Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8.
Nana menyeret Ayaka ke sebuah ruangan, lalu menutup pintu dengan keras. Begitu pintu tertutup, tanpa basa-basi tangan Nana langsung mencengkeram leher Ayaka.
"Ngapain aja lu sama si Yuki, brengsek!"
Cekikan Nana begitu kuat, membuat Ayaka kesulitan bernapas. Tangan Ayaka mencoba menarik pergelangan tangan Nana, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat. Matanya sedikit memerah karena kehabisan udara, tetapi bukannya panik, dia malah tersenyum miring.
Buk!
Nana melemparkan Ayaka ke lantai. Tubuh Ayaka terbanting, tetapi ia tidak melawan, hanya terbatuk pelan sambil mengusap lehernya yang memerah.
"Nona Nana, tenang saja." ucap Ayaka, masih duduk di lantai. "Saya tidak ngapa-ngapain dengan Yuki."
"Lu jangan bohong, anjir!" bentak Nana, tangannya sudah mengepal. Ayaka mendengus, lalu bangkit perlahan. Dalam sekejap, ia mengulurkan tangan, memegang bagian belakang leher Nana, lalu menempelkan dahinya ke dahi Nana. Mata mereka bertemu, nafas mereka beradu.
"Lu tidak perlu khawatir," bisik Ayaka. "Yuki masih perjaka."
Nana mendorong Ayaka keras-keras hingga hampir kehilangan keseimbangan.
"Awas aja kalau lu bohong!" gertaknya, tatapannya tajam seperti belati. "Gua nggak bakal segan sama lu."
Ayaka tersenyum miring, lalu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Begitu pintu tertutup, Nana mendesah kasar, masih penuh emosi. Tangan kanannya meraih guci kecil di meja dan melemparkannya ke arah pintu.
Brak!
Pecahan guci berhamburan. "Brengsek!" geramnya.
Sementara itu, di balik pintu, Ayaka hanya tersenyum kecil sebelum melangkah pergi, kembali menuju ruang pertemuan. Saat Ayaka masuk, Hayashi Aoi sudah menunggunya, duduk dengan tatapan tajam.
"Ada apa, Ayaka?" tanyanya tanpa basa-basi.
Ayaka menunduk hormat. "Hanya masalah kecil, Tuan."
Namun, jawaban itu tidak memuaskan Hayashi. Pria itu melemparkan rokok yang tadi ia hisap, lalu menatap tajam ke arah Ayaka.
"Apa maksud jawaban lu itu?"
Ayaka menelan ludah. Sebagai tangan kanan Nana di sekolah, Ayaka bukan orang yang mudah gentar. Tapi berhadapan dengan Hayashi Aoi, itu cerita lain. Ia membungkuk hormat, lalu menjawab, "Maaf, Tuan. Sepertinya Nona Nana cemburu karena saya telah jalan bersama temannya."
Suasana menjadi Hening. Lalu, tiba-tiba Hayashi tersenyum kecil. "Panggil dia ke sini."
Ayaka segera menunduk dalam-dalam. "Baik, Tuan." Lalu Ayaka kembali ke ruangan tempat Nana sebelumnya.
Tok! Tok!
"Nona, Tuan memanggilmu." Ucap Ayaka .
Beberapa detik kemudian Pintu terbuka. Nana berdiri di ambang pintu, menatap Ayaka tajam seolah ingin menghajarnya lagi. Namun, Ayaka tetap tenang, hanya sedikit menyeringai. Tanpa bicara, Nana melangkah pergi, menuju ruang pertemuan. Ayaka mengikuti di belakangnya. Begitu sampai, Nana duduk di depan ayahnya dan menunduk.
"Ada apa, Ayah?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Hayashi mengamati putrinya dengan tatapan dingin, lalu bertanya, "Lu jatuh cinta?"
Nana tersentak. Ia refleks melirik ke arah Ayaka, seolah memastikan apakah ini ulah perempuan itu. Namun, Hayashi menangkap gerakan itu, dan ia tidak suka anaknya menatap orang lain saat berbicara dengannya.
Brak!
