Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Malam tiba, tetapi ketegangan di rumah Adnan tidak juga mereda. Setelah makan malam, Adnan mengurung diri di kamarnya. Insting lamanya sebagai pensiunan polisi meyakinkannya—kebohongan di wajah Jhonatan, Alvino, dan Alif terlalu besar untuk diabaikan.
“Ada apa sebenarnya? Aku tidak bisa tinggal diam,” gumamnya pelan, diliputi rasa penasaran yang menekan dadanya.
Akhirnya, Adnan mulai menghubungi koneksi lamanya—teman-teman di Mabes Polri dan beberapa wartawan di Jakarta. Ia tidak meminta detail bisnis, melainkan informasi tentang skandal sosial yang mungkin melibatkan perwira TNI. Ia ingin tahu kebenaran di balik kepanikan tiga orang itu.
Beberapa jam kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, berisi tautan ke berita yang sedang dibagikan besar-besaran di berbagai platform.
Adnan menekan tautan itu. Matanya terpaku pada judul yang menusuk:
TEREKAM! Wanita Misterius Diduga Menggoda Perwira TNI AD Kaya Raya untuk Membatalkan Pertunangan Sang Perwira.
Di bawahnya, terpampang foto Aresa duduk di kafe bersama Jhonatan—foto polos yang kini dibingkai dengan narasi fitnah yang keji.
Wajah Adnan mengeras. Amarahnya memuncak, bukan karena putrinya bergaul dengan perwira, melainkan karena putrinya difitnah dan dipermalukan. Ia tahu, fitnah viral semacam ini bisa menghancurkan nama baik yang ia jaga bertahun-tahun di lingkungan pesantren.
Jhonatan tidak hanya membawa masalah—ia membawa aib.
“Putri kecilku… kalian permalukan dengan berita murahan seperti ini,” lirih Adnan, suaranya bergetar menahan marah.
Ia menyingkirkan ponselnya. Malam itu, ia memutuskan untuk tidak menghadapi Jhonatan. Amarahnya terlalu besar, dan ia butuh waktu untuk menyiapkan strategi.
****
Di kamarnya, Jhonatan tidak bisa tenang. Ia menerima laporan dari Arian bahwa upaya menghapus berita di media sosial berjalan lambat, setiap satu tautan yang diturunkan, sepuluh tautan baru muncul.
Rasa bersalah menghantuinya. Aresa, wanita yang memilih tinggal di Spanyol demi mengembangkan karirnya sebagai ahli data, kini harus menghadapi konsekuensi dari masalah perjodohan Jhonatan. Ia merusak semua itu demi kenyamanannya sendiri.
"Maafkan aku Res, tak seharusnya aku berbohong waktu itu" gumam Jhonatan panik.
Jhonatan berjalan mondar-mandir. Ia harus jujur pada Adnan sebelum kebohongan Alvino terungkap, tetapi ia takut melihat kehancuran di mata Aresa saat mengetahui berita tentang dirinya sebagai wanita penggoda terungkap.
Tak lupa ia juga menelpon Jessica, ia ingin kakaknya tahu masalah ini. Dan semoga saja sang kakak bisa membantunya.
"Hallo kak"
"Iya Nat, kenapa?" tanya Jessica penasaran.
"Kakak udah lihat berita tentang aku?"
"Udah, kenapa bisa sampai seperti itu." jawab Jessica sedikit penasaran.
"Aku tidak tahu kak, tolong bantu aku meredam berita itu. Aku nggak mau nama Aresa jelek di mata publik" ujar Jhonatan tegas.
"Iya, kamu kabari terus kedepannya, kakak akan mengabari pengacara kita" jawab Jessica bijak.
"iya kak aku tutup dulu" Jhonatan langsung mematikan teleponnya.
****
Di kamar sebelah, Jhonatan gelisah. Ia baru saja menerima laporan dari Arian bahwa upaya menghapus berita berjalan lambat. Setiap satu tautan berhasil diturunkan, sepuluh tautan baru muncul menggantikannya.
Rasa bersalah mencengkeramnya. Aresa—wanita yang seharusnya menikmati kariernya di Spanyol sebagai engineer—kini harus menanggung konsekuensi dari masalah pribadi Jhonatan.
Ia menunduk, menyesal.
“Maafkan aku, Res… tak seharusnya aku berbohong waktu itu,” gumamnya lirih.
Ia mondar-mandir di kamar, pikirannya penuh kekacauan. Ia ingin jujur pada Adnan sebelum kebohongan Alvino terbongkar, tapi ia juga takut melihat kehancuran di mata Aresa jika tahu berita keji itu.
Akhirnya, ia menekan nomor Jessica.
“Halo, Kak.”
“Iya, Nat. Kenapa?” suara Jessica terdengar cemas.
“Kakak udah lihat berita tentang aku?”
“Udah. Kenapa bisa sampai seperti itu?” jawab Jessica, nadanya naik satu oktaf.
