Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Mari, silakan nikmati hidangannya ...."
Elizabeth melirik Altezza yang melangkah menuju meja makan bersama kedua orang tuanya. Dia pikir, Gaby akan ikut, ternyata tidak. Kalau begini, tidak ada yang bisa dia ajak bicara. Katya? Bahkan kakak iparnya sibuk dengan Sadipta.
Keluarga Argantara memang termasuk dalam jajaran keluarga elit, namun tak dapat dipungkiri bahwa keluarga Pamungkas selalu berada di posisi teratas. Ibaratnya, jika keluarga Argantara hanya memiliki ternak ayam, maka keluarga Pamungkas memiliki ternak sapi yang melimpah. Oleh karena itu, keluarga Argantara sangat menghormati keluarga Pamungkas. Apalagi, putri bungsu mereka baru saja melakukan kesalahan fatal, yaitu mencelakai salah satu anggota dari keluarga terhormat tersebut.
Situasi ini tentu saja menimbulkan ketegangan di antara kedua keluarga. Keluarga Argantara merasa tertekan, mengingat posisi mereka yang lebih rendah dan tindakan putri bungsu yang tidak bisa dianggap sepele. Mereka menyadari bahwa tindakan tersebut tidak hanya berdampak pada hubungan antar keluarga, tetapi juga dapat mempengaruhi reputasi mereka di mata masyarakat.
"Terima kasih sudah mengundang kami untuk makan malam bersama," ucap Ergino dengan ramah, ya meskipun wajahnya tetap datar.
"Tidak perlu sungkan, Tuan. Justru kami yang harusnya berterimakasih," balas Austin.
Ergino tersenyum tipis, dia menepuk pundak Austin.
Elizabeth hanya diam, dia tidak akan bersuara jika tidak ada yang bertanya. Takut Sadipta membungkam mulutnya lagi.
"Bagaimana keadaan Elizabeth?" Itu suara Asteria. Suaranya halus dan sopan, tidak seperti Geisha yang cempreng dan membuat telinga Eliza sakit.
"Saya baik-baik saja, Nyonya." Elizabeth tersenyum canggung, dia menggaruk hidungnya karena gugup.
"Syukurlah." Asteria tersenyum.
Perbincangan mereka berhenti karena waktunya makan malam. Hanya suara dentingan sendok yang terdengar.
Elizabeth diam-diam melirik Altezza, namun, dia terkejut dan tersedak ketika pria itu juga menatapnya.
Uhuk uhuk
Altezza yang berada di depannya langsung memberikan segelas air, membuat Katya yang berniat memberi air segera duduk kembali. Dia menahan senyum melihat pipi adik iparnya yang memerah.
"M–maaf," cicit Eliza karena semua orang menatapnya.
"Pelan-pelan saja, Eliza," tegur Geisha yang diangguki oleh sang putri.
Altezza tersenyum tipis, tipis sekali nyaris tidak terlihat. Dia heran dengan Elizabeth, padahal awal-awal mereka bertemu, Eliza tidak se-pendiam ini. Bahkan Altezza berpikir, Eliza akan lebih semena-mena padanya. Tapi, ternyata dia salah. Gadis di depannya ini ternyata terlihat malu-malu dan mudah gugup.
Malam ini Altezza semakin tampan dengan balutan kemeja putih dan juga celana bahan berwarna hitam. Sederhana tapi mampu membuat Elizabeth sedikit terpesona, ingat, hanya sedikit.
"Wajahnya tetap terlihat menyebalkan di mataku!" batin Eliza. Bibirnya tanpa sadar mencebik, dan itu tak luput dari tatapan Altezza.
Eliza meminum airnya setelah makanannya habis. Dia menatap orang-orang yang asik bicara, makanan mereka semua sudah habis ternyata, dan dia lah yang terakhir.
Bunyi ponsel Altezza membuat semuanya menatapnya. Dia pun pamit ke luar untuk menjawab telepon.
Eliza yang hendak mengambil semangka pun langsung terhenti saat mamanya membisikkan sesuatu.
"Susul dia, Elizabeth," bisik Geisha.
Eliza berdecak kecil. Ia pun mengambil sepotong semangka dan segera menyusul Altezza ke luar.
"Jangan buru-buru pulang, Pak, mari kita mengobrol di ruang tamu dulu," ajak Austin.
Semuanya menuju ruang tamu, berbanding balik dengan Altezza dan Elizabeth yang berada di luar, tepatnya di teras rumah.
Elizabeth melirik Altezza yang sedang bicara dengan seseorang, dia melewatinya begitu saja dan melangkah menuju ayunan yang dihiasi lampu tumblr berwarna gold, di sekitarnya juga ada lampu yang menyinari agar ayunan tersebut tidak berada di kegelapan. Di samping ayunan itu juga ada bangku panjang bercat putih.
Altezza menatap punggung mungil Eliza yang perlahan menjauh.
"Kabari saya jika ada perkembangan," ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon.
Altezza diam menatap Eliza yang asik makan semangka sambil berayun. Dengan langkah pelan nan tegas, dia mendekati gadis itu, kedua tangannya berada di saku celana, terlihat semakin tampan. Tatapan matanya juga tidak beralih sedikitpun dari Eliza yang asik sendiri.
Eliza menatap Altezza yang berdiri menjulang di hadapannya. "Semangka, Pak." Dia mengangkat semangka yang dia makan, menawari Altezza.
