekarang, Amira adalah bagian dari keluarga kita."

Hilda menatap Amira dari atas kepala hingga ujung kaki. Tatapan itu tidak kasar, tetapi cukup membuat Amira merasa canggung. Ia bisa merasakan bagaimana mata Hilda menilai setiap detail: rambutnya yang tergerai sederhana, wajahnya yang lelah, hingga pakaian yang dikenakannya yang terlihat kontras dengan kemewahan ruangan itu. Amira menundukkan pandangan, menggenggam erat tali tas kecil di tangannya. Pipinya sedikit memanas, merasa seolah ia sedang diuji diam-diam.

"Amira, ini Hilda. Istri Om. Ibu mertua kamu."

Hilda sontak menoleh cepat ke arah Hendra. Sorot matanya memancarkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tidak ada kata yang langsung keluar. Ia mencoba memastikan apa yang barusan didengarnya. Apa maksud dari perkataan Hendra, suaminya. Ibu mertua. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seolah hal yang wajar. Namun bagi Hilda, kalimat tersebut bagai petir yang menyambar suasana yang tengah hening terjadi.

Hilda yang masih berdiri di ambang tangga marmer, matanya kini beralih pada Angga yang sejak tadi hanya berdiri di samping Hendra. "Angga, jelasin sama Mama apa yang sebenarnya terjadi?"

Angga menelan saliva. Jakunnya bergoyang naik turun menunjukkan sesuatu yang sulit ia telan. Sedangkan, Hilda memperhatikan gerakan kecil itu, pandangannya tak lepas dari wajah anaknya. Ada jeda singkat yang membuat suasana semakin menegangkan.

"Angga, jawab dong!" Desak Hilda.

"Amira sudah sah menjadi istri Angga." Ungkap Hendra terang-terangan.

"Papa bicara apa? Kalau bercanda jangan seperti ini."

"Papa serius, Ma." Tambah Angga. "Aku terpaksa melakukannya."

Hilda menatap Angga tanpa berkedip, mencoba membaca sesuatu di balik diamnya anaknya itu. Namun justru saat melihat Angga kembali menelan saliva dengan sorot mata yang redup, perasaan tak tenang yang sejak tadi hanya menggelayut di hatinya berubah menjadi gelombang besar yang menghantam dada.

"Ma," Kata Hendra. Menarik mata Hilda tertuju lagi padanya.

"Papa bilang bawa Amira ke rumah kita untuk tinggal bersama kita dan menjadi bagian dari keluarga kita, bukan berarti menjadi istri Angga, Pa!" Cecar Hilda. "Papa ini apa-apaan?! Mengambil keputusan tanpa bicara dulu sama Mama! Pa, Angga itu pria tampan, dia CEO pemilik perusahaan terkenal, ada banyak wanita di luar sana yang pantas untuk Angga dapatkan yang setara dengan keluarga kita. Kenapa harus dia?!"

Suara Hilda menggema di udara sore yang tadinya tenang. Amira terperanjat di tempat, matanya melebar, napasnya tercekat. Ucapan itu menampar hatinya lebih keras daripada yang ia duga. Ia tidak berani menatap siapa pun, hanya menunduk sambil menggenggam erat jemarinya sendiri.

“Ma, cukup.” Hendra maju selangkah, suaranya tegas memotong amarah istrinya. Pandangannya menusuk, membuat Hilda terdiam sejenak walau dadanya masih bergemuruh. "Mama lupa kalau Amira ini anak Renaldi?! Kita seperti ini karena siapa kalau bukan karena dia, Ma!"

"Cukup, Pa!” bentak Hilda, suaranya meninggi, tajam menusuk keheningan sore. Ia menatap suaminya tanpa gentar, seolah menolak untuk diredam. Jemari tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang ingin meledak. Mata Hilda berkaca-kaca, tetapi bukan karena lemah—melainkan karena amarah dan kecewa yang bercampur menjadi satu.

Namun tak lama dan tanpa menunggu tanggapan, Hilda berbalik dan melangkah cepat menaiki anak tangga menuju pintu rumah. Gaun yang dikenakannya bergoyang mengikuti langkahnya yang terburu-buru.

"Ma, tunggu!” Seru Hendra, berusaha menahan istrinya.

Namun Hilda tak menoleh, bahkan langkahnya semakin cepat seolah ingin segera menghilang dari hadapan mereka.

Hendra menghela napas berat, lalu menyusul dengan langkah lebar untuk mengejar istrinya sebelum ia benar-benar masuk ke dalam rumah.

Di belakang mereka, Angga hanya menatap kosong ke arah pintu yang perlahan tertutup. Sementara Amira tetap berdiri terpaku di sisinya, menunduk diam dengan dada yang terasa sesak, mendengar sisa percakapan yang masih bergaung di kepalanya.

Kemudian, Angga menarik napas panjang. Bahunya sedikit turun sebelum akhirnya ia menoleh ke arah Amira. Tatapannya dingin, namun di balik itu ada gurat lelah yang tak bisa ia sembunyikan. “Puas kamu sudah membuat orangtuaku bertengkar?” Ucapnya datar, tapi ada nada kesal yang menekan di setiap kata.

"Mas,"

"Itu semua gara-gara kamu!" Ungkap Angga.

Amira terdiam, matanya membesar mendengar nada suara Angga yang kali ini terdengar lebih tajam. Angin sore yang tadi terasa sejuk kini seolah berubah dingin menusuk kulitnya.

Angga melangkah setengah maju, menatapnya dengan sorot mata yang menusuk—mata yang semula sedikit nampak tenang kini dipenuhi kilatan marah yang nyaris membuat Amira mundur selangkah.

Tatapannya semakin tajam, dingin, dan untuk sesaat benar-benar terlihat seolah membenci wanita yang berdiri di hadapannya itu. Rahang Angga mengeras, urat di lehernya menegang saat ia berusaha menahan nada suaranya agar tidak berubah menjadi teriakan.

Amira menelan saliva perlahan, dadanya terasa sesak seolah ditimpa beban yang berat. Matanya mulai memanas, namun ia tetap menunduk, tidak berani melawan tatapan Angga yang membuatnya merasa begitu kecil dan tak berdaya.

Udara di halaman rumah yang luas itu seakan berhenti bergerak, meninggalkan mereka berdua dalam ketegangan yang sulit dipecahkan oleh kata-kata.

"Kamu pikir hidup kamu akan bahagia setelah ini?" Lanjut Angga.

Perlahan, Amira mendongakkan wajahnya, dan tatapan mereka pun bertemu. Mata Angga tetap tajam, penuh kemarahan yang ditahan, sementara mata Amira mulai berembun air mata.

"Jangan pernah mengharapkan kebahagiaan… setelah kamu sudah sah menjadi istriku!”

" Mas," Lirih suara Amira bergetar.

"Itu semua tidak akan pernah terjadi, Amira!"

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!