“Aku nggak tahu, Kak. Tolong bantu aku redam berita itu. Aku nggak peduli dengan namaku sendiri, aku cuma nggak mau nama Aresa rusak.” Suaranya bergetar tapi tegas.
“Iya, kamu kabari terus. Kakak akan hubungi pengacara,” balas Jessica lembut tapi cepat.
“Iya, Kak. Aku tutup dulu.”
Panggilan berakhir, tapi kepalanya tetap dipenuhi gema ketakutan.
****
Tepat pukul setengah dua malam. Rumah sudah senyap.
Jhonatan mendengar pintu kamar Aresa terbuka pelan. Ia segera keluar.
Di teras lantai dua, Aresa berdiri menatap kompleks pesantren yang gelap. Udara malam menusuk, sunyi, tapi menenangkan.
“Res? Belum tidur?” panggil Jhonatan pelan.
Aresa menoleh. “Belum. Kapten, saya merasa aneh… udara rumah ini berat, tidak seperti biasanya.”
“Itu semua karena aku,” bisik Jhonatan, langkahnya mendekat. “Aku yang membawa beban itu ke sini.”
Aresa tidak menjawab, hanya berjalan ke kursi panjang di teras dan menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Duduk, Kapten.”
Jhonatan duduk, bahunya terasa berat.
“Saya tahu Anda sedang tertekan,” kata Aresa pelan. “Saya terbiasa melihat tim saya panik saat balapan di paddock. Tapi ekspresi Anda... berbeda. Masalah ini pasti sangat personal.”
Tanpa berpikir panjang, Aresa meraih tangan Jhonatan.
Genggamannya hangat, tulus. “Tidak peduli seberapa berat datanya, saya selalu tahu saya bisa pulang. Anda juga harus bisa, Kapten. Jangan biarkan beban itu merusak Anda.”
Kata-kata itu menembus pertahanan Jhonatan. Ia menatap Aresa—tatapan penuh penyesalan dan rasa takut kehilangan.
“Res, dengar aku. Aku dalam masalah besar. Karena kamu dekat denganku, kamu juga dalam bahaya. Bahaya yang bisa merusak namamu,” suaranya pecah. “Aku minta maaf.”
Aresa menggeleng pelan. “Saya tidak takut bahaya, Kapten. Saya cuma takut melihat Anda kalah. Anda bukan orang yang menyerah.”
Jhonatan tertawa kecil, getir. “Mungkin kali ini aku kalah. Aku sudah berjanji pada Ayahmu… dan aku melanggar janji itu.”
Aresa tersenyum samar, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tahu nggak, di Spanyol, waktu kerjaan saya lagi numpuk, saya malah kabur makan paella. Katanya buat nenangin diri.” Ia terkekeh. “Konyol, ya? Tapi saya beneran suka churros—pakai saus sambal, bukan cokelat.”
Jhonatan mendengarkan. Cerita ringan itu terasa seperti jeda dari neraka.
Tanpa sadar, kepalanya bersandar di bahu Aresa.
Aresa terdiam sejenak. Ia bisa merasakan berat tubuh Jhonatan dan… beban yang ia pikul. Tapi ia tidak menjauh. Ia membiarkan perwira itu menemukan sedikit tempat untuk beristirahat di tengah badai.
Mereka tetap di sana sampai udara subuh mulai menusuk—berbagi keheningan yang jujur dan hangat.
****
Keesokan paginya, setelah salat Subuh berjamaah, seluruh keluarga berkumpul untuk sarapan.
Suasana di meja makan begitu dingin.
Adnan duduk di kursinya, diam. Ia sudah tahu segalanya. Ia sudah melihat berita itu. Tapi ia memilih menahan diri. Tatapannya—tajam dan penuh makna—cukup untuk membuat siapa pun kaku.
Jhonatan, Alvino, dan Alif duduk di seberang, tak berani menatap.
Hera mencoba mencairkan suasana.
“Jhonatan, minum tehnya. Semalam tidak tidur, ya? Wajahmu pucat.”
“Terima kasih, Bu,” jawab Jhonatan pelan.
Aresa duduk di antara mereka, sama sekali tidak sadar dirinya kini jadi topik hangat di dunia maya. Ia dengan ringan menyendokkan nasi goreng untuk Jhonatan.
“Mas, jangan lupa nanti siang kita ke kebun belakang. Pisangnya sudah matang,” katanya pada Alvino.
“Iya, Res,” jawab Alvino cepat, sambil menutupi ponselnya di bawah meja.
Jhonatan menatap Aresa. Ia melihat ketenangan yang harus ia lindungi, dan kebaikan yang tidak pantas dihancurkan oleh kebohongan manusia.
Adnan mengangkat cangkirnya, menatap lurus ke arah Jhonatan. Ia tidak berkata apa pun, tapi pesan itu jelas:
Aku tahu segalanya.
Jhonatan terdiam. Dalam hatinya, ia tahu—ia harus memilih:
mengakui semuanya, atau membiarkan kebenaran itu menghancurkan mereka satu per satu.