Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Siang itu, rumah kecil Rania dipenuhi dengan suara riuh tas yang dibuka-tutup. Di meja makan, ada tumpukan map berisi brosur rumah kontrakan, daftar harga ongkos pindahan, dan catatan-catatan kecil yang ditulis Rania dengan tulisan terburu-buru. Matanya terlihat letih, tapi di balik tatapan itu ada api tekad yang tidak padam.
Sejak diskusi bersama Alan dan Chesna, Rania tidak pernah berhenti memikirkan kota mana yang bisa memberi mereka keamanan baru. Ada beberapa nama kota ia coret dalam daftar karena terlalu dekat dengan kota ini. Beberapa lagi ia lingkari, mempertimbangkan biaya hidup, sekolah yang bagus, dan yang terpenting, jauh dari bayangan masa lalu. “Lagi pula Miko sangat membenciku. Aku tidak bisa membayangkan betapa marahnya dia saat tahu aku sudah melahirkan darah dagingnya.”
Sambil melipat pakaian anak-anak ke dalam koper kecil, Rania berbisik lirih pada dirinya sendiri. “Sedikit lagi, Ran. Tinggal atur keberangkatan, jual barang-barang yang tidak perlu… lalu kalian bisa bebas.”
Hatinya terasa sedikit lebih ringan membayangkan Alan dan Chesna hidup tanpa ketakutan. Mereka bisa berangkat sekolah dengan senyum, bisa bermain tanpa harus menoleh ke belakang, tanpa cemas kalau bayangan masa lalu kembali mengejar.
Namun, langkahnya terhenti ketika suara telepon berdering nyaring memecah keheningan. Rania meraih ponsel yang tergeletak di meja, sedikit terkejut melihat nama sekolah Alan tertera di layar. Jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
“Halo? Mama Alan bicara.”
Dari seberang, suara seorang guru perempuan terdengar panik namun berusaha tenang.
“Ibu Rania, maaf sekali mengganggu. Alan… Alan mengalami kecelakaan di sekolah. Dia jatuh cukup keras saat berolahraga. Kami sudah membawanya ke rumah sakit terdekat. Ibu bisa segera ke sini?”
Dunia seakan berhenti sesaat bagi Rania. Koper yang tadi ia rapikan seketika tak berarti apa-apa.
“Apa? Alan jatuh? Dia baik-baik saja kan? Dia tidak apa-apa, Bu?”
“Mohon Ibu tenang. Dia sudah ditangani dokter, tapi untuk lebih amannya, sebaiknya Ibu segera datang.”
Tanpa berpikir panjang, Rania menutup telepon, meraih tasnya, dan segera berlari keluar. Langkahnya kacau, napasnya tersengal, namun pikirannya hanya satu, Alan.
___
Rumah Sakit
Koridor rumah sakit dipenuhi bau obat-obatan dan suara langkah kaki tergesa. Rania hampir terjatuh saat berlari menuju ruang IGD, matanya liar mencari-cari. Begitu melihat guru Alan berdiri di depan pintu, ia langsung mendekat.
Dengan napas terengah, “Bu! Bagaimana Alan? Di mana dia?”
Guru itu menenangkan dengan menepuk bahu Rania.
“Tenang, Bu. Alan di dalam. Dokter sedang memeriksa.” Rania hampir tak bisa berdiri tegak. Tangannya meremas erat tas yang ia bawa, tubuhnya bergetar. Ingatannya kembali pada banyak malam ketika ia berjuang mati-matian melindungi Alan dan Chesna dari kekerasan suaminya dulu. Kini, meski bukan karena kekerasan, tetap saja rasa takut kehilangan anak itu mencekiknya.
Pintu ruang IGD terbuka, seorang perawat keluar. “Ibu Alan?”
Rania segera mengangguk cepat. “Saya. Bagaimana keadaan anak saya?”
“Benturan di kepala tidak terlalu parah, tapi kakinya mengalami patah tulang yang sangat fatal, Bu. Alan harus segera di operasi.”
