Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. BABAB KE DUA.
Kania dan timnya mulai memusatkan perhatian. Suasana rapat yang tadinya santai berubah serius. Mereka menyusun strategi untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari para juri, mulai dari hal paling mendasar seperti apa tujuan TERATAI Grup ikut dalam lomba, bahan-bahan apa saja yang digunakan, hingga perkiraan waktu penyelesaian proyek.
Setiap anggota tim diminta memberi masukan sesuai bidangnya. Mawar menekankan pentingnya jawaban yang lugas dan meyakinkan, sementara yang lain memastikan agar semua jawaban selaras dengan visi besar perusahaan. Mereka tahu, bukan hanya ide yang akan diuji, tetapi juga keyakinan serta kesiapan mereka dalam mewujudkannya.
Setelah dianggap cukup, Kania mempersilahkan mereka untuk istirahat sejenak menikmati bekal yang sengaja mereka bawa.
Sementara ia sendiri meminta izin ke toilet.
Saat memasuk ke toilet, langkahnya mendadak terhenti. Di depan cermin, berdiri seorang perempuan dengan wajah yang tidak asing baginya. Tamara, adik tirinya.
Kania menghela napas pelan, mencoba menahan emosi.
Tamara mendekat, menatap Kania dari atas hingga bawah dengan penuh meremehkan.
“Jangan harap dengan ikut lomba ini kamu bisa menang mengalahkan perusahaan suamiku, RAYMOND Grup. Mundur lah sebelum kamu beserta cecungut-cecungut mu itu dipermalukan.”
Kania mengepalkan tangan, berusaha menahan diri agar tidak terbawa emosi.
“Cecungut?” ia mengulang kata itu sambil tersenyum miris.
“Mereka adalah timku, orang-orang yang percaya pada kemampuan sendiri, bukan sekadar menempel pada nama besar seperti yang suamimu lakukan, Tamara.”
RAYMOND Grup adalah perusahaan yang namanya mulai dikenal luas karena sepak terjangnya memenangkan banyak proyek. Meski masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan proyek raksasa lainnya, kehadirannya cukup diperhitungkan.
Namun, kesuksesan perusahaan itu bukan semata hasil kerja keras Raymond sendiri. Di balik layar, ada campur tangan kuat dari Handoko, ayahnya dan juga Herman yang menjadi penopang utama. Dukungan keduanya membuat Raymond Grup melesat lebih cepat dari perusahaan baru pada umumnya.
Tamara mengibaskan rambutnya dengan angkuh.
“Nama besar itulah yang membuat kami disegani. Sedangkan kamu? Perusahaan kecil, karyawan seadanya, modal pas-pasan. Kamu pikir bisa menandingi RAYMOND Grup?”
Kania menatap lurus, sorot matanya tak goyah sedikitpun.
“Perusahaan kecil tidak berarti tanpa masa depan. Justru karena kecil, kami belajar berjuang dari bawah, tidak manja, tidak bergantung pada siapapun. Dan percayalah, aku lebih memilih jatuh karena usahaku sendiri daripada berdiri karena belas kasihan orang lain.”
Wajah Tamara memerah, tersulut oleh ketegasan Kania. Ia mendekat lebih rapat, suaranya merendah namun penuh ancaman.
“Kamu akan menyesal sudah berani menantang ku. Ingat baik-baik, Kania, aku tidak akan membiarkan kamu dan TERATAI Grup berjalan tenang di lomba ini.”
Kania menegakkan bahu, tersenyum tipis penuh keyakinan.
“Silakan lakukan apa saja Tamara. Aku sama sekali tidak gentar. Justru ancamanmu ini semakin membuktikan kalau kamu mulai ketakutan. Dan itu sudah cukup bagiku.”
Keheningan sejenak memenuhi ruangan kecil itu. Tatapan mereka saling mengunci, seperti dua api yang siap membakar. Hingga akhirnya Tamara mendengus kesal dan melangkah pergi dengan hentakan sepatu yang keras.
Kania menarik napas panjang, lalu menatap bayangannya di cermin.
“Aku tidak akan membiarkan RAYMOND Grup menang. Aku pastikan perusahaan itu akan menanggung malu di sini,” Ucapnya pelan namun tegas, seolah sedang bersumpah pada dirinya sendiri.
Kania keluar dari toilet dengan perasaan sedikit lebih tenang. Ia kembali menghampiri rekan-rekan setimnya yang masih menunggu di meja.
Tak lama kemudian, bel tanda dimulainya acara berbunyi, dari dalam gedung lelang. Satu per satu para peserta mulai memasuki ruangan.
Moderator pun naik ke mimbar, lalu membacakan daftar sepuluh perusahaan yang terpilih untuk maju memperebutkan proyek lelang bergengsi itu.
Sesuai urutan, tiap perwakilan dipanggil naik ke atas panggung untuk melakukan presentasi sekaligus menjawab pertanyaan dari dewan juri. Setiap penampilan disambut tepuk tangan meriah dari hadirin.
