NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

****

Beberapa hari setelah perceraian, kamar Nathan terasa begitu asing.

Di ranjang, Nathan duduk membisu. Kepalanya tertunduk, jemarinya terus memutar cincin pernikahan yang enggan ia lepaskan.

Di meja kecil, sebuah foto besar terpajang, ia dan Elara pada hari pernikahan mereka, wajah keduanya dipenuhi tawa bahagia.

Nathan menarik napas panjang, suaranya lirih nyaris seperti bisikan.

“Elara, kupikir aku akan baik-baik saja setelah sidang perceraian kita. Tapi ternyata kosong sekali rasanya.” ucap Nathan.

Ia meraih bingkai lain, sebuah foto liburan mereka dulu di pantai. Rambut Elara tertiup angin, senyumnya lepas, tulus. Nathan menatapnya dengan mata basah, tersenyum getir.

“Kau masih ada di sini, di setiap sudut kamar ini tapi sekaligus sudah begitu jauh.” ucap Nathan.

Ia lalu merebahkan diri ke ranjang, menatap langit-langit kosong. Jemarinya meremas cincin itu lebih erat.

“Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku membiarkan semua ini berakhir begitu cepat?” gumamnya.

Sampai akhirnya, suara ketukan pintu terdengar dari lantai bawah. Nathan bangkit dengan langkah malas, masih membawa cincin di genggamannya.

Saat ia membuka pintu, berdirilah Maria, Mommy nya. Di belakangnya, David ikut menatap serius.

“Mom, Dad?” ucapnya.

Maria melangkah masuk, tatapannya menyapu ruangan.

“Kami dengar sidang perceraianmu sudah selesai.” ucap Maria.

Nathan menunduk, suaranya kaku.

“Iya. Semuanya sudah berakhir.” ucap Nathan.

David menutup pintu perlahan, ikut masuk.

“Nathan, Daddy dan Mommy datang bukan untuk menghakimimu. Kami hanya ingin tahu apa ini benar-benar keputusanmu?” tanya David.

Nathan tertawa getir, berjalan ke ruang tamu lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

“Entahlah, Dad. Aku sendiri tidak tahu apakah ini keputusanku. Yang aku tahu sekarang semuanya sudah berakhir.” ucap Nathan.

Maria duduk di sampingnya, menggenggam tangan putranya.

“Nathan, dengarkan Mommy. Sejak awal mungkin kami terlalu ikut campur. Tapi kali ini kami hanya ingin kau sadar. Kau terlihat kosong, Nathan.” ucap Maria.

Nathan menoleh, matanya memerah.

“Mommy, aku masih mencintainya. Tapi aku sudah menghancurkan semua. Di ruang sidang itu, aku berdiri tepat di depannya, tapi rasanya seperti berdiri di depan orang asing.” lanjut Nathan.

“Kenapa tidak kau katakan padanya? Kenapa tidak berjuang sedikit lebih keras?” tanya Maria.

Nathan menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Karena aku takut. Takut kalau semua sudah tak bisa diperbaiki. Takut aku hanya akan menyakitinya lagi. Jadi aku memilih mengakhiri semua ini.” ucap Nathan.

David yang sejak tadi hanya mendengar, akhirnya bersuara dengan nada tegas.

“Nathan, seorang pria tidak seharusnya lari dari rasa takut. Kau memang sudah bercerai. Tapi itu bukan berarti hatimu harus ikut mati. Kau masih bisa memperbaiki hidupmu, meskipun bukan bersama Elara lagi.” ucap David.

Nathan menatap ayahnya dengan pandangan lelah.

“Tapi, Dad setiap kali aku kembali ke kamar, setiap kali aku lihat foto-foto kami rasanya aku tak bisa bernapas. Aku sepi. Aku merasa aku sudah kehilangan rumahku.” ucap Nathan yang sadar akan perasaannya untuk Elara.

Maria mengusap rambut anaknya, suaranya lembut.

"Rumahmu itu dulu Elara, ya?” tanya Maria.

Nathan mengangguk pelan, matanya berkaca.

“Ya, Mom. Elara adalah rumahku. Dan sekarang meski rumah ini masih berdiri, aku tidak tahu lagi harus tinggal di mana.” ucap Nathan.

Hening panjang menyelimuti ruang tamu. Nathan meremas cincin itu lebih kuat.

David lalu maju, menarik kursi dan duduk tepat di depannya.

"Kalau begitu, jangan biarkan penyesalanmu berlarut. Kau sudah kehilangan sesuatu yang paling berharga. Tapi jangan sampai kehilangan dirimu sendiri.” lanjut David.

Nathan menatap kosong ke arah bingkai foto pernikahan di dinding, lalu bergumam pelan.

“Semoga dia bahagia meski tanpa aku. Itu saja yang kuinginkan.” ucap Nathan.

Maria menggenggam tangan Nathan lebih erat.

“Dan bagaimana dengan dirimu, Nathan? Apa kau akan membiarkan dirimu hancur begitu saja?” tanya Maria.

Nathan menoleh perlahan, senyum getir muncul di wajahnya lagi.

“Aku belum tahu, Mom. Aku benar-benar belum tahu.” balas Nathan.

Keheningan kembali menutup malam itu. Hanya ada tiga orang duduk dalam diam.

****

Pagi itu, Nathan berdiri di depan cermin. Jas hitamnya terpasang rapi, dasi sudah terikat sempurna, rambutnya disisir.

