Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 7
Makan malam sederhana dengan menu ala rumahan itu berjalan hangat, sesekali diisi obrolan ringan bersama dentingan sendok dan garpu mengiringi aktivitas kumpul keluarga.
“Nai, sudah biarkan saja,” cegah mama Wira, sesaat setelah melihat Naina hendak membereskan piring kotor yang mengisi meja makan setelah acara makan malam selesai.
Wira sendiri, terlihat menerima telepon di teras rumah. Begitu selesai makan malam, tiba-tiba ponsel lelaki itu berdering hebat.
“Tidak apa-apa, Ma.”
“Sudah, letakan di bak cuci piring. Besok ada asisten rumah yang mencucinya Nai,” ucap sang mama mertua kembali.
“Iya Ma.”
Naina sedang membersihkan meja makan dari tumpahan kuah masakan dengan tisu, saat Wira kembali menemuinya.
“Sayang, Mas ada keperluan. Mas tinggal sebentar tidak apa-apa, kan?” Tiba-tiba Wira sudah memeluk pinggang Naina dari belakang. Menghentikan aktivitas istrinya yang sedang merapikan meja makan.
Meskipun di depan kedua orang tuanya, Wira tanpa malu-malu memperlakukan istrinya dengan manis. Bahkan pasangan suami istri paruh baya itu sudah terbiasa melihat kemesraan putra dan menantunya sejak awal menikah sampai sekarang tidak pernah berubah.
“Mas, mau kemana?” Nai berbalik menatap lekat netra suaminya.
“Ada pekerjaan kantor yang mendesak. Barusan Stevi mengingatkan, Mas lupa tadi sore, Nai,” sahut Wira.
“Boleh, ya?” tanya Wira meminta izin.
“Hmm.” Gumaman yang disertai anggukan menandakan Naina mengizinkan suaminya pergi.
“Mas cuma sebentar. Nai jangan kemana-mana, nanti Mas akan menjemput Nai di sini. Kita pulang sama-sama. Nai mau Mas belikan martabak telur, kan?” ingat Wira lagi.
“Iya Mas. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Nai.”
“Iya, Sayang. Nanti kalau Nai mengantuk, naik ke atas. Tidur di kamar Mas,” pinta Wira lagi.
Naina tersenyum dan mengangguk. Wira masih menunggu, sembari menyodorkan tangannya. “Nai tidak mencium tangan Mas?” tanyanya usil, belum rela beranjak.
Naina mengulum senyumannya, langsung mengenggam telapak tangan suaminya dan mengecup punggung tangan suaminya, laki-laki yang sudah menjadi nahkodanya selama lima tahun ini.
“Terimakasih Sayang,” ucap Wira, mengecup kening dan kedua pipi Naina sebelum berpamitan pada kedua orang tuanya dan berlari ke mobilnya.
***
Wira memacu mobilnya dengan panik setelah mendapat telepon dari pengasuh Nola. Entah apa yang dipikirkan Stevi sampai tega memukul putri kecilnya. Tidak sampai sepuluh menit, mobilnya sudah masuk dan terparkir di halaman rumah Stevi. Tanpa mengetuk pintu, lelaki itu langsung masuk dengan menggunakan kunci cadangan yang selalu tersimpan di mobilnya.
Begitu pintu rumah mewah dua lantai itu terbuka, suara anak kecil menangis langsung mendominasi.
“Sayang, papi datang,” teriak Wira, mencari asal suara tangisan Nola, melangkah menelusuri ruangan demi ruangan.
Begitu masuk ke kamar Nola, Wira disuguhkan pemandangan menyesakan. Nola menangis sesengukan di pelukan pengasuhnya. Kedua tangan mungil itu memerah bekas pukulan mamanya.
“Ya Tuhan, Stev! Kamu sudah gila!” teriak Wira, kesal. Beralih, menghampiri dan mengambil alih Nola dari tangan pengasuhnya. Menggendong gadis kecil itu untuk membujuknya berhenti menangis.
“Sudah, jangan menangis lagi, Sayang. Papi sudah datang,” bujuk Wira, mengusap lembut punggung putrinya.
“Apa yang terjadi, Mbak?” tanya Wira pada pengasuh Nola.
“Non Nola ... eh ... menjatuhkan parfum Nyonya Stevi,” sahut sang pengasuh.
“Ya ampun, Stev. Hanya parfum saja, kamu tega sama putrimu.”
“Mas tahu kan, seberapa mahalnya parfum itu,” ucap Stevi, masih menahan kesalnya.
“Lagipula, Nola memang sejak tadi rewel. Menangis terus-terusan. Kamu tahu apa, Mas. Kamu sibuk mengurusi istrimu yang manja itu.”
“Eits, jangan membawa-bawa Nai disini. Dia tidak ada hubungannya sama sekali.” Emosi Wira terpancing saat mendengar nama Naina terlontar dari bibir Stevi. Lelaki itu menyerahkan Nola kembali ke pengasuhnya.