Lorong rumah sakit terasa panjang dan dingin. Bau obat-obatan menusuk hidung, bercampur dengan aroma darah kering. Malam itu, suara mesin monitor jantung berulang-ulang berdetak di ruang gawat darurat.
Rania berdiri kaku di luar pintu ruang operasi, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya menggenggam erat scarf yang tadi dipakai Alan sebelum kecelakaan. Air matanya terus jatuh, namun ia tidak peduli.
“Yang kuat ya Nak… kumohon…”
Pintu ruang operasi sesekali terbuka, menampakkan sekilas tim dokter yang sedang berjuang. Darah Alan masih membekas di seragam sekolahnya yang kini disimpan dalam kantong plastik. Pemandangan itu membuat dada Rania seolah diremas.
Detik itu juga, dari ujung lorong, langkah kaki seorang pria terdengar tegas. Jas hitam membalut tubuh tegapnya, sorot matanya dingin namun resah. Itu Miko. Awalnya ia datang untuk urusan sponsor bersama pihak rumah sakit, tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang amat dikenalnya, Rania.
Miko menyipitkan mata. Ia hendak berpaling, namun matanya terpaku pada ruangan operasi itu. Ia melihat jelas nama pasien yang tertera di papan kecil, Alan.
Entah kenapa dadanya bergetar. Ada rasa aneh, seakan nama itu menusuk ke dalam. Ia melangkah mendekat, dan saat itu juga Rania menyadari kehadirannya.
Wajah Rania pucat pasi, tubuhnya langsung menegang. Rania terbata, hampir berbisik. “Miko…”
Miko menatapnya tajam.
“Apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang sedang dioperasi itu… anakmu?”
Rania memeluk scarf Alan erat-erat, menunduk untuk menyembunyikan tangisnya. Ia tidak menjawab.
Tiba-tiba pintu operasi terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya tegang.
“Keluarganya di sini?”
Rania langsung maju, nyaris jatuh karena lututnya lemas.
“Saya… bagaimana keadaan anak saya, Dok?!”
Dokter menghela napas berat.
“Kami sudah berusaha, tapi luka dalam di bagian kaki cukup parah. Dia kehilangan banyak darah. Kami butuh keputusan cepat… apakah keluarga bersedia jika kami mengambil tindakan darurat dengan risiko tinggi?”
Rania terisak keras, tubuhnya bergetar.
“Apa pun, Dok! Lakukan apa pun! Tolong selamatkan anak saya… saya mohon…”
Miko berdiri beberapa langkah di belakang, menyaksikan pemandangan itu. Sorot matanya tajam, namun di dalam dadanya ada sesuatu yang goyah. Ia melihat Rania bukan sebagai wanita yang dulu nyaris membunuh Vania, melainkan seorang ibu yang hampir kehilangan anak. Dan saat pandangannya sekilas menembus kaca ruangan operasi, ia melihat wajah Alan yang pucat di meja operasi.
Wajah itu…bahkan cara alisnya melengkung, begitu familiar. Miko terdiam, seolah melihat cermin masa kecil dirinya sendiri. Tenggorokannya tercekat. Dia yakin, anak itu adalah Alan yang sama dengan yang ia pikirkan saat ini.
Miko membatin, dengan dada bergetar. “Tidak mungkin…”
Rania menoleh sekilas ke arah Miko, dengan air mata yang terus mengalir. Tatapannya penuh luka, namun juga penuh tekad.
Suasana kian menegangkan saat lampu ruang operasi berwarna merah tetap menyala. Detik demi detik terasa begitu panjang, seolah menunggu keputusan takdir.
Miko berdiri tegak di lorong rumah sakit, kedua tangannya terkepal di balik jas hitamnya. Sorot matanya tajam, menusuk ke arah ruangan operasi. Sejak tadi ia berusaha menepis pikiran yang berkelebat di kepalanya, namun wajah bocah yang terbaring lemah di balik kaca itu terus menghantui benaknya.
