"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Lelaki Bernama Mark
"Lain kali jangan berkeliaran sendiri di negara orang. Apalagi yang tidak tahu menahu seperti apa keadaan di Kota London ini," kata lelaki itu.
"Dok akrab dengan orang asing, terlalu baik dengan orang lain tidak berlaku di sini. Hati-hati, banyak kejahatan di kota yang kelihatannya indah ini. Aku pergi dulu," pamit lelaki itu.
"Tunggu!"
Jessy menghentikan langkahnya. Lelaki itu menoleh memandangi Jessy.
"Aku tidak punya ponsel untuk menghubungi temanku. Aku juga bingung arah untuk pulang ke hotel," ucap Jessy yang sudah kebingungan. Sekarang ia seperti orang hilang.
Lelaki itu menghela napas. Sudah dicelakakan kini juga harus direpotkan oleh wanita yang ditolongnya itu.
"Kalau aku minta tolong kepada orang lain, mungkin aku akan kena tipu lagi. Anda kan orang dari Indonesia, pasti mau menolong saudsra sebangsa, kan?" kata Jessy penuh harap.
Lelaki itu tertawa lirih. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Jessy. Nama saya Jessy," jawab Jessy.
"Jessy,"
"Kalau nama Anda siapa?" Jessy memotong perkataan lelaki itu.
Lelaki itu tampaknya mencoba bersabar. "Namaku Mark," jawabnya.
"Bapak Mark, saya sangat mengharapkan bantuan Anda!" Jessy mengedip-ngedipkan mata seperti seekor kucing yang sedang meminta diadopsi.
Mark benar-benar ingin tertawa dengan tingkah Jessy. "Katakan, dimana hotelmu. Biar aku antarkan aku ke sana," ucapnya.
"Hotel XXX!" jawab Jessy semangat.
Mark memberi isyarat agar Jessy mengikutinya. Tanpa sungkan, ia berjalan di sebelah lelaki tinggi dan berwajah bule itu. Ia tersenyum-senyum merasa beruntung mendapatkan pertolongan.
"Kamu ada urusan apa di London? Kuliah? Jalan-jalan?" tanya Mark.
"Jalan-jalan, Pak. Tapi lebih tepatnya menemani teman liburan," kata Jessy.
"Oh, kamu datang bersama temanmu?"
"Iya, Pak."
"Lalu, dimana temanmu sekarang? Kenapa kamu malah sendirian?"
"Sibuk pacaran, Pak. Dia ke sini juga disuruh pacarnya. Aku hanya menemani saja," jawab Jessy sembari manyum.
"Kamu tidak ditemani pacarmu?" tanya Mark.
Jessy menggeleng.
"Lain kali jangan pergi sendirian. Kota ini sangat bahaya bagi orang asing," kata Mark.
"Aku tidak menyangka bakalan kecopetan di London, Pak. Padahal aku kira negara maju pasti angka kriminalitasnya rendah." kata Jessy yang masih tidak percaya dengan apa yang menimpanya.
"Kamu salah. Seperti kota besar lainnya, London juga angka kriminalitasnya tinggi. Bahkan sampai ada yang mengatakan kalau ingin tertusuk pisau, datanglah ke London. Karena kasus pembunuhan di negara ini cukup tinggi. Belum lagi kasus penipuan dan pencurian yang biasanya dialami pendatang, seperti yang kamu alami barusan."
Jessy tidak menyangka sisi gelap London sampai semengerikan itu.
"Sudah bagus kamu tetap di negaramu saja. Kalau di sini, dengan kecerobohanmu, bisa-bisa kamu diculik dan menjadi komoditi perdagangan manusia," lanjut Mark.
"Ih! Bapak sedang menakut-nakuti, ya?" protes Jessy.
"Aku tidak menakut-nakuti, kamu waspada saja jangan sampai hilang di sini," kata Mark.
Keduanya terus berjalan beriringan menelusuri jalanan Kota London yang telah berubah menjadi malam. Kota itu masih saja ramai meskipun sudah malam hari.
Pemandangan malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya, terlihat indah dan romantis. Namun, di balik keindahan itu patut mempersiapkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan.
"Ngomong-ngomong, sudah berapa lama Bapak tinggal di sini?" tanya Jessy.
"Sekitar 15 tahun," jawab Mark.
Jessy membulatkan mulutnya kaget. "Waow! Lama banget, Pak!"
"Aku menghabiskan waktuku untuk kuliah dan bekerja di sini," kata Mark.
"Bapak tidak rindu tanah air?" tanya Jessy.