“Mbak, tolong ganti pakaian Nola, bawa putriku tidur,” perintah Wira pada pengasuh Nola.
Melihat gelagat yang tidak baik dari kedua majikannya, sang pengasuh menurut. Bukannya sekali ini saja, hampir setiap kali bertemu keduanya bertengkar. Setiap kali majikan laki-lakinya itu datang mengunjungi Nola, pasti terjadi perang hebat.
“Apa maumu, Stev?” tanya Wira setelah menyeret Stevi keluar dari kamar putrinya. Sekarang mereka sedang berada di ruang keluarga.
“Aku tahu, ini bukan hanya karena parfum mahal sialanmu itu!” omel Wira dengan mata memerah, tangannya sudah terkepal di sisi kanan dan kiri tubuhnya.
“Aku mau kamu adil, Mas. Aku juga istrimu, Nola juga putrimu,” cerocos Stevi.
“Tidak perlu mengingatkanku, aku tahu jelas apa statusku!” sahut Wira, ketus.
“Aku bahkan belum membuat perhitungan denganmu. Kamu sembunyikan dimana hadiah yang akan aku berikan ke Nai,” todong Wira, menerobos masuk ke kamar Stevi. Membongkar laci nakas dan mengacak-acak lemari pakaian Stevi, mencari apa yang dimaksudnya.
Melihat Wira yang masuk ke kamarnya, Stevi segera menyusul. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” tanya Stevi melihat Wira hampir menghancurkan kamarnya. Mengeluarkan semua isi lemari dan rak.
“Dimana kamu menyimpannya. KATAKAN!” teriak Wira. Emosinya bertambah, mengingat kelakuan Stevi pada putrinya.
“Kamu tidak adil, Mas,” ucap Stevi sambil menangis. Tertunduk, duduk di sisi tempat tidur.
“Katakan dimana kamu menyimpannya, Stev?” pinta Wira, sedikit melembut. Berdiri bertolak pinggang di depan Stevi, setelah menghancurkan kamar tidur itu tetapi tetap tidak menemukan apa yang dicarinya,
“Aku mohon kembalikan padaku. Kamu tahu jelas, aku memesannya khusus untuk Naina, istriku,” tegas Wira.
“Kamu keterlaluan, Mas!” Tangis Stevi semakin kencang, meraung di tepi tempat tidur sembari memeluk bantal.
“Kembalikan padaku, aku akan memberikan semua yang kamu minta. Kamu kamu berapa? Aku akan membuka cek untukmu.”
“Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin Mas berlaku adil pada kami.”
“Kalau kamu tidak bisa mempertimbangkan perasaanku, setidaknya kasihani anak kita. Kamu mencintai Nola, tetapi kenapa tidak bisa adil padanya,” ucap Stevi di sela isak tangisnya.
“Maaf.” Hanya sebuah kata maaf saja yang keluar dari bibir Wira. Lelaki itu melunak setelah diingatkan tentang putrinya, Nola.
“Bahkan kamu tidak pernah ada setiap Nola mencarimu. Kemana saja kamu saat putrimu merindukanmu, menangis ingin bertemu denganmu. Kamu malah sibuk memanjakan istrimu.”
Wira tertunduk. “Maafkan aku.”
Wira keluar dari kamar tidur Stevi, beralih ke kamar putrinya. Begitu pintu kamar terbuka, tampak Nola yang masih belum tidur, berbaring membuka mata sambil berceloteh tidak jelas. Begitu melihat Wira, gadis kecil itu langsung tersenyum.
“Papih ... papih ... papih ....” Nola berceloteh
“Mbak bisa tinggalkan kami?” pinta Wira pada pengasuh putrinya.
Lelaki tampan itu, memilih ikut berbaring di samping Nola, membiarkan gadis kecil itu menelusup ke dalam pelukannya.
“Ola merindukan papi?” tanya Wira, mengusap lembut punggung putrinya, berusaha membuat gadis kecil yang belum terlalu pandai bicara itu tertidur. Hatinya teriris saat melihat memar memerah yang belum hilang di kedua lengan mungil Nola akibat pukulan Stevi.
“Maafkan Papi, Nak,” ucap Wira, dengan mata berkaca-kaca, mengecup pelan kening putrinya.
Wira masih bertahan disana, sampai Nola tertidur pulas. Entah sudah berapa lama, lelaki itu ikut tertidur bersama putrinya. Baru terjaga saat ponsel di saku celananya berdering.
“Naina,” bisiknya pelan. Buru-buru keluar untuk menjawab panggilan istrinya. Tidak mau suaranya sampai membuat putrinya terjaga kembali. Begitu keluar dari kamar Naina, tampak Stevi duduk di sofa ruang keluarga menatap sinis padanya dengan tangan terlipat di dada. Sebuah kotak hadiah berwarna keemasan yang sejak tadi dicarinya terletak di atas meja.
“Iya, Nai. Ada apa, Sayang?” sapa Wira, begitu ponsel mahalnya menempel di telinga. Tanpa peduli pergerakannya yang diiringi tatapan sinis Stevi.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.