Sebuah botol melayang ke arah Nana. Refleks, Nana miringkan kepala, menghindari lemparan itu dengan mudah. Namun, saat ia kembali menatap ayahnya, tatapan pria itu semakin tajam.
"Jawab, Nana."
Nana menggertakkan gigi. "Ini urusan pribadi gue, Ayah."
Bugh!
Tendangan keras menghantam wajahnya. Karna Hayashi Aoi tidak terima dengan jawaban Nana seperti itu. Meja di depannya berantakan, dan Nana terpental jauh, tubuhnya menabrak salah satu anak buah ayahnya. Ruangan itu seketika hening. Semua orang menunduk, tidak berani melihat. Hayashi bangkit dari duduknya, lalu menarik kerah Nana yang masih berusaha bangkit.
"Jawab."
Nana menatap langsung ke mata ayahnya, lalu mengangguk. "Iya, Ayah."
Hayashi melepaskan Nana dengan kasar, membiarkannya jatuh ke lantai. Ia menoleh ke salah satu anggotanya, lalu memberi perintah tegas.
"Cari laki-laki itu dan bawa ke sini."
Nana terkejut mendengar itu.
Hayashi menatap Ayaka, karna Ayaka pasti tau tempat laki-laki yang Nana sukai.
Ayaka yang sejak tadi diam, akhirnya bicara. "Di kontrakan delapan kamar seberang minimarket, tidak jauh dari SMA Kageyama." Ia menatap Hayashi. "Namanya Yuki Kaze. Kamar nomor delapan."
Hayashi menyipitkan mata saat mendengar nama itu. "Kaze...?" Ada sesuatu tentang nama itu yang terasa familiar. Namun, ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas.
**
Sementara itu, di kontrakan Yuki. Ia masih berbaring di kasur kontrakannya, merenung sendirian. Kepalanya masih dipenuhi pikiran tentang Nana dan Ayaka. Ia tahu, Nana menyimpan banyak rahasia, tapi tidak pernah menyangka akan sebesar ini. Tiba-tiba,
Tok. Tok. Tok.
Ada yang mengetuk pintunya. Yuki berdiri perlahan, membuka pintu, Dan matanya membelalak terkejut. Seorang pria bertubuh tinggi kekar, penuh tato, berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu dingin dan tajam. Tanpa memberi Yuki waktu untuk bereaksi, pria itu langsung menarik kerah bajunya dengan kasar.
"Ikut gue."
Pria itu membawa Yuki turun dari kontrakan, Tanpa basa-basi, Yuki didorong masuk ke dalam mobil hitam, lalu pintu ditutup rapat. Di dalam mobil yang gelap, Yuki bisa merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kepalanya. Saat ia berusaha menoleh, "Klik." Sebuah pistol ditodongkan ke pelipisnya. Suara berat pria tadi terdengar di telinganya. "Berani berontak, nyawa lu melayang."
Jantung Yuki berdegup kencang. Ini bukan main-main. Pria itu mengulurkan sapu tangan hitam. "Tutup mata lu."
Yuki menelan ludah, tidak berani melawan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil sapu tangan itu dan mengikatnya di matanya sendiri. Beberapa saat kemudian, Mobil melaju dalam keheningan.
Dan Yuki, benar-benar tidak tahu ke mana dia akan dibawa.
Mobil melaju dengan kencang, melewati jalanan kota yang mulai sepi. Yuki masih duduk diam, matanya tertutup kain hitam yang diberikan pria bertato di sebelahnya. Jantungnya berdegup kencang.
Beberapa saat kemudian, Pintu mobil terbuka, dan seseorang menarik paksa Yuki keluar.
"Jalan!" suara pria itu terdengar keras di telinganya.
Yuki mengikuti arahan, berusaha menenangkan napasnya, meski kakinya terasa berat melangkah. Yuki masih dalam keadaan mata tertutup, tubuhnya terasa digiring masuk ke sebuah ruangan. Langkah kaki berat pria di sebelahnya menggema di lantai, menambah suasana mencekam yang semakin membuat jantungnya tak berhenti berdegup kencang.
