Pahit nya kehidupan yang membelengguku seolah enggan sirna dimana keindahan yang dulu pernah singgah menemani hari-hari ku terhempas sudah kalah mendapati takdir yang begitu kejam merenggut semua yang ku miliki satu persatu sirna, kebahagiaan bersama keluarga lenyap, tapi aku harus bertahan demi seseorang yang sangat berarti untuk ku, meski jalan yang ku lalui lebih sulit lagi ketika menjadi seorang istri seorang yang begitu membenci diri ini. Tak ada kasih sayang bahkan hari-hari terisi dengan luka dan lara yang seolah tak berujung. Ya, sadar diri ini hanya lah sebatas pendamping yang tak pernah di anggap. Tapi aku harus ikhlas menjalani semua ini. Meski aku tak tahu sampai kapan aku berharap..
Adakah kebahagiaan lagi untuk ku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cty S'lalu Ctya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebegitu Benci
Tiga hari sudah sejak malam itu dia tidak pernah pulang ke rumah ini, entahlah mungkin dia punya tempat tinggal lain dan dia mungkin enggan juga bertemu dengan ku.
'Sebegitu benci nya kamu sama aku kak' batin ku ketika aku duduk di teras rumah seusai membersihkan taman.
"Pagi mbak.." sapa pak satpam.
"Pagi pak.." balas ku mengulas senyum.
"Mbak gak kerja?" tanya pak satpam pada ku.
"Weekend pak" balas ku. Pak satpam nyengir.
"Iya, saya lupa.. hehehe.." timpal nya cengengesan.
"Bapak mau kopi? saya buatkan ya!" tawar ku.
"Terima kasih mbak, tapi saya sudah ada di pos" tolak nya.
"Kalau gitu saya lanjutkan bersih-bersih ya pak" ujar ku.
"Gak usah di bersihkan mbak, nanti juga ada bibi yang bersihkan" sela pak satpam memberitahu. aku mengernyit juga penasaran.
"Bibi siapa pak?"
"Bibi itu yang bersihkan rumah ini setiap satu Minggu sekali, jadi mbak gak usah bersihkan, mending mbak istirahat aja mumpung weekend" terang pak satpam.
"Tapi kalau pak Prayoga tahu aku malas-malasan entar marah pak" takut ku. Pak satpam itu malah tersenyum.
"Pak Prayoga itu baik lho mbak, gak mungkin marah, lagian bapak biasanya kalau weekend itu keluar kota mbak" balas pak satpam.
"Ya sudah kalau gitu terima kasih pak, saya masuk dulu ya" pamit ku. pak satpam juga kembali ke pos.
Sudah jam delapan, mumpung weekend aku akan berkunjung ke rumah sakit, lagian kata pak satpam pak Prayoga pergi keluar kota. Selesai bersiap aku segera turun. Ternyata aku di kejutkan dengan keberadaan wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun sedang meletakkan beberapa kantong belanjaan di atas meja makan. Dia pun beralih menatap ku yang ada di tangga dengan seulas senyuman. Aku pun mengulas senyum seraya kembali menuruni tangga.
"Eh,,mbak Alana ya?" tanya nya menghampiri ku dengan paper bag di tangan nya. Aku pun mengangguk.
"Bapak nitip ini untuk mbak" kata bibi seraya mengulurkan paper bag pada ku.
"Apa ini?" tanya ku saat menerima.
"Bubur ayam mbak, buat sarapan mbak, pak Yoga titip bibi di suruh memberikan pada mbak karena bahan makanan nya disini sudah habis" kata bibi.
"Terima kasih bi" jawab ku.
"Mbak Alana mau pergi?" tanya bibi memperhatikan ku. Aku mengangguk.
"Ya bi, saya mau keluar, saya bawah saja ya bubur nya nanti akan saya makan di rumah sakit saja" balas ku.
"Oh,, begitu ya mbak.." timpal bibi.
"Saya pergi dulu ya bi, assalamu'alaikum" pamitku.
"Wa'alaikum salam, hati-hati mbak" balas bibi. Aku pun melangkah keluar seraya membawa paper bag di tangan ku pemberian bibi.
Dua puluh menit aku sudah sampai di rumah sakit, dengan langkah tenang aku berjalan menyusuri lorong dan berhenti di depan kamar anak ku berada.
"Ibu.." sapa ceria Emir ketika melihat ku masuk.
"Sayang, sudah bangun?" sambut ku menghampirinya di atas brankar dan di sampingnya ada perawat yang berjaga.
"Udah, lihat Emil udah sehat Bu" katanya dengan cadel.
"Alhamdulillah, ini ibu bawakan bubur. Emir mau?"tanya ku seraya meletakkan paper bag di atas nakas yang ada di samping brankar. Emir mengangguk dengan membuka mulutnya.
"Wah, sabar dong sayang, ibu buka dulu" kata ku seraya membuka paper bag, saat ku buka aku tertegun melihat isinya.
'Ternyata kamu masih mengingat nya' batin ku menatap bubur ayam spesial tanpa cabai.
"Ibu.." panggilan anak ku menyadarkan lamunan ku. Aku pun mengulas senyum sambil membuka bubur ayam tersebut.
"Nah,, ayo dimakan!" seru ku seraya menyuapi anak ku.