Altezza mendengus. Semangka itu hanya tersisa warna putihnya saja. Dia tak menjawab dan memilih duduk di sebuah bangku sebelah ayunan.
"Siapa yang menelpon, Pak?" tanya Eliza penasaran. Dia termasuk orang yang kepo meski itu adalah urusan pribadi. Kurang ajar memang.
"Orang."
Iya, sih, tidak salah. Tapi, salah! Elizabeth mencebikkan bibirnya, dia melempar kulit semangka ke tong sampah yang berada tak jauh darinya, dan hap! Masuk dengan sempurna.
Setelahnya mereka tidak bersuara lagi, Elizabeth sibuk bermain ayunan, dan Altezza yang memainkan ponsel.
"Gaby ...."
Mendengar suara Eliza, Altezza mematikan ponselnya dan fokus pada perempuan di depannya ini.
"Tidak ikut?" Elizabeth melanjutkan kalimatnya.
"Sibuk belajar," jawab Altezza. Singkat dan padat.
"Tadi sore kami bertemu." Eliza kembali membuka suara. "Ternyata orang kaya juga menyukai siomay. Aku sempat heran karena orang seperti Gaby menyukai makanan itu."
"Dia memakan apapun."
Elizabeth tertawa ngakak mendengar ucapan Altezza yang blak-blakan. Nampaknya, Gaby memang menyukai apapun dan tida pilih-pilih makanan.
"Kalau Bapak? Apa Pak Al sama seperti Gaby?" tanya Eliza setelah tawanya reda.
"Tentu tidak," jawab Altezza.
Eliza mengangguk paham. Dia juga sudah menebak jawaban yang akan dilontarkan Altezza tadi. Manusia seperti Altezza ini, mana mungkin pemakan segalanya? Eliza yakin, Altezza tidak pernah mencoba makanan yang dijual di gerobak.
"Bapak pernah makan batagor? Umm ... pentol bakar? Siomay?"
"Saya pernah makan siomay."
"Pasti Gaby yang memberi, kan?"
Anggukan dari Altezza membuat tawa Eliza kembali pecah. Bahkan dia sampai menepuk-nepuk pahanya.
Altezza berdecak melihat tingkah gadis di hadapannya. Apakah humor nya terlalu receh? Padahal tidak ada yang lucu sama sekali.
Melihat raut wajah Altezza yang datar, Elizabeth pun menghentikan tawanya. Dia berdeham sebelum bicara. "Kalau Pak Al mau, saya akan memperkenalkan beberapa jajanan kaki lima, saya yakin Bapak pasti menyukainya!" Mata Eliza berbinar, dia sungguh tidak sabar melihat Altezza mencoba jajanan kesukaannya.
"Tidak perlu dan itu tidak penting untuk saya," balas Altezza membuat Eliza meredupkan binar matanya.
Gadis itu cemberut menatap sang bos. Dia mendongak saat Altezza berdiri. Bertepatan dengan itu, kedua orang tua mereka keluar bersama. Elizabeth pun berdiri, sepertinya mereka ingin pulang.
"Sampai bertemu besok, Elizabeth."
Ucapan itu membuat bulu kuduk Eliza berdiri. Apalagi tatapan datar penuh arti dari Altezza. Padahal itu adalah ucapan biasa, tapi terdengar berbeda di telinga Elizabeth.
"I–iya ...." Eliza melambaikan tangannya pada Altezza yang melangkah ke mobil.
"Eliza, kemari, Sayang."
Karena dipanggil sang mama, ia pun mendekati keempat paruh baya yang berdiri di teras, dan juga Altezza serta Sadipta dan istrinya.
Tanpa disuruh lagi, Elizabeth menyalami tangan kedua orang tua Altezza. "Terima kasih karena sudah datang, Tuan, Nyonya," ucapnya sopan.
"Sama-sama. Kami juga berterimakasih, sampai-sampai dibawakan bingkisan seperti ini." Asteria terkekeh kecil sembari mengangkat bingkisan dari Geisha.
"Ini tidak seberapa, Nyonya ...." Elizabet mengusap lehernya dengan senyum canggung. Benar, bingkisan dan makan malam itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kecelakaan waktu itu.
"Tidak usah dipikirkan," bisik Asteria sambil mengusap pundak Elizabeth.
"Baiklah, kami pamit, Pak Austin. Sekali lagi terima kasih untuk makan malam nya," ucap Ergino sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana.
Geisha melirik Elizabeth yang sedang menatap kepergian mobil Ergino.
"Mulai besok, buatkan bekal untuk Altezza. Makan malam saja tida cukup sebagai permintaan maaf," ujarnya.
Elizabeth terbelalak. "Harus kah? Setiap hari aku membuat bekal untuknya? Ma, mereka saja sudah tidak mempermasalahkan!" katanya.
Geisha mengangkat jari telunjuknya, meminta Elizabeth diam. "Sayangnya Mama tidak suka dibantah, Elizabeth. Mulai besok, buatkan bekal untuk Altezza. Kamu bisa memasak, kan?"
Austin hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah istri dan putrinya.
"Hanya membuat bekal, bukankah itu mudah?" Sadipta ikut menimbrung.
Elizabeth berdecak. Dia menghentakkan kakinya kesal. "Baiklah!" katanya ketus, lalu dia pergi meninggalkan kedua orang tua dan kakaknya di teras.
"Kenapa tidak mama saja yang membuat? Kenapa harus aku?!" gerutunya mengiringi langkah kaki menaiki tangga.
****