Alan. Nama itu menempel kuat di ingatannya, begitu juga raut wajah pucat yang hampir sama persis dengan dirinya ketika kecil. Miko merasakan dadanya sesak, namun bukan oleh rasa iba. Lebih tepatnya amarah.
Miko membatin, rahang mengeras “Tidak mungkin… tidak mungkin dia anakku. Rania… wanita keparat ini… berani-beraninya…”
Pandangan Miko beralih pada Rania yang masih terduduk di kursi tunggu. Wajah perempuan itu penuh air mata, namun tetap tegak di depan dokter yang berulang kali keluar masuk membawa kabar buruk. Rania menggenggam scarf lusuh, seolah benda itu adalah nyawa anaknya.
Miko menghela napas berat, langkahnya maju, suaranya dingin tapi penuh bara. “Rania… katakan padaku, siapa Alan itu?”
Rania tersentak, menoleh dengan mata merah dan sembab. Ia sempat terdiam, lalu menunduk.
Rania menjawab pelan, bergetar. “Dia anakku. Itu saja yang perlu kau tahu.”
Jawaban itu justru membuat api di dada Miko menyala lebih besar. Ia mendekat, menunduk tepat di hadapan Rania, matanya menusuk. Miko mendesis, “Anakmu? Wajah bocah itu… terlalu mirip denganku! Katakan dengan jujur, siapa ayahnya?!”
Rania terdiam, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya kembali jatuh, namun ia menutup mulutnya rapat-rapat.
Miko mengeraskan suara, suaranya sampai membuat beberapa perawat menoleh cemas.
“Katakan! Apakah dia darah dagingku?! Atau ini hanya permainan kotormu lagi, Rania?! Kau dulu hampir membunuh Vania, menghancurkan hidupku… dan sekarang kau muncul dengan bocah yang wajahnya seperti salinan diriku?!”
Rania menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia tidak sanggup menjawab.
Miko terbahak pendek, tawa itu penuh kepedihan yang disamarkan dengan amarah.
“Tentu saja. Ini pasti trikmu! Kau sengaja memunculkan anak itu, berharap aku akan melunak? Kau pikir aku akan menerimanya? Jangan mimpi, Rania!”
Rania menatapnya dengan mata berkaca-kaca, suara lirihnya hampir tak terdengar. “Dia bukan permainan, Miko… dia hidupku. Segala yang aku punya… Dia anakku.”
Kata-kata itu justru menusuk Miko lebih dalam. Semakin ia melihat kesungguhan Rania, semakin kuat pula kecurigaannya bahwa Alan benar-benar anaknya. Namun bukannya tersentuh, Miko justru merasa dipermainkan oleh takdir.
Ia berbalik, menendang kursi tunggu hingga terjatuh. Perawat di ujung lorong menegur, namun Miko mengabaikan. Rahangnya menegang, dadanya naik-turun cepat.
“Aku tidak peduli sekeras apa kau menangis, Rania. Jika benar bocah itu darahku, Kau tunggu saja akibatnya!”
Rania terisak makin keras. Ia memeluk scarf Alan, seakan bisa melindungi anaknya bahkan dari tatapan kebencian Miko.
Namun sebelum Miko benar-benar melangkah pergi, pandangannya kembali terhenti pada kaca ruang operasi. Alan masih terbaring lemah, tubuh kecil itu dipenuhi selang dan alat bantu. Sekilas, bayangan masa kecilnya sendiri muncul di benak Miko, seorang anak lelaki yang juga pernah terbaring tak berdaya setelah jatuh dari kuda.
Hatinya kembali bergetar. Tapi Miko menggeleng keras, mencoba menepis rasa itu.
Miko membatin, getir. “Tidak. Aku tidak boleh goyah. Aku benci dia. Aku benci Rania. Aku benci semua ini…”
Ia melangkah cepat meninggalkan lorong, namun wajah Alan terus menempel di pelupuk matanya. Untuk pertama kalinya, Miko merasakan ketakutan aneh, bahwa bocah itu benar-benar bagian dari dirinya.
Dan rasa takut itu justru membuat kebenciannya pada Rania semakin dalam.
___
Lanjut tengah malam...