The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan Yang Tak Terpadamkan
Dira masih merasakan rasa terbakar di telapak tangannya saat Van Rijk menghilang.
Bersama anak buahnya, pria itu lenyap ke dalam kabut hitam, seolah tertelan lembah sendiri. Yang tersisa hanyalah bau belerang dan bisikan-bisikan samar yang entah berasal dari angin... atau sesuatu yang lebih tua dari waktu.
Bagas terjatuh duduk di tanah, bahunya naik turun cepat. “Apa barusan itu... apa... kita masih hidup?”
Yuni tak menjawab. Matanya tertuju ke cahaya keemasan yang kini melayang perlahan di tengah lembah. Di dalamnya, sosok pria tua berjubah sederhana berdiri tenang. Dia tak benar-benar menginjak tanah—melainkan sedikit melayang, dikelilingi kabut tipis berwarna hangat. Tapi hawa yang ia bawa dingin dan berat. Seperti malam tanpa bintang.
Dira mundur satu langkah. “Itu… itu bukan manusia biasa.”
Bagas menahan napas. “Roh?”
Sosok itu menoleh ke arah mereka. Tatapan matanya tidak menembus seperti Van Rijk—melainkan memeluk, menelusup, dan membuka lapisan-lapisan ingatan dalam diri mereka. Dira merasa seperti ditatap oleh sejarah itu sendiri. Oleh sebuah masa yang ingin dilupakan… tapi menolak dilenyapkan.
Yuni menatap tenang. Tubuhnya masih lemah, tapi sikapnya seperti baru mulai bertarung.
“Joyo Mataram,” katanya pelan.
Pria itu mengangguk. Suaranya pelan namun bergema. Dalam. Seperti gunung bicara dari perutnya.
“Nama itu… sudah lama tidak disebutkan.”
Dira mencoba mengatur napasnya. “Anda—Anda dari masa lalu?”
Joyo Mataram tersenyum samar. “Dari masa yang dikubur dalam diam. Aku pernah berdiri di sini. Di tempat ini. Dengan darah di tangan, dan janji di hati. Kami bertarung, dan menang. Tapi kami tahu... kemenangan itu tidak abadi.”
Bagas masih terpaku. Matanya menatap sosok tua itu seolah takut jika berkedip, semua ini akan jadi mimpi buruk yang lebih dalam.
“Zwarte Sol…” Yuni angkat bicara. “Mereka bangkit lagi.”
“Aku tahu,” kata Joyo, matanya mengarah ke tempat Van Rijk menghilang. “Itulah sebab aku dipanggil kembali. Bukan dengan tubuh, tapi dengan warisan.”
Kabut mulai mengalir di sekitar kaki mereka. Udara menjadi lebih berat. Lembah terasa seperti sedang menahan napasnya sendiri. Namun tak ada angin. Hanya keheningan.
“Zwarte Sol adalah luka,” ujar Joyo. “Dan seperti semua luka yang tak disembuhkan, ia bernanah. Mereka bukan hanya penjajah tubuh. Mereka ingin menjajah jiwa. Menancapkan sesuatu yang lebih dari sekadar bendera—mereka ingin menjadikan tanah ini milik mereka secara metafisik.”
“Kayak... kolonialisme jiwa?” gumam Bagas.
“Benar,” jawab Joyo. “Mereka datang bukan untuk mengambil kekayaan. Itu topeng. Mereka tahu bahwa tanah ini punya simpul energi dunia. Dan jika simpul itu dikuasai, mereka akan menjadi pengatur arah dunia.”
Dira menelan ludah. “Dan kita baru tahu semua ini sekarang...”
“Kalian tidak seharusnya tahu dulu. Kami, Para Penjaga Batas, memilih untuk menguburnya. Supaya generasi baru bisa hidup damai. Kami mengikat roh mereka di tanah-tanah keramat, menyegel kekuatan mereka di balik legenda dan arca. Tapi…”
Tatapannya kembali ke langit.
“…mereka selalu mencari celah.”
Kilatan cahaya muncul di udara. Sekilas, Dira melihat bayangan seperti peta—Indonesia, dengan simpul-simpul bercahaya di titik-titik tertentu: Borobudur, Alas Purwo, Danau Toba, Gunung Kaba... dan sekarang, Lembah Bada.
