(Warning🌶️)
Amina, gadis cantik yang adopsi oleh keluar konglomerat dari sebuah panti asuhan, dan memiliki seorang Kakak angkat bernama Stevan.
Semasa mereka kecil, Stevan selalu memberi perhatian dan kasih sayang sebagai seorang Kakak, hingga dengan berjalannya waktu mereka pun tumbuh dewasa, dan kasih sayang yang diberikan oleh Stevan membuat orang-orang sekitar merasa tak nyaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebencian Ayah Amel.
...Malam itu, di tengah kehangatan rumah Amel, sedikit demi sedikit beban di hati Amina terasa menguap setelah berbagi cerita dan tawa dengan sahabatnya. Sebelumnya, ia telah menghubungi ibu angkatnya, memberitahukan bahwa ia akan bermalam di rumah Amel....
...Nyonya Elsa tidak merasa khawatir sedikit pun. Ia mengenal baik keluarga Amel, dan mempercayai bahwa Amina akan aman bersama mereka....
"Amina," panggil Amel lembut, memecah keheningan kamar.
"Iya," jawab Amina dengan nada sedikit gugup.
"Kamu yakin semuanya baik-baik saja?" tanya Amel, menatap mata sahabatnya dengan penuh perhatian.
...Amina menarik napas dalam-dalam, berusaha menyunggingkan senyum setulus mungkin, meskipun terasa dipaksakan....
"Iya... aku baik-baik saja," sahutnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan kegelisahannya.
Amel menghela napas lega setelah mendengar jawaban Amina, namun matanya masih menyimpan keraguan. "Syukurlah kalau begitu... aku sempat khawatir kamu kenapa-napa, soalnya tadi aku dengar kamu menangis di telepon," ujarnya dengan nada prihatin.
"Itu ka-"
"Dasar pria tua bangka, kurang ajar!!"
...Suara lantang dan penuh amarah ibu Amel tiba-tiba menggema, memecah ketenangan rumah. Amina dan Amel yang sedang berada di dalam kamar tersentak kaget. Rasa penasaran langsung menyeruak, membuat mereka berdua bergegas keluar kamar dan berdiri di tepi tangga, mengintip ke bawah dengan jantung berdebar....
"Dari dulu aku sudah bilang, jauhi Amel dari anak yatim itu! Sekarang lihat? Perusahaan Salvador menekan kita, semua ini gara-gara dia!" hardik Ayah Amel dengan nada marah.
"Apa salahnya berteman? Tidak ada yang salah dengan persahabatan mereka!" seru Ibu Amel membela Amina.
"Tidak ada alasan! Usir dia sekarang!" perintah Ayah Amel dengan kasar.
...Amina yang mendengar pertengkaran itu merasakan hatinya mencelos. Selama ini ia merasa diterima, namun ucapan Ayah Amel barusan menghancurkan semua harapannya. Inilah kenyataan yang selama ini tersembunyi....
"Amina, itu—" Amel berusaha menenangkan.
"Tidak apa-apa, Mel. Aku baik-baik saja... sebaiknya aku pulang sekarang," potong Amina cepat, berbalik dengan air mata yang kembali mengalir.
...Tiba-tiba, suara ringtone ponsel Amina terdengar dari dalam kamar Amel. Langkah Amina semakin cepat, ia segera meraih tasnya dan mengeluarkan ponsel yang berdering itu. Nama Stevan tertera di layar. Dengan ragu, ia mengangkat panggilan tersebut....
"Ada apa lagi?" tanya Amina dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan amarahnya.
"Sayang... kau sudah dengar beritanya, bukan? Bagaimana? Kau suka kejutan dariku?" tanya Stevan dari seberang telepon, tawanya terdengar dingin dan mengejek.
"Kau benar-benar sakit jiwa, Stevan!" bentak Amina dengan nada penuh kejijikan dan amarah yang meluap.
"Ya, sayangku, aku sakit... sakit karena begitu mencintaimu. Dan percayalah, aku akan mendapatkanmu, dengan cara apa pun," tekan Stevan, setiap katanya terasa mengancam.
"Aku akan memberitahu Mama tentang semua ini!" tegas Amina sebelum memutuskan sambungan telepon dengan kasar.
...Dengan gerakan cepat dan tergesa, Amina memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Jari-jarinya gemetar saat memesan taksi daring. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar dari kamar Amel, meninggalkan kehangatan yang sesaat ia rasakan....
"Amina, tunggu! Ini sudah larut malam, menginaplah di sini saja," pinta Amel cemas, berusaha menahan lengan sahabatnya.
"Aku sudah memesan taksi, Mel. Kamu tidak perlu khawatir," jawab Amina datar, terus berjalan menuju tangga dan menuruni anak demi anak tanpa menatap Amel.
...Kedatangan Amina di ruang tamu disambut tatapan dingin Ayah Amel yang langsung membuang muka dengan kasar, lalu berbalik pergi meninggalkan istrinya yang berdiri terpaku....
"Amina, kamu mau ke mana?" tanya Ibu Amel dengan nada terkejut bercampur khawatir, melihat Amina menuruni tangga diikuti Amel dari belakang.
...Hati Amina semakin perih melihat jejak merah bekas tamparan di pipi Ibu Amel. Apakah sebegitu bencinya Ayah Amel padanya, hingga tega melampiaskan kemarahannya pada istrinya sendiri?...
"Saya baik-baik saja, Tante. Sepertinya saya memang harus pulang, Mama tadi terus menelepon," elak Amina, berbohong demi menutupi luka hatinya.
"Tapi—" Ucapan Ibu Amel terputus begitu saja saat Amina melangkah pergi dengan cepat, tak ingin mendengar kelanjutan kata-kata wanita itu.
...Amel dan ibunya berusaha mengejar Amina dari belakang, berniat menghentikannya mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam....
...Namun, mereka terlambat. Amina sudah berlari sekuat tenaga setelah berhasil keluar dari pintu utama mansion menuju gerbang....
"Maafkan aku, Tante... Amel..." bisik Amina lirih, air mata kembali membasahi pipinya saat membuka pintu taksi yang sudah menunggunya di pinggir jalan.
Ia segera masuk ke dalam. "Pak, cepat jalan!" perintah Amina dengan nada mendesak.
"Baik, Nona," jawab sopir, segera menginjak pedal gas, meninggalkan gerbang mansion Amel yang semakin menjauh.
...Amel dan ibunya hanya bisa terdiam, menyaksikan taksi yang membawa Amina menjauh. Tiba-tiba, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi muncul dari belakang mereka, Amel langsung mengenali mobil itu sebagai milik pengawal Stevan....
"Mama..." panggil Amel.
Ibu Amel menoleh. "Iya?" sahutnya.
"Itu mobil pengawal Salvador. Mungkin Amina akan baik-baik saja," jelas Amel.
"Ya ampun... bikin khawatir saja!" Ibu Amel menghela napas lega sambil memegang dadanya.
"Tapi Mama jadi merasa bersalah pada Amina. Apa dia dengar semua yang Ayahmu katakan?" tanya Ibu Amel dengan wajah sedih menatap Amel.
"Iya, Ma..." jawab Amel pelan.
(Bersambung)