Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.
Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Gurita di Akuarium
Hari pertama sekolah tiba. Edward tidak memakai baju baru. Dia memakai kaos polos putih dan jeans biru yang sama, yang sudah dicuci bersih semalam. Satu-satunya barang baru yang menempel padanya adalah sepatu sneakers yang masih terlihat segar. Dia tidak merasa perlu pamer. Tujuannya ke sini adalah untuk belajar, bukan berpartisipasi dalam peragaan busana.
Dia memutuskan untuk menggunakan angkutan umum. Dia bisa dengan mudah naik taksi, tapi itu adalah pengeluaran yang tidak efisien. Naik bus kota lebih murah dan memberinya waktu untuk mengamati kehidupan kota yang bergerak di luar jendela.
Saat turun di halte terdekat, perbedaannya nya langsung terasa. Dia berjalan menyusuri trotoar yang bersih, diapit oleh pohon-pohon yang rindang. Dari kejauhan, gerbang SMA Nusantara Prestasi menjulang tinggi, terlihat lebih megah di bawah sinar matahari pagi. Mobil-mobil mewah berjejer di area parkir, mengantar siswa-siswi yang terlihat seperti keluar dari majalah fesyen.
Edward berjalan sendiri, dengan ransel di punggung, dan melewati mereka dengan tenang. seolah olah dia adalah pulau ketenangan di lautan yang penuh gelombang.
Saat dia memasuki halaman sekolah, sebuah suara memanggilnya. "Edward!"
Dia menoleh. Liza berjalan menghampirinya dengan senyum ramah. "Aku kira kamu tidak akan datang. Aku dengar dari Bu Rina kamu lulus."
"Selamat pagi," jawab Edward singkat. "Tentu saja saya datang."
"Senang melihatmu. Kalau ada yang kamu butuhkan, tanya aku aja ya. Aku ketua osis, jadi aku agak tahu seluk-beluk sekolah ini," tawar Liza dengan tulus.
Edward mengangguk. "Terima kasih. Saya akan ingat."
Sebelum Liza bisa melanjutkan, sebuah mobil sport berwarna merah melaju dengan kencang dan berhenti mendadak dengan decitan ban, membuat beberapa siswa terkejut. Bara turun dari dalam mobil, diikuti oleh dua temannya yang terlihat seperti pengawal.
Matanya langsung menemukan Edward. Senyum sinis mengembang di wajahnya. "Lho, ini siapa? Anak panti yang sok pintar. Kok naik bus? Uang pangkalmu aja nyicil, ya?"
Beberapa siswa tertawa pelan. Liza mengerutkan kening. "Bara, cukup. Ini hari pertama."
"lo diem aja, Liza! Gue lagi ngomong sama calan pembantu gue," kata Bara dengan nada mengejek.
Edward tidak bereaksi. Dia bahkan tidak menatap Bara. Hal itu di manfaatkan Bara untuk terus menghina dan memprovokasi Edward.
Tapi Edward hanya diam sambil menatap Bara yang terus bicara hingga berhenti sendiri karena lelah.
"Kenapa diam? Udah selesai? Kalau udah selesai aku pergi dulu."
Bara terdiam, mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Kesal karena dia terlihat seperti badut yang ngomong sendiri.
Edward tidak peduli. Dia mengalihkan pandangannya ke Liza. "Terima kasih untuk tadi. Saya masuk dulu." Lalu, dia berbalik dan berjalan menuju gedung utama, meninggalkan Bara yang membeku di tempat dengan amarah dan rasa malu yang bercampur aduk.
Liza menatap punggung Edward dengan kagum. Dia baru saja menyaksikan bagaimana Edward membungkam Bara tanpa harus mengangkat suara. Itu bukan kekerasan, tapi kecerdasan murni.
---
Di dalam ruang kelas, Edward menemukan tempat duduk di pojok belakang, dekat jendela. Itu adalah posisi strategis—dia bisa mengamati seluruh kelas tanpa menjadi pusat perhatian.
Tentu saja, Bara dan gengnya masuk dan duduk tidak jauh darinya. Bara masih mendengus.
Guru pertama masuk, seorang pria enerjik yang mengajar Fisika. "Selamat pagi, anak-anak! Selamat datang di Nusantara. Karena ini hari pertama, kita akan mulai dengan sesi perkenalan dan sedikit membangun suasana. Siapa yang mau memulai, memperkenalkan diri dan menceritakan satu fakta menarik tentang sains?"
