NovelToon NovelToon
GAZE

GAZE

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:686
Nilai: 5
Nama Author: Vanilla_Matcha23

“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”

Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.

Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.

Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.

Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.

Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.

Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 - CAHAYA YANG MEMBAKAR

Lóngmen Sky Bar,

Lampu kuning hangat menggantung rendah, menyoroti meja marmer di antara mereka. Musik jazz mengalun pelan dari pengeras suara di sudut ruangan. Di luar, hujan baru saja reda; aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi yang tertinggal di udara.

Chen Wei duduk bersandar di kursinya, satu tangannya memutar gelas whiskey, matanya menatap Yu Liang tanpa benar-benar memandang.

“Jangan buat suasana canggung seperti terakhir kali,” katanya pelan, tapi nadanya cukup tajam untuk memecah keheningan.

“Mereka membayar mahal, Liang. Kau hanya perlu hadir, bersikap ramah, dan menjaga kesan baik.” Yu Liang menatap manajernya itu tanpa ekspresi.

Ia tahu arti kata-kata itu.

Menjaga kesan baik bukan berarti sekadar sopan santun. Itu adalah kalimat yang selalu digunakan Chen Wei setiap kali ada hal yang tak ingin dia ucapkan secara langsung.

“Aku aktor, bukan penghibur,” ucap Yu Liang datar.

Chen Wei tersenyum samar. “Dan mereka adalah orang-orang yang memastikan kariermu tetap hidup. Jangan bodoh, Liang. Dunia ini tidak memberi ruang bagi idealisme.”

Ucapan itu menggantung di udara, menekan dadanya seperti batu besar.

Ia ingin membantah, tapi tahu percuma.

Sejak lama, industri ini tak lagi berbicara soal bakat, melainkan tentang siapa yang kau layani dengan senyum paling tulus.

Lampu studio kembali menyala.

Sutradara memanggilnya ke depan kamera.

Yu Liang menarik napas panjang, lalu berdiri di bawah cahaya putih yang menyilaukan.

Senyumnya muncul lagi, sempurna seolah tak pernah ada sesuatu yang salah. Namun jauh di dalam dirinya, sesuatu perlahan retak.

Udara di dalam studio terasa berat oleh aroma make-up, lampu panas, dan suara arahan yang saling bertumpuk.

Huang Mei berdiri di sisi ruangan, mengenakan jas putih tipis di atas pakaian formalnya. Ia baru saja menyelesaikan pemeriksaan ringan untuk para kru dan talent, sebagian besar hanya kelelahan karena jadwal yang terlalu panjang.

Namun matanya berhenti pada satu orang, sosok pria di tengah set, berdiri di bawah cahaya lampu yang terlalu terang. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan,

Senyum itu terlihat indah,

“Dokter Huang?” seorang asisten produksi menghampirinya.

“Ya?”

“Bisa tolong siapkan ruangan istirahat? Aktor utamanya belum makan sejak siang. Kami khawatir dia pingsan lagi.”

Huang Mei mengangguk, lalu berbalik menuju ruang belakang studio.

Ia dibantu beberapa perawat mempersiapkan air, kotak obat, dan sedikit camilan energi.

Namun sebelum sempat menata meja, suara seseorang terdengar di belakangnya.

“Aku baik-baik saja,” ujar Yu Liang pelan.

Huang Mei menoleh. Pria itu berdiri di ambang pintu, menundukkan kepala sedikit, senyumnya lemah tapi sopan.

“Tubuhmu tidak setuju dengan ucapanmu,” balas Huang Mei lembut.

Yu Liang sempat terdiam, lalu menatapnya dengan mata yang nyaris kehilangan cahaya. Untuk sesaat, suasana menjadi hening.

Hanya bunyi kamera dari luar yang masih bergaung samar.

“Semua orang di sini berpikir aku hanya lelah,” katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik.

Huang Mei menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.

Ia hanya membalas dengan satu kalimat pelan, nyaris seperti rahasia,

“Kadang, lelah bukan hanya dari tubuh.”

Yu Liang tersenyum tipis, senyum yang anehnya membuat Huang Mei merasa sedih, dan mengingat perkataan sang sahabat terakhir kali.

Seakan pria itu sudah terlalu sering pura-pura kuat.

Huang Mei mempersilakan pria itu duduk di sofa kecil berlapis abu-abu. Ruangan itu sederhana, hanya meja rendah, dispenser air, dan lampu putih yang tidak terlalu terang.

Ia menuangkan air mineral ke dalam gelas, lalu meletakkannya di hadapan Yu Liang.

“Minum dulu. Kau terlihat dehidrasi.”

Yu Liang menatap gelas itu beberapa detik sebelum mengambilnya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia berusaha menyembunyikannya.

“Terima kasih, Dokter…”

“Huang Mei,” potongnya pelan. “Panggil aku Mei saja.”

Ia tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. Namun Yu Liang hanya mengangguk, lalu menatap kosong ke lantai.

Cahaya lampu di atas mereka membuat bayangan wajahnya tampak lebih pucat dari yang seharusnya.

“Sejak kapan kau terakhir istirahat dengan benar?” tanya Huang Mei.

Yu Liang tidak langsung menjawab. Ia memutar gelas di tangannya, memperhatikan pantulan cahaya air di permukaannya.

“Entahlah,” katanya akhirnya. “Mungkin sejak aku berhenti menjadi diriku sendiri.”

