Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Selasa, S-nya Apa? Seseorang....
Selasa ini, jadwal kuliah Yuri bener-bener padat dari pagi sampe sore, tugas-tugas juga sudah menumpuk seperti gunung. Padahal, kurang dari seminggu lagi Ujian Semester diselenggarakan.
"Ri, Sabtu ini ada kumpul Himpro di Saung Jurusan. Lo bisa ikutan, kan?" tanya Widya waktu mereka jalan bareng, menuju kelas berikutnya setelah jam makan siang.
Himpunan Profesi, satu-satunya kegiatan kampus yang wajib Yuri ikuti, apalagi buat anak tahun pertama. Awalnya dia malas, tapi ia mulai enjoy saja, toh selama ini dia nggak pernah cari masalah sama senior.
"Kayaknya sih bisa. Emang bahas apaan Sabtu nanti?" jawab Yuri sambil ngunyah permen karet santai. Plop!
"Yurika," bisik seseorang dari lantai dua jauh di seberang sana saat melihat Yuri jalan. Senyumnya penuh arti, sepertinya Kenan mulai tertarik dengan salah satu mahasiswinya.
"Senior aktif, pada request kumpul-kumpul aja sebelum kita sibuk sama ujian dan libur semester. Mumpung mereka juga lagi jadi tutor anak BEM buat Ospek, katanya."
"Oh... Oke deh."
"Sip."
"Jam terakhir nanti Pak Kenan, 'kan? Duh... nggak sabar deh," kata Widya dengan nada genitnya yang khas.
"Mulai deh," balas Yuri malas, langsung berjalan lebih dulu meninggalkan Widya.
"Ya... Yuri... malah gue ditinggal!" Widya teriak sambil terus mengejar sahabatnya.
***
Setelah satu mata kuliah terlewati, kini saatnya mata kuliah dosen paling "dicintai" para mahasiswi. Jam terakhir diisi dosen modelan Pak Kenan? Kantuk langsung auto hilang. Lebay sih, tapi ehm...
"Ri, Pak Kenan!" heboh Widya yang duduk di sebelah Yuri sore itu. Yuri cuma melirik sebentar ke arah pintu, terus balik lagi membaca buku yang tempo hari dia beli. Di toko buku itu, yang ada Pak Kenan-nya. Kan... nama itu lagi.
"Kenapa Pak Kenan suka banget pakai kemeja putih ya?" bisik Widya, lebih kayak ngomong sendiri. Yuri belum sempat menjawab, Pak Kenan sudah kadung berbicara.
"Sore semua. Minggu depan kita sudah ujian semester, jadi sore ini kita bahas kisi-kisi soal ujian yang akan keluar. Oke, kita mulai dari bab Investasi..."
Sore itu, semua mahasiswa fokus sama penjelasan demi penjelasan dari dosen mereka, demi nilai ujian. Soal Pak Kenan terkenal susah dan nggak bisa ditebak, kata para senior.
"Oke. Ada yang ditanyakan?" Nggak kerasa, hampir dua jam beliau ngajar.
"Pak, nanti soalnya pilihan ganda atau esai, Pak?" tanya salah satu teman Yuri.
"Soal dari saya esai. Jadi siapkan diri kalian baik-baik. Pelajari teorinya dan tambahkan dengan pendapat kalian nantinya."
Semua mata tertuju ke depan kelas dimana dosen berada, termasuk Yuri. Dari tadi, tatapannya fokus ke Pak Kenan yang sibuk menjelaskan dan sesekali menulis di white board. Tapi, entah kenapa, setiap tatapan mereka nggak sengaja bertemu, Yuri merasa ada sesuatu dari mata beliau.
"Jangan ke-geer-an, Yuri. Bisa aja dia emang gitu natap semua mahasiswanya. Dia udah punya cewek juga," rutuk Yuri dalam hati, nggak mau baper.
"Oke, kita akhiri kelas hari ini. Semoga kalian nggak ada yang ngulang di mata kuliah saya. Selamat sore."
"Sore, Pak," jawab mereka serempak.
"Fiuhhh, akhirnya hari ini kelar juga!" kata Widya, yang dari tadi bener-bener diem dan serius menyimak.
"Bareng gue, Wid?" tanya Yuri.
"Yah, Tante udah otw jemput gue, Ri. Gimana dong?" sesal Widya.
"It's Okay. Sayang ya, Isa hari ini beda kelas sama kita," kata Yuri.
"Iya, sepi nggak ada dia hari ini." Mereka berdua jalan keluar kelas.
Suasana kampus sudah lumayan sepi, karena nggak banyak kelas yang sampai jam lima kayak kelas mereka hari ini.
"Di jemput Tante lo di mana?" tanya Yuri sambil muter-muter kunci mobilnya.
"Di halte depan. Gue duluan yak."
"Nggak mau gue anter aja?"
"Ah, nggak usah, Ri. Deket ini. Bye, Sista!"
"Bye, hati-hati di jalan!" pesan Yuri, lalu jalan ke parkiran mobilnya.
***
"Lo, Yurika, ya?" Tiba-tiba ada yang mencegat. Yuri inget, yang di depannya ini kakak senior cewek, semester enam. Dulu pas ospek, dia pernah minta tanda tangan senior yang satu ini.
"Ah, iya, Kak. Ada apa, ya?" tanya Yuri sopan.
"Gue boleh minta tolong nggak, buat jadi model utama buletin jurusan, yang terbit di semester baru nanti? Gue penanggung jawabnya. Kalau lo nggak keberatan, kita bisa ngobrol lebih lanjut," jelas Kak Afika, nama yang Yuri ingat.