Ia meraih jam tangan di meja, namun perhatiannya teralihkan pada sebuah foto kecil yang masih ia biarkan berdiri di meja rias, foto dirinya dan Elara di taman bunga, saat liburan.

Elara memeluk lengannya, wajahnya penuh tawa. Nathan terdiam lama, lalu akhirnya menaruh jam tangan tanpa menatap cermin lagi.

Nathan berbisik lirih.

“Kalau saja waktu bisa diulang, aku pasti akan memilih cara yang berbeda. Aku masih membutuhkan kejujuranmu walau rasanya sakit.” gumam Nathan.

Ia lalu mengambil kunci mobil dan berangkat ke kantor.

***

Pagi itu, Elara duduk di meja kecil di ruang makan, secangkir teh hangat tergeletak di depannya.

Ia menatap layar ponselnya yang beberapa hari terakhir menjadi tempat ia menunggu jawaban dari perusahaan yang ia lamar. Jari-jarinya gemetar ketika notifikasi email masuk.

Perlahan ia membuka pesan itu. Begitu membaca kalimat pertama, matanya langsung membesar.

Isi email:

[Selamat! Dengan ini kami memberitahukan bahwa Anda diterima sebagai karyawan tetap di perusahaan kami. Harap hadir pada Senin depan untuk orientasi dan tanda tangan kontrak resmi.]

Sejenak Elara terdiam, seakan tak percaya dengan yang ia baca. Lalu air matanya menetes, tapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan haru.

Elara bergumam kecil.

“Akhirnya Tuhan, terima kasih ini awal yang baru untukku.” gumam Elara senang sekali.

Tanpa menunggu lama, ia berdiri dan berlari kecil ke arah ruang tamu, di mana Irish sedang duduk membaca buku sambil mengenakan kacamata tuanya.

Elara sambil tersenyum lebar mulai mendekat.

“Grandma! Grandma! Aku diterima! Aku diterima kerja!” ucap Elara.

Irish terkejut, meletakkan bukunya di meja dan berdiri.

“Apa kau bilang, sayang? Kau diterima? Benarkah?” tanya Irish ikut bahagia.

Elara mengangguk cepat, matanya berbinar-binar.

“Iya, Grandma. Aku baru dapat email barusan. Aku resmi jadi karyawan tetap. Aku…aku akhirnya punya pekerjaan yang jelas, yang bisa membuatku lebih mandiri.” ucap Elara.

Irish tersenyum lebar, ia lalu langsung memeluk cucunya dengan erat.

“Syukurlah, Elara… syukurlah. Grandma tahu, Tuhan pasti membuka jalan untukmu. Kau pantas mendapatkan ini. Kau sudah berusaha begitu keras.” ucap Irish.

Elara menenggelamkan wajahnya di bahu Irish, tangis bahagia keluar begitu saja.

“Terima kasih, Grandma, kalau bukan karena doa dan dukungan Grandma, mungkin aku sudah menyerah.” ucap Elara.

Irish mengusap punggung Elara dengan lembut.

“Tidak, sayangku. Kau yang kuat. Kau yang mau bangkit setelah semua yang terjadi. Grandma hanya menemanimu. Lihatlah, ini awal baru dalam hidupmu.” ucap Irish lagi.

**

Beberapa saat kemudian, mereka duduk kembali di meja makan. Irish menuangkan teh baru untuk Elara.

“Jadi, kapan kau mulai bekerja Elara?” tanya Irish.

"Lusa, Grandma. Mereka bilang aku harus datang untuk orientasi dan tanda tangan kontrak. Aku harap semua berjalan dengan lancar.” ucap Elara.

Irish mengangguk, matanya berbinar penuh kebanggaan.

“Grandma yakin kau akan melakukannya dengan baik. Ingat, sayang, bekerja bukan hanya soal mencari uang, tapi juga soal membuktikan pada dirimu sendiri bahwa kau bisa berdiri tegak tanpa bergantung pada siapa pun.” ucap Irish.

Elara menghela napas panjang, lalu tersenyum lega.

“Iya, Grandma. Aku ingin membuktikan, bahkan tanpa Nathan sekalipun, aku bisa menjalani hidupku. Aku ingin membuat Grandma bangga.” ucap Elara.

Irish menggenggam tangan Elara erat-erat.

“Kau sudah membuat Grandma bangga, bahkan sejak hari pertama kau lahir. Tapi hari ini, kebanggaan itu semakin besar.” jawab Irish.

Elara menatap Irish dengan mata berkaca-kaca.

“Aku janji, Grandma. Aku akan berjuang, demi diriku, demi Grandma, dan demi masa depan yang lebih baik.” ucap Elara lagi.

Irish tersenyum hangat, lalu mengangguk pelan.

**

Malamnya, Elara masuk ke kamarnya dengan hati yang jauh lebih ringan daripada beberapa minggu terakhir.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya yang masih menampilkan email penerimaan kerja itu. Perlahan, ia mengambil foto dirinya dan Nathan yang dulu masih terselip di laci meja.

Ia menatap foto itu lama, senyumnya getir.

“Nathan mungkin ini saatnya aku benar-benar mulai melangkah tanpa menoleh ke belakang. Aku harap kau juga bisa menemukan kebahagiaanmu.” gumam Elara.

Dengan tenang, Elara meletakkan foto itu kembali ke dalam laci dan menutupnya rapat.

'Aku akan menjalani hidup ini dengan baik.' ucap Elara membatin.

Bersambung...

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!