Dan ketika nama Raymond dipanggil, suasana ruangan semakin riuh. Penonton bersorak-sorai, penuh antusiasme, seolah menaruh harapan besar pada sosok pemimpin RAYMOND Grup itu.
Raymond melangkah naik ke mimbar dengan penuh percaya diri. Senyum tipis terpasang di wajahnya, seakan sudah yakin akan kemenangan. Sorakan dan tepuk tangan dari para penonton membuat suasana ruangan semakin riuh, seolah kedatangannya memang sudah ditunggu-tunggu.
Ia berdiri tegak, merapikan jasnya sebentar, lalu mulai berbicara dengan suara lantang.
“RAYMOND Grup hadir bukan sekadar sebagai peserta, tetapi sebagai perusahaan yang telah terbukti melalui berbagai proyek yang kami menangkan. Kami selalu mengutamakan kualitas, ketepatan waktu, serta inovasi yang berkelanjutan.”
Slide presentasi di layar menampilkan deretan proyek yang pernah mereka tangani, gedung bertingkat, jembatan, hingga beberapa proyek komersial lain yang cukup dikenal.
“Kepercayaan yang diberikan kepada kami bukan hanya karena nama, tetapi juga karena hasil nyata yang sudah berdiri dan dinikmati masyarakat luas,” lanjutnya dengan penuh kebanggaan.
Tepuk tangan kembali menggema. Beberapa peserta lain saling berbisik, sebagian kagum, sebagian lagi terlihat tertekan dengan cara Raymond membangun wibawa perusahaannya.
Dari kursinya, Kania memperhatikan dengan tenang. Ada kilatan tekad di matanya. Ia tahu, RAYMOND Grup berdiri kokoh bukan semata karena kemampuan Raymond, melainkan juga karena campur tangan orang-orang berpengaruh di belakangnya. Dan itu justru semakin membakar semangatnya untuk membuktikan sesuatu.
Beberapa pertanyaan yang dilontarkan dewan juri mampu dijawab Raymond dengan lancar. Ia menjelaskan dengan bahasa yang meyakinkan, sesekali menambahkan data untuk memperkuat argumennya. Beberapa juri terlihat mengangguk setuju, memberikan catatan positif atas presentasinya.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Saat pembahasan masuk ke soal anggaran proyek, salah seorang juri mengerutkan kening.
"Menurut perhitungan kami, anggaran yang anda ajukan tampak lebih besar pasak daripada tiang. Bukankah hal ini terlalu berisiko? Bagaimana jika proyek terhenti di tengah jalan karena dananya sudah habis sebelum selesai?”
Sejenak ruangan menjadi hening. Raymond tersenyum kaku, mencoba tetap tenang meski jelas ada kegelisahan di matanya. Ia berusaha menjawab, menekankan bahwa biaya besar sebanding dengan kualitas yang akan didapat.
Namun, beberapa juri lain saling pandang, tidak sepenuhnya sependapat. Suasana yang tadinya penuh sorak sorai mulai mereda. Ada rasa ragu yang pelan-pelan muncul di antara hadirin, seakan apa yang dipaparkan Raymond tidak sepenuhnya Benar
Di bangkunya, Kania memperhatikan dengan seksama. Ia sadar, inilah celah yang bisa menjadi peluang bagi TERATAI Grup untuk tampil lebih meyakinkan.
Raymond turun dari mimbar dengan penuh percaya diri. Di wajahnya tergambar keyakinan bahwa presentasinya tadi sudah cukup kuat untuk meyakinkan dewan juri.
Di antara para peserta dan penonton, terdengar bisik-bisik dukungan. Banyak yang berpendapat bahwa RAYMOND Grup akan kembali berjaya, memenangkan proyek itu, sama seperti sebelum-sebelumnya.
Moderator kembali maju ke depan, mengangkat tangan tinggi-tinggi memberi isyarat agar ruangan tenang. Perlahan, sorak-sorai yang masih tersisa mereda.
“Peserta kesepuluh, sekaligus peserta terakhir—perwakilan dari TERATAI Grup. Dengan hormat, dipersilakan.”
Sorak-sorai dan tepuk tangan terdengar samar, hanya datang dari tim Kania sendiri. Sementara penonton lain tetap diam, hanya memandang ke arah mereka dengan tatapan meremehkan, bahkan sebagian berisi ejekan.
Sebelum berdiri, Kania menundukkan kepala sejenak. Dalam hati ia berdoa, memohon agar semua berjalan lancar dan sesuai dengan harapan mereka. Setelah itu, ia menarik napas panjang, menguatkan diri, lalu bangkit berdiri.
Suasana seketika hening, hanya langkah kaki Kania terdengar menginjak lantai menuju kearah mimbar.
apa perlu Kania pergi jauh dulu baru menyadari perasaan nya, kan selalu seperti itu penyesalan selalu datang terlambat aseekk..
tapi aku juga penasaran sama kanaya yng mirip Kania apakah mereka kakak adek?
akhirnya ada second lead aku harap si Bram liat interaksi Dirga sama Kania
jangan sampe nanti Tuan Bram menyesal klo Kania pergi.