"Ha? Saya, Kak?" Yuri jelaa kaget sore itu. Kak Afika cuma mengangguk penuh harap. Yuri bingung, tangannya menggaruk pelipisnya yang nggak gatel.
"Saya sendirian, Kak?" tanyanya pelan, masih linglung.
"Oh, nggak! Tenang aja. Kamu sebagai wajah mahasiswinya, nanti yang cowok ada anak semester empat. Namanya Ezra."
"Mampus," batinnya. Yuri langsung pengen mundur dan cabut dengan segera.
"Bang Ezra? Hmm, Kakak sama teman saya yang lain aja ya, Kak. Saya nggak bisa jadi model-model kayak gitu," tolaknya halus.
"Kenapa? Karena Ezra?", Afika pikir adik tingkatnya mungkin takut karena Ezra di divisi Komdis pas Ospek mereka.
"Ah, enggak kok Kak. Saya nggak bakat aja kak", Yuri masih berusaha menolak dengan halus sambil cengengesan.
"Saya tahu kamu dulu pernah ikut modeling dan jadi finalis majalah REMAJA, kan?"
"Ha?" cuma itu kata yang keluar dari mulut mungil Yuri. Kok bisa Kak Afika tahu?
"Oke, ya? Please, deadline-nya mepet nih. Saya harap kamu mau," mohon Kak Afika.
Yuri langsung berpikir keras. Jelas sudah dua tahun dia nggak main model-modelan dan photoshoot. Dan ini harus bareng Ezra? Komdis (Komisi Disiplin) jaman dia ospek, yang pernah bentak dan hukum dia sampai mau pingsan. Duh. Tapi liat Kak Afika, kasihan. Dia baik banget dulu. Tapi...
"Oke deh, Kak. Cuma foto aja, kan? Nggak lama?"
"Ah... akhirnya! Iya-iya, nggak lama kok, Yuri. Sabtu bisa nggak? Sebelum kumpul Himpro, gimana? Fotonya di kampus aja. Kamu bawa almamater dan pakai baju rapi aja. Oh, ya, boleh minta nomor kamu?"
"Oke, Kak. Oh, boleh, Kak." Yuri langsung nerima sodoran HP Afika dan menulis nomornya di sana.
"Sudah, Kak."
"Itu nomor aku. Save, ya. Makasih ya, Yuri. Sampai ketemu hari Sabtu!"
"Iya, Kak."
Tanpa Yuri sadari, di lantai atas, ada seseorang yang mendengerkan percakapan Yuri dan Afika dengan jelas. Senyum terukir di wajahnya. Seolah nggak perlu susah payah nyari tahu sosok yang akhir-akhir ini buat dia penasaran. Satu per satu informasi dia dapat secara nggak langsung.
"Menarik," katanya, lalu dia berjalan.
***
Yuri sampai di kosan lama. Dia belum selesai memindahkan semua barang-barangnya di kosan baru. Rencananya besok dia mau pindahin semua, dan esoknya dia bisa tidur di kosan baru. Meleset sehari dari rencana.
"Besok, kelas jam sepuluh sampai sore. Pagi gue ke kosan baru deh buat nata semua barang," monolognya sambil makan malam.
Tangan lainnya sibuk buka media sosial. Dia lagi mengulik lagi apa yang membuat dia penasaran tempo hari. Tapi nihil. Dia sudah coba berbagai nama dan kombinasi yang berhubungan sama dosennya, Kenan Bara Adhikara, tapi nggak ketemu. Akhirnya dia menyerah.
"O... ada yang minta follow ternyata. Eh, udah seminggu lalu. Siapa nih?" tanyanya ke diri sendiri.
Akunnya dia kunci, jadi buat seseorang yang mau follow dia butuh persetujuan dari Yuri. Nama akun yang minta pertemanan kali ini atas nama @LunarKara.
Yuri berpikir keras. Ada nggak ya orang yang dia kenal dengan nama itu? Jelas nggak ada. Ah... paling orang yang tahu dia, pikirnya.
Yuri lihat foto profilnya cuma bayangan seseorang. Dia beralih ke album. Banyak banget postingan. Satu per satu Yuri lihat, didominasi foto random pemandangan, entah di dalam atau luar negeri. Yuri beralih ke follower akun, yang semuanya orang Eropa. Yang di-follow cuma tiga: dua orang luar, dan satunya dia. Semuanya jelas nggak Yuri kenal. Siapa cowok ini?
Yuri mendadak tertarik. Foto-fotonya cantik, jepretannya layaknya profesional. Beberapa postingan Yuri like dengan emotikon Love. Tepat di tiga postingan terakhir, pemilik akun kayak memakai jepretan dari kamera HP.
Satu foto saat duduk di sebuah cafe dengan tangan memegang cangkir kopi dan kaki yang bersilang. Foto kedua foto dengan topi dan masker di depan cermin, tapi dibuat ngeblur. Dan yang ketiga, foto malam hari jepretan dari samping, selfie di depan Eiffel Tower, tapi wajahnya ditutupi dengan telapak tangan.
"Ini siapa? Kenapa gue kayak familiar?"
***
Di sebuah ruang kerja, di rumah besar. Ada seseorang yang sedang sibuk berkutat dengan layar laptop. Tangannya lincah ngetik di atas keyboard laptopnya.
Ting, Ting, Ting.
Suara dentingan ponselnya, sempat membuat fokusnya buyar. Dia mengecek sebentar, ternyata ada notifikasi dari media sosialnya.
"Udah diterima."