Huang Mei terdiam. Kalimat itu seperti meluncur tanpa filter, namun sarat makna. Sebagai dokter, ia terbiasa mendengar keluhan fisik. Tapi ini… bukan tentang tubuh.

Ini seperti tentang seseorang yang kehilangan ruang untuk hidup dengan jujur.

“Kalau kau terus begini, tubuhmu akan memaksa berhenti, bahkan sebelum kau sempat memilih,” ucap Huang Mei lembut.

Yu Liang tersenyum samar, kali ini dengan nada pasrah.

“Masalahnya, di dunia ini aku tidak punya hak untuk memilih, Dokter Huang.” Ucapan itu menggantung di udara, seperti kabut dingin yang perlahan menelan ruangan.

Huang Mei hanya bisa menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik tatapan pria yang tampak begitu tenang namun menyimpan luka yang dalam.

Di luar, suara kru dan kamera terdengar lagi, menandai dimulainya pengambilan gambar berikutnya.

Huang Mei tahu waktu mereka hampir habis. Tapi entah mengapa, ia merasa pertemuan ini belum seharusnya berakhir.

“Ckk! Sial, aku rasa apa yang diucapkan Xia mengenai dia benar.”

Ada sesuatu pada pria itu yang membuat hatinya gelisah, bukan karena ketampanannya, tapi karena rasa sepi yang terlalu manusiawi di balik sosok sempurna bernama Yu Liang.

..

Hari itu, ruang rias terasa seperti arena perang tanpa darah.

Suara hair dryer, parfum mahal, dan desisan bisik-bisik mengisi udara.

Setiap orang tersenyum, tapi tatapan mereka tajam seperti pisau.

Yu Liang duduk diam di kursinya.

Seorang penata rias sedang memoles wajahnya untuk sesi pemotretan majalah besar. Di cermin, ia melihat bayangan beberapa artis lain yang ikut dalam proyek itu, nama-nama besar yang dulunya ia kagumi, tapi kini hanya menjadi pesaing yang siap menjatuhkannya.

“Katanya dia dapat iklan baru dari perusahaan fashion Eropa.”

“Serius? Padahal audisi itu sudah ditutup.”

“Ah, kau tahu sendiri... di dunia ini yang cepat bukan bakat, tapi keberanian menjilat.”

Bisikan-bisikan itu terdengar jelas di telinganya, tapi Yu Liang tak menoleh.

Ia sudah terbiasa.

Kata-kata semacam itu seperti udara di industri ini, tak terlihat, tapi beracun. Di media sosial, kabar palsu tentang dirinya mulai bermunculan.

Sebuah akun anonim menuduhnya bersikap “dingin” pada kru, yang lain menulis bahwa dia “bermasalah dengan moralitas.”

Chen Wei hanya memberi pesan singkat lewat ponsel:

“Jangan tanggapi. Diam adalah citra terbaikmu.”

Tapi diam bukan berarti tak terluka.

Setiap berita palsu, setiap komentar jahat, menambah lapisan dinding di hatinya. Sampai-sampai ia lupa rasanya tertawa tanpa alasan pekerjaan.

..

Sore itu,

Di sela jeda syuting, seorang aktor lain Fan Yufeng , rekan lamanya, menghampiri.

“Kau masih berusaha kelihatan kuat, ya?” ujarnya sambil tertawa kecil.

Yu Liang menatapnya tanpa ekspresi.

Fan Yufeng tersenyum miring. “Pilihan selalu ada, Liang. Tinggal seberapa banyak harga diri yang rela tidak kau sia-siakan.”

Ucapan itu menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya. Fan Yufeng berjalan pergi, meninggalkan aroma parfum menyengat dan kalimat yang menggema di kepalanya.

..

Malamnya,

Ketika lampu studio dimatikan dan semua orang pulang, Yu Liang masih duduk di bangku panjang dekat jendela.

Teleponnya bergetar, pesan dari Chen Wei.

“Investor suka wajahmu di foto hari ini. Pertemuan mereka ingin diatur ulang minggu depan. Jangan buat masalah.”

Ia menatap layar itu lama.

Lalu mematikan ponselnya tanpa membalas.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Yu Liang menatap pantulan dirinya di kaca studio yang gelap.

Wajah itu tampan, sempurna, tapi matanya tidak lagi mengenali siapa dirinya.

“Berapa lama aku bisa bertahan… di dunia yang membakar semua orang hanya demi cahaya?” bisiknya pelan.

1
Om Ganteng
Lanjut thorrr💪
Om Ganteng
Yang Xia
Om Ganteng
Chen Wei
Om Ganteng
Yang Xia/Determined/
Om Ganteng
Yu Liang/Sob/
Om Ganteng
Thor... apa ini Yu Menglong?
Zerine Leryy
Thor, Yu Liang... seperti Yu Menglong/Sob//Sob/
Zerine Leryy
Guang Yi keren...
Zerine Leryy
Bagus, lanjutkan Thor... Semoga ceritanya bagus sampai akhir/Good//Ok/
Zerine Leryy
Yang Xia dibalik Yang Grup, Guang Yi dan Feng Xuan 👍 perpaduan keragaman yang keren
Zerine Leryy
Ceritanya bagus, Sangat jarang ada Ceo wanita yang tangguh seperti Yang Xia.
☘☘☘yudingtis2me🍂🍋
Jelek nggak banget!
Yue Sid
Aduh, cliffhanger-nya bikin saya gak tahan nunggu, ayo lanjutkan thor!
Gladys
Asik banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!