“Mereka telah membangunkan dua dari tujuh simpul,” kata Joyo. “Jika semua terbuka, maka pengaruh Zwarte Sol akan mengakar ke dalam tanah. Ke dalam tubuh-tubuh generasi mendatang. Dan bangsa ini akan diperintah... tanpa sadar bahwa mereka sedang diperintah.”
Seketika, keheningan menyergap. Bahkan suara serangga menghilang. Dira merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Bukan karena takut... tapi karena beban. Seperti sedang memegang rahasia terlalu besar untuk ukuran manusia biasa.
“Tapi... kenapa Anda muncul sekarang?” tanya Dira akhirnya.
Joyo menoleh, dan kali ini matanya seperti lilin yang menyala pelan. Bukan panas, tapi hangat. “Karena aku tahu... generasi kami telah selesai. Tapi kalian belum. Kalian masih bisa memilih.”
Yuni menyilangkan tangan. “Kami bahkan nyaris mati tadi. Lo yakin kami yang bisa hadapin ini?”
“Aku tidak bicara tentang kekuatan otot,” jawab Joyo. “Aku bicara tentang tekad. Jiwa yang tidak bisa dibeli. Dan hati yang tidak mau tunduk meski dunia mengharuskannya.”
Bagas menghela napas. “Tapi kita gak tahu harus mulai dari mana.”
Joyo menatap mereka satu-satu. “Kalian akan tahu. Karena sejarah akan menunjukkan jalannya. Tapi kalian harus mau mendengarkan. Bahkan jika suara itu muncul di tempat yang tak kalian duga. Di reruntuhan, di bisikan anak kecil, atau dalam mimpi yang tak masuk akal.”
Dia mulai berpendar, tubuhnya semakin transparan. Kabut berubah warna keperakan. Lembah Bada mulai kembali ke bentuk aslinya. Dingin. Diam. Tapi... bukan hampa. Seperti habis dipenuhi sesuatu yang terlalu besar untuk dijelaskan.
“Zwarte Sol akan bergerak cepat. Mereka tahu waktu mereka terbatas. Tapi kalian... kalian punya keuntungan.”
“Apa itu?” tanya Dira.
Joyo tersenyum kecil.
“Kalian bukan sendirian.”
Dalam sekejap, sosoknya menghilang. Kabut mengalir naik ke langit dan sirna seolah tertarik oleh kekuatan tak kasat mata.
Yang tersisa hanyalah lembah yang sunyi. Dan tiga orang yang diam dalam keheningan yang terasa terlalu berat untuk dibicarakan.
---
Butuh waktu beberapa menit sebelum ada yang bicara.
Bagas akhirnya membuka suara duluan. “Gue nggak tahu harus takut... atau semangat.”
Dira menatap tangannya. “Gue rasa... keduanya.”
Yuni berjalan pelan ke arah tempat Joyo tadi berdiri. Di tanah, ada bekas cahaya samar membentuk lambang berbentuk segitiga, dengan garis melingkar di tengah.
Dia jongkok, menyentuh lambang itu. “Mereka pernah menyegel Van Rijk di sini. Tapi sekarang udah rusak.”
“Jadi... kita harus perbaiki segelnya?” tanya Bagas.
Yuni berdiri. “Enggak. Kita harus lebih dari itu.”
“Lebih?”
“Jangan cuma jadi generasi yang memperbaiki. Kita harus jadi generasi yang memutus. Yang menghentikan pola. Yang nggak cuma ngelawan… tapi ngerti kenapa harus ngelawan.”
Dira menatapnya lama. “Lo percaya kita bisa?”
Yuni menatap balik. “Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Angin berhembus pelan. Kabut tipis tersisa berputar lembut, seolah Joyo Mataram masih mendengarkan dari balik batas dunia.
Dan di kejauhan, terdengar suara retakan batu.
Dira menoleh cepat. “Apa itu?”
Mereka semua menatap ke sisi tebing. Retakan itu bukan alami. Batu di sana membentuk garis lurus—terlalu simetris untuk terjadi sendiri. Lalu... cahaya biru keluar dari sela-selanya.
Yuni meraih senjatanya lagi.
“Kayaknya... kita belum selesai di sini.”
Bersambung.