"Tidak!" jawab Mark tegas seakan tanpa beban.
"Ck! Pasti sudah terlalu nyaman di sini, ya?" guman Jessy.
"Mungkin," jawab Mark.
"Oh, itu hotelmu sudah kelihatan," kata Mark saat mereka sampai di depan hotel tempat Jessy menginap.
Jessy bersyukur bisa kembali ke hotelnya dengan selamat. "Terima kasih atas bantuannya, Pak. Kalau kita bertemu lagi, aku akan membalas kebaikan Bapak," katanya.
"Hahaha ... Cukup kamu jaga diri dan bisa kembali dengan selamat nanti. Jangan sampai pertolonganku sia-sia sampai kemejaku juga tak layak pakai lagi karenamu."
Jessy menggigit bibir merasa bersalah. "Kalau aku punya uang, nanti akan aku ganti kemeja Bapak," katanya. Ia yakin kemeja itu harganya mahal.
"Sudahlah, aku hanya bercanda. Kembali ke hotelmu sekarang!" pinta Mark.
Jessy mengulaskan senyum sebelum berbalik badan. Ia berjalan menuju hotelnya.
Di area lobi hotel, ia lihat ada Fika dan Leon yang sedang berbicara dengan petugas hotel. Sepertinya mereka sedang mengkhawatirkan keberadaan dirinya.
"Fika," ucap Jessy.
Fika berbalik badan dan terkejut Jessy sudah ada di sana. "Jessy!" serunya seraya memeluk erat-erat tubuh Jessy.
"Kamu kemana saja? Aku pikir kamu diculik ... Aku sudah hampir melapor kepada polisi," kata Fika dengan mata berkaca-kaca saking khawatirnya.
"Maaf, ya. Aku tadi mengejar pencuri, barang-barangku dicuri orang, Fik," kata Jessy.
"Kenapa kamu bertindak sendiri? Itu bahaya sekali," sahut Leon yang baru saja menyelesaikan perbincangannya dengan pihak hotel.
"Aku panik, jadi aku kejar sendiri. Tasnya ketemu tapi barang-barang di dalamnya hilang," kata Jessy.
"Termasuk ponselmu?" tanya Fika.
Jessy mengangguk.
Fika akhirnya tahu kenapa Jessy tidak bisa dihubungi.
"Untung saja tadi aku bertemu orang Indonesia juga. Dia yang mengantarku pulang kembali ke sini," kata Jessy.
"Syukurlah, Jess ... Aku benar-benar khawatir tadi," kata Fika.
"Kamu pasti belum makan malam kan, Jess?" tanya Leon.
Jessy menggeleng.
"Kalau begitu, kita makan malam bareng saja sekarang," ajak Leon.
Ketiganya langsung berjalan menuju restoran milik hotel tersebut.
Hidangan yang disajikan tidak main-main, masakan Eropa yang terlihat berkelas dan mahal. Leon memang sangat royal dalam memperlakukan Fika. Meskipun Fika hanya seorang selingkuhan, tapi pelayanan yang diberikan merupakan yang terbaik selama mereka berada di London.
"Oh, iya, Jess. Sebelumnya aku minta maaf, sepertinya rencana kita ke Shard Tower harus dibatalkan," kata Fika di sela-sela acara makan malam.
"Tidak apa-apa, Fik," kata Jessy.
"Em ... Dua hari ke depan juga aku dan Mas Leon mau ke Perancis sebentar, ya ... Kamu tidak apa-apa kan, kalau aku tinggal sendiri di sini," kata Fika tidak enak hati.
Jessy antara kesal namun juga tahu diri tidak ingin mengganggu mereka.
"Aku tahu kamu pasti masih trauma berada di sini karena kejadian tadi. Tapi, kalau kamu tetap di hotel ini, pasti aman, kok!" kata Fika.
"Maaf ya, Jessy. Soalnya aku sudah lama tidak bertemu Fika. Kebetulan ada pertemuan di Perancis besok," kata Leon menimpali.
Jessy tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Kalian pergi saja. Aku akan menunggu kalian di sini," kat Jessy.
"Uh, terima kasih ya, Jess ... Kamu memang teman yang paling pengertian," ucap Fika lega.
Jessy (20 tahun), mahasiswi yang baik hati.
Mark (33 tahun), pengusaha muda yang telah berkeluarga.
Justin (20 tahun), pacar Jessy
Ibu Magda (38 tahun), dosen Jessy.
Fika (20 tahun), teman Jessy
Rindi (21 tahun), sepupu Jessy.
realistis dunk