Tidak ada yang maju. Bara, yang ingin mengembalikan harga dirinya, mengangkat tangan. "Pak, saya mau coba!"
Guru itu tersenyum. "Silakan, Bara."
Bara berdiri dengan angkuh. "Nama saya Bara Setiawan. Fakta menariknya... baru-baru ini saya baca di jurnal Nature tentang partikel fiksi yang disebut 'Tachyon'. Partikel ini konon bisa bergerak lebih cepat dari cahaya. Kalau ini benar, kita bisa melakukan perjalanan waktu ke masa lalu. Keren, kan?"
Beberapa siswa terkesan. Guru itu mengangguk-angguk. "Menarik sekali, Bara. Pengetahuan yang bagus."
Bara melirik ke arah Edward dengan pandangan menantang, seolah-olah berkata, "Bisa menyaingi ini, anak panti?"
Guru itu lalu melihat ke sekeliling. "Ada yang lain? Ah, Edward, kan? Saya dengar kamu lulus dengan nilai sempurna. Coba kamu berikan 1 fakta menarik."
Semua mata tertuju pada Edward. Dia berdiri dengan tenang.
"Nama saya Christian Edward. Tentang Tachyon yang Bara sebutkan tadi" kata Edward dengan suara yang jelas dan tenang. "Itu adalah konsep hipotetis yang menarik. Tapi ada kesalahan kecil dalam pemahamannya."
Bara mengerutkan kening. "Apa-apaan lo?"
Edward mengabaikannya dan melanjutkan, seolah-olah memberikan kuliah mini. "Tachyon, jika memang ada, tidak bergerak lebih cepat dari cahaya. Itu adalah kesalahpahaman umum. Tachyon selalu bergerak lebih cepat dari cahaya. Jadi, perjalanan waktu ke masa lalu dengan Tachyon secara teori tidak mungkin, karena akan melanggar hukum kausalitas."
Dia berhenti sejenak, membiarkan informasi itu meresap.
"Lagi pula," tambah Edward, "jurnal Nature belum pernah mempublikasikan artikel konfirmasi tentang keberadaan Tachyon. Artikel yang mungkin kamu baca adalah di Physical Review atau jurnal teoretis lainnya, dan itu hanyalah sebuah diskripsi matematis, bukan bukti empiris. Jadi, menyebutnya sebagai 'fakta' itu terlalu berlebihan."
Hening.
Seluruh kelas terdiam. Guru fisika itu menatap Edward dengan mata berbinar, seolah-olah baru saja menemukan permata langka. Bara berdiri dengan wajah pucat. Dia baru saja dipermalukan di depan seluruh kelas, dibongkar argumennya satu per satu dengan data dan logika yang tidak bisa ia bantah.
Edward tidak melihat ke arahnya. Dia hanya melihat ke gurunya. "Saya selesai, Pak."
Guru itu tersenyum lebar. "Luar biasa, Edward. Sangat luar biasa. Silakan duduk."
Saat Edward duduk, sebuah notifikasi muncul di layarnya.
---
**Misi Sosial: Menghadapi Provokasi**
**Status: Complete**
**Deskripsi:** Kecerdasan tanpa keberanian adalah sia-sia. Anda telah membuktikan bahwa Anda bisa membela diri dengan logika, bukan emosi.
**Tugas:** Tanggapi provokasi publik dengan cara yang cerdas dan terhormat. (Selesai)
**Hadiah:**
- Skill: [Deteksi Kebohongan (Level 1)] - Kemampuan untuk merasakan ketidaksesuaian kecil dalam ucapan seseorang yang menunjukkan kebohongan.
- Rp 1.000.000
**Gagal:** Tidak ada hukuman.
---
Edward tersenyum kecil. Skill ini akan sangat berguna di tempat yang penuh dengan "gurita" seperti Bara. Dia baru saja menyadari bahwa SMA Nusantara Prestasi bukan hanya tempat akuarium untuk ikan-ikan cantik. Ini juga sarang para gurita yang siap membelit siapa pun yang mereka anggap lemah.
Tapi dia bukan ikan kecil. Dan dia tidak akan ragu untuk memotong tentakel siapa pun yang berani mencoba untuk menghalanginya.