Lalu, Kain hitam yang menutup matanya ditarik kasar. Cahaya terang menusuk penglihatannya, membuatnya sedikit menyipitkan mata. Begitu pandangannya mulai jelas, ia terdiam. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi ornamen khas Jepang dengan nuansa gelap dan elegan. Namun yang membuatnya merinding bukanlah tempatnya, Melainkan orang-orang di dalamnya.
Puluhan pria berbadan besar, bertato, dan mengenakan jas hitam berdiri mengelilinginya dengan ekspresi dingin. Beberapa dari mereka memegang senjata, seakan siap bertindak jika diperlukan. Suasana ruangan terasa begitu berat. Yuki menelan ludah. "Sial… gue di mana ini?" gumamnya dalam hati.
Namun, hal yang paling mengejutkannya bukan itu. Saat matanya bergerak menyapu ruangan, Ia melihat dua sosok yang tidak ia duga berada di sini. Nana, dan Ayaka.
Nana berdiri tidak jauh dari pria yang duduk di kursi utama ruangan itu. Wajahnya terlihat tegang, ada luka di sudut bibirnya, seolah baru saja dihajar seseorang. Sementara Ayaka, ia berdiri di samping ruangan, ekspresinya tetap tenang, seperti ini semua sudah biasa baginya. Melihat itu, pikiran Yuki langsung dipenuhi pertanyaan. "Apa yang sebenarnya terjadi?! Kenapa mereka ada di sini?!" Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh Sebuah suara berat dan berwibawa menghancurkan keheningan ruangan.
"Jadi ini bocahnya?"
Yuki mengangkat wajahnya dan membeku. Sosok pria yang berbicara itu, Duduk dengan santai di kursi utama, mengenakan kemeja gelap yang lengannya sedikit tergulung, memperlihatkan tato berwarna hitam yang merambat di lengannya. Tatapannya tajam dan mengintimidasi. Tapi yang paling membuat Yuki berdebar, adalah cara pria itu memandangnya, seolah sedang menilai apakah ia layak untuk hidup atau tidak. Dan saat itu juga, Yuki sadar. Pria ini, Bukan orang sembarangan. "Jangan bilang… Dia Hayashi Aoi?"
Yuki masih bingung dengan apa yang terjadi. Di ruangan penuh anggota Yakuza ini, satu hal yang langsung ia sadari, Ayaka ternyata bukan hanya sekadar guru di sekolah. Tatapannya mengarah ke Ayaka, mengingat kembali kejadian di kelas saat Nana memukulnya.
"Pantas saja dia nggak melerai waktu itu... Dia juga tahu Nana anak Yakuza… Ternyata, dia sendiri adalah salah satu dari mereka."
Tapi ada satu hal yang membuat Yuki heran, bibir Nana berdarah. Matanya sekilas melihat jejak merah di sudut bibir gadis itu, ia tau ini pasti ulah Ayahnya.
"Dasar ayah yang kejam," gumam Yuki dalam hati.
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, Hayashi Aoi tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mendekati Yuki. Tanpa peringatan,
Bugh!
Sebuah pukulan keras menghantam wajah Yuki. Tubuhnya terpental jauh, menghantam lantai dengan keras. "Hah…?" Yuki merasakan darah keluar dari mulutnya. Ia mengangkat kepala, melihat Hayashi tertawa puas.
"Lemah."
Seisi ruangan ikut tertawa mendengar hinaan itu. Namun, beberapa detik kemudian, tawa itu terhenti. Karena mereka melihat Yuki mulai bangkit. Kini Yuki sudah berdiri lagi. Nafasnya berat, wajahnya masih terasa berdenyut karena pukulan tadi, tetapi ia menatap Hayashi tanpa gentar.
"Waw, menarik." Hayashi tersenyum miring, lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyingkir. Mereka semua bergerak ke tepi ruangan, menyisakan ruang kosong di tengah.
Yuki menegakkan tubuhnya, merasakan nyeri yang menjalar, tetapi ia tahu ini belum selesai.
Lalu, Hayashi mengangkat tangan dan menunjuk seseorang. "Shuji, lawan dia."
Seisi Ruangan menegang. Nama itu bukan nama sembarangan. Shuji, pria bertubuh raksasa dengan otot-otot kekar, salah satu petarung terkuat di bawah Hayashi.
