BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Sabar
"Nji, lo biasa lihat Ami pakai motor itu?" Akbar menatap Panji yang nampak santai. Sama-sama berada di teras melihat Ami sedang memanaskan mesin motor sport merah strap hitam yang garang. Orang yang dibicarakannya terlihat santai mengobrol dengan Padma.
Panji mengangguk. "Ami tiap nginep ke sini pakai motor itu. Awalnya aku dan semua orang di sini juga kaget dan cemas. Tapi pembawaan dia yang tomboy terus anaknya juga enjoy, jadinya biasa deh. Malah salut. Anak bungsu tapi tidak manja."
"Dia juga udah banyak fans lho, Mas. Intip aja akun ig nya. Setiap posting kegiatan, pasti dikomentari ratusan dengan mayoritas akun cowok. Semua anak perempuan Bu Sekar memang berkualitas. Aku aja sampe rela sabar nunggu kepastian. Benar-benar definisi kena ajian jaran goyang nih gue. Nggak bisa kelain hati." Panji tergelak. Mentertawakan nasib asmaranya yang masih menggantung hingga detik ini. Sabar. Satu kata yang selalu Enin ingatkan padanya. Itu karena Aul pun belum punya pasangan. Masih fokus dan semangat memajukan usaha kuliner.
Akbar tersenyum simpul. Ia menyimak dengan menggaris bawahi kalimat informasi tentang Ami. Ia bahkan belum tahu akun media sosial gadis yang belum genap berusia 17 tahun itu. Nanti akan ditelusuri.
"Kak Akbar, Kak Panji, aku pergi dulu!" Ami melambaikan tangan dan sudah mengenakan helm.
Akbar mendekat. "Mi, jangan ngebut ya! Atau gimana kalo Kak Akbar boncengin aja?" Sejujurnya ia khawatir sekali. Kalau memakai motor biasa, tidak masalah.
"Aman, Kak. Aku nggak akan ngebut. Nanti diultimatum Ibu kalau aku ngebut." Ami menolak tawaran Akbar.
"Mi, nanti sore Kak Akbar ke rumah Ami lagi. Harus temenin makan ya!" Akbar mengingatkan permintaannya kemarin.
"Iya, Kak. Aku jam dua udah ada di rumah. Sampai ketemu nanti. Dadah semuanya ya. Assalamu'alaikum." Ami menutupkan helm full face nya. Motor pun melaju meninggalkan pekarangan.
Padma dan Panji menjawab salam. Akbar termangu menatap pintu gerbang yang terbuka dan Ami sudah tidak terlihat. Masih tak percaya yang baru saja meraungkan knalpot dengan suara khas Ninja itu adalah Ami. Benar-benar gadis istimewa, pikirnya.
"Nji, aku juga mau sekalian pamit. Masih ada urusan di Tasik. Nanti malam lanjut pulang ke Jakarta." Akbar menatap jam tangannya. Sudah waktunya pergi karena ada meeting dengan manajemen hotel.
"Kirain mau pulang minggu, Mas. Semalam lagi di sini ya!" Panji bersama-sama dengan Akbar masuk ke dalam rumah. Ada Leo dan Enin yang sedang berbincang di ruang tengah.
"Aku sih masih betah. Tapi kasian Leo butuh quality time sama istrinya."
Panji manggut-manggut. Kemudian melihat Akbar dan Leo berpamitan kepada Enin. Ia pun mengantar kepergian keduanya sampai teras.
***
Akhir pekan ini bukannya tidak ada ajakan hangout dari kawan-kawan. Tapi Panji lebih memilih melajukan mobilnya ke rumah Ibu Sekar. Masih dengan status sahabat dan juga terikat keluarga, ia tanpa sungkan selalu datang berkunjung. Apalagi ia lebih sering berada di Ciamis karena Bunda Ratih sudah menyerahkan tampuk kepemimpinan kantor pusat padanya.
"Aul lagi nengokin bangunan yang di sana. Berangkat tadi setengah jam yang lalu. Mau Ibu teleponin?" Ibu Sekar menatap Panji yang saja dipersilakan duduk di ruang tamu.
"Nggak usah, Bu. Panji aja yang ke sana. Sekalian pengen liat juga." Panji pamit. Ia tahu tentang project cafe yang sedang dibuat Aul karena anak kedua Bu Sekar itu selalu bicara terbuka tentang kegiatannya. Bahkan suka meminta saran pendapat. Kecuali tentang hati, masih tertutup. Dan keinginan untuk menjadi investor pun di tolak sang gadis pujaannya itu.
Aul menyaksikan pekerja yang sedang mengecat dinding tembok bagian luar. Warna putih menjadi pilihan yang memberikan kesan klasik dan elegan. Meja kursi berbahan kayu dengan warna hitam, sudah berderet di dalam, tinggal dirapihkan posisinya. Sepintas saja sudah memberi kesan nyaman dan betah untuk pengunjung duduk berlama-lama.
"Teh, gimana penilaiannya?" Aul mengarahkan kamera ke berbagai sudut. Ia sedang melakukan panggilan video dengan Puput, kakaknya di Jakarta.
"Wow, udah bereskah ini?" Puput mengamati dengan seksama room tour yang dilihat di layar ponsel.