"Wah, enak Bu" kata Emir begitu menikmati.
"Enak dong, ibu dulu juga sangat menyukai bubur ini" timpal ku.
"Benelan Bu? kalau gitu ajak Emil beli ya kalau uda sembu Emil" ujar nya begitu antusias. Aku pun mengangguk, meski penjual nya sangat jauh tapi asalkan Emir bahagia pasti akan usahakan.
"Jika Emir sembuh kita akan jalan-jalan sepuas Emir" balas ku. Emir terlihat begitu senang. Melihat Emir yang begitu semangat membuat diri ini mengulas senyum bersama dengan perawat.
Seharian aku di rumah sakit dan aku putuskan untuk pulang sore ini, Emir juga sedang beristirahat.
"Sus tolong temani Emir ya, saya pulang dulu" pamit ku pada perawat yang sedang berjaga. Perawat itu mengangguk.
"Baik Bu Yumna, anda tenang saja" balas perawat.
"Permisi,," pamit ku sekali lagi sebelum kembali pulang.
Di rumah sudah ada pak satpam yang menyambut ku bersama bibi yang bersiap pulang di antar oleh pak satpam.
"Mbak Alana, nanti kalau makan sudah bibi masakin" kata bibi sebelum pulang. Aku mengangguk.
"Terima kasih bi, harusnya bibi gak perlu repot-repot"
"Ah, tidak apa mbak, tadi pak Yoga pulang, tanya mbak, lalu bibi jawab mbak ke rumah sakit gitu"
"Lalu sekarang pak Yoga kemana?" tanya ku penasaran juga sedikit takut dia akan lebih marah pada ku
"Kata pak Yoga akan pergi keluar kota dalam tiga hari" jawab bibi. Aku menarik nafas dalam lalu mengangguk. Tak lupa mengucapkan terima kasih pada bibi.
"Bibi pulang dulu ya mbak" pamit bibi.
"Hati-hati bi" balas ku. Bibi pun menghampiri pak satpam yang sudah siap dengan motor nya. Aku pun memilih masuk ke dalam, di rumah yang sebesar ini aku sendirian lagi.
Di pabrik pun aku tak melihat keberadaan dia sudah dua hari ini. Hari-hari ku seperti biasa bekerja bersama rekan-rekan ku, mereka juga kemarin berkunjung ke rumah sakit sepulang kerja. Saat membersihkan lobi, tiba-tiba aku melihat dia berjalan masuk bersama lelaki yang selalu bersamanya melewati ku. Aku hanya menunduk, dia pun tak sedikitpun melihat ke arah ku.
'Apakah aku berharap dia melihat ku?' aku tersenyum getir. Siapakah kamu Alana berani berharap dia peduli padamu. Tepis ku.
"Mereka sama-sama tampan" celetuk Luna yang berada di samping ku. Aku pun menatap Luna sambil menggoda.
"Kamu naksir?"
"Hanya kagum, lagian siapa kita berharap pada bos sama asisten nya, ya nggak mungkin selevel kan" balas Luna. Luna benar aku dan pak Prayoga tidak selevel dia hanya menganggapku sebagai penebus hutang. Sangat menyedihkan sekali hidup ku yang jauh berbeda dari yang dulu. Ya, aku sadar hidup itu seperti roda yang berputar. Lamunan ku terhenti ketika ponsel ku bergetar segera ku angkat panggilan dari rumah sakit menyuruhku untuk ke rumah sakit. Jam istirahat pun aku pergi ke rumah sakit, aku bersyukur karena dokter bilang jika anak ku sudah boleh pulang ke rumah.
"Nak, tunggu disini dulu ya, ibu kembali ke pabrik dulu, nanti pulang kerja ibu langsung jumput Emir" kata lembut, beruntung anak ku mengerti, dia pun mengangguk.
"Terima kasih nak, ibu sayang Emir" ku dekap Emir sebelum kembali ke pabrik.
"Emil juga sayang ibu" balas nya.
"Sus, titip Emir!" pesan ku pada perawat sebelum beranjak.
Bagaimana pun aku harus mengatakan pada dia tentang anak ku. Sekaligus aku berharap dia menginjinkan anak ku tinggal di rumah nya. Di depan ruangan nya ku coba memberanikan diri untuk mengetuk pintu tak lama ada seruan dari dalam untuk masuk. Pintu pun ku buka dan di tatap nya diri ini dengan tajam. Jujur saja perasaan ini bercampur aduk antara keinginan dan ketakutan beradu menjadi satu. Langkah kaki ini terhenti ketika sampai di depan meja kerja nya. Tatapan itu masih sama tajam seakan menikam.
"Maaf pak!" lirih ku memberanikan diri.
"Ada apa?" sarkasnya.
"Em.. Saya ingin mengatakan sesuatu-"
"Jangan berbelit aku tak suka!" selanya.
"Apa saya boleh mengajak anak saya tinggal di rumah anda?" ungkap ku, tak ada jawaban aku pun menunduk seraya melanjutkan perkataan ku
"Maaf kan saya jika lancang pak, jika anda tidak mengijinkan anak-"
"Ada sarat nya" selanya dengan dingin. Belum sempat aku bertanya dia sudah melanjutkan
"Kau berhenti bekerja di cafe Gala!"