Ayaka terkejut."Tuan Hayashi, apa dia mau membunuh Yuki?"
Begitu juga Nana. "Ayah, kenapa Shuji?! Dia terlalu kuat untuk Yuki!"
Hayashi menatap Nana, "Diam." Nada suara Hayashi tidak bisa dibantah. Nana mengepalkan tangannya, tidak bisa berbuat apa-apa.
Yuki menelan ludah, lalu memandang pria yang akan menjadi lawannya. Shuji melangkah ke tengah, tubuhnya tinggi menjulang, memandang Yuki seperti serigala melihat mangsanya.
"Sial" gumamnya, Yuki sadar, ia tidak punya pilihan selain melawan.
Bugh!
Sebuah pukulan telak menghantam wajah Yuki, membuatnya jatuh ke lantai. Shuji menatapnya tanpa ekspresi, yakin bahwa pukulan itu cukup untuk membuatnya tak sadarkan diri. Namun, suatu hal yang tidak ia duga, Yuki kembali bangkit. Shuji mengernyit.
"Hmm, baiklah."
Yuki mengatur nafasnya, lalu memasang kuda-kuda. Shuji melangkah maju dengan tinju terkepal, menghantamkan pukulan lain. Yuki miringkan tubuhnya, berhasil menghindar!, Kesempatan itu tidak disia-siakan. Yuki melayangkan tinjunya ke wajah pria itu.
Buk!
Namun, tinjunya Tidak ada efek. Shuji bahkan tidak bergerak sedikit pun.
Bugh!
Sebuah tinju keras menghantam perut Yuki. Lalu pukulan kedua menghantam rahangnya. Yuki terkapar lagi.
"Ayah, hentikan!" Nana menjerit, air mata mulai menggenang di matanya. Tapi Hayashi hanya menatapnya dingin. "Diam."
Ayaka, yang melihat ekspresi Nana, tersenyum tipis. "Ternyata sebesar itu cintamu pada Yuki"
Sementara itu, Yuki kembali bangkit. Ia mencoba berpikir. Kalau serangannya tidak mempan, harus ada cara lain. Lalu, ia berlari ke arah Shuji.
Shuji menunggu dengan tenang, seolah sudah tahu bahwa Yuki tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Bugh!
Yuki meninju perutnya. Tapi, Shuji masih berdiri kokoh. "Sial… tubuhnya keras seperti batu." Yuki mundur sedikit, mencoba mencari celah. Tapi tiba-tiba
"Gunakan tangan kiri lu, bodoh!" Nana berteriak dari pinggir ruangan. Mata Yuki melebar. "Nana… bagaimana dia tahu gue kidal?". Namun, pertanyaan itu tidak bisa ia pikirkan sekarang. Shuji juga sedikit lengah mendengar teriakan Nana. Saat itu juga,
Bugh!
Yuki mengerahkan seluruh tenaga di tangan kirinya dan menghantam rahang Shuji dengan keras.
Brukk!
Tubuh raksasa itu terhuyung, lalu jatuh!. Ruangan menjadi sunyi. Semua orang terperanjat, tak percaya bahwa Shuji, orang yang bahkan petarung profesional pun segan padanya, jatuh hanya dengan satu pukulan.
Hayashi tertawa kecil dan mulai bertepuk tangan. "Lu tidak salah memilih pria, Nana." Sekali lagi, ruangan gempar. Ayaka pun memandang Yuki dengan ekspresi terkejut, tidak menyangka bahwa anak SMA seperti dia bisa menang di sini. Yuki sendiri hampir tak bisa berdiri. Tubuhnya kelelahan, pandangan mulai kabur.
Tiba-tiba, Nana berlari menghampirinya. Ia menopang tubuh Yuki yang hampir tumbang, lalu tanpa bicara membawa Yuki pergi. Ia membawa Yuki ke kamarnya. Yuki tak melawan, hanya bisa membiarkan Nana membawanya pergi. Ruangan masih penuh dengan keheningan. Dan Ayaka hanya berdiri di tempatnya, tersenyum kecil.