"Dua puluh persen lagi, Teh. Kemungkinan satu bulan lagi opening. Teteh nanti bisa datang, nggak?" Aul sangat berharap kakaknya itu bisa datang. Cafe ini bisa dibangun karena suntikan investasi dari Puput yang mendukung mimpinya itu terwujud dengan cepat.
"Lihat sikon ya, Aul. Kalau minggu ini lahiran, bulan depan insya Allah bisa ke Ciamis." Sahut Puput yang kini sedang menunggu waktu launching anak kedua.
Aul mengangguk. Panggilan video berakhir usai ia memperlihatkan ruang pantry yang sudah lebih dulu selesai.
"Astaghfirullah!" Aul memekik kaget saat kakinya tak sengaja menginjak lap basah dan membuatnya terpeleset. Tidak sempat meraih pegangan, alhasil ia pun terjengkang.
Namun ada sepasang tangan kokoh yang menahan punggungnya sehingga tidak jadi menyentuh lantai. "Kak Panji," ujarnya saat menoleh dengan mata melebar. Terkaget dua kali.
"Aul nggak apa-apa?" Panji membantu Aul berdiri tegak. Ia masuk di saat yang tepat melihat Aul terpeleset.
"Ditolong Kak Panji jadinya nggak apa-apa. Makasih, Kak." Aul mengatur nafas karena jantungnya masih berdebar kencang saking kaget. Panji hanya menjawab dengan tersenyum.
"Kak Panji sengaja ke sini atau sekalian lewat?" Aul mengajak Panji menaiki tangga menuju lantai dua, area rooftop.
"Sengaja. Tadi ke rumah tapi kata Ibu lagi ke sini. Aku susul deh sekalian pengen lihat juga progres cafe nya sang entrepeneur cantik." Panji menoleh dengan mengulas senyum. Menatap Aul yang berjalan di sisinya.
"Ehmm. Jangan muji deh. Aku jadi malu." Aul memalingkan wajah ke arah berlawanan. Menyembunyikan rona merah wajahnya.
Panji tersenyum simpul. Menurut duduk di kursi yang dipilihkan Aul. Dari rooftop ini, ia bisa melihat pemandangan Ciamis yang masih banyak pemandangan hijau alam.
"Aul." Panji menatap lembut wajah cantik berbalut pasmina yang ujungnya melambai-lambai tertiup semilir angin.
"Ya." Aul balas menatap dengan sorot tanya.
"Nanti abis magrib aku jemput ya. Malmingan nonton." Sorot mata Panji penuh harap.
"Nanti malam nggak bisa, Kak. Aku udah ada janji." Sahut Aul.
"Janjian sama Anggara?" Tebak Panji dengan ekspresi wajah berubah datar.
Aul mengangguk pelan.
Panji menelan ludah. Mendadak ada perih dirasakan di dada. "Udah jadian sama Anggara ya?"
Aul menggeleng.
"Terus kenapa mau malmingan sama dia?" Panji tidak bisa mengontrol ucapannya yang bernada gusar.
"Karena Kak Angga punya waktunya malam minggu. Aku udah lama nunggu bisa ketemu dia yang sibuk tugas dan kuliah lagi. Jadi bukan sengaja mau ngedate." Jelas Aul. Ia bisa menangkap perubahan sikap Panji tidak sehangat tadi.
Panji menghela nafas panjang. "Aul, kamu masih ingat tidak. Saat dulu kamu tolak aku, aku janji setia dan sabar menunggumu sampai lulus kuliah. Sekarang udah setahun dari lulus, kamu masih belum membuka hati juga. Adakah peluang untukku bertahta di hatimu." Ini ungkapan isi hati tanpa rencana. Kedatangannya menyusul Aul karena rindu ingin bertemu. Tapi malah terpancing untuk mengungkapkan isi hati karena mendengar nama rival disebut.
Aul sejenak menunduk dan memejamkan mata. Lalu mendongak lagi dan menatap lurus pria tampan berhidung mancung yang pernah dijuluki Pinokio itu. "Kak, bisakah bersabar sebentar lagi?"
"Aku selalu sabar. Sampai sekarang tiga tahun masih bertahan sabar. Aku harus sabar berapa lama lagi, Aulia? Asal itu jawaban kepastian, aku siap menambah amunisi sabar." Ucap Panji pasti. Menatap Aul dengan sorot penuh harap dan damba. Bukan tidak ada wanita-wanita di luar sana yang mendekat. Entah kenapa hatinya tidak bisa terbuka untuk menatap wanita lain. Malah
penasaran dan ingin terus mengejar wanita di depannya yang sudah jelas mengenal sifat dan sikapnya.
"Sabar sehari lagi bisa?" Tanya Aul dengan tatapan serius.
Panji menegakkan punggungnya. Ia yakin tidak salah dengar. Tapi ia pun ingin memastikan pendengarannya lagi. "Sabar sehari lagi? Nggak becanda kan, Aul?"
Aul menggeleng sambil mengulum senyum.
"Oke. Aku akan sabar." Bibir Panji melengkungkan senyum manis. Wajahnya berubah semringah.
...****************...
Bestie, sabar satu bab lagi nanti malam. InsyaAllah.