Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35.
“Cuihhh!” Nainara meludahi makanan yang ada di depannya. Hanya nasi putih yang dicampur dengan air, membuat Nainara yang terbiasa makan makanan mahal jijik menatap piring di depannya, seolah yang dia lihat adalah muntahan. Bau pengap dari dinding lembap bercampur debu membuat perutnya makin berontak.
“Makan!” seorang pria berpakaian hitam itu memaksa. Suaranya berat, bergema di ruangan sempit dengan lampu gantung redup yang berayun pelan. Tapi Nainara bersikeras menolak, bahkan menendang piring tersebut menggunakan sedikit tenaga dari kakinya yang jelas masih terikat, hingga piring itu terpelungkup dan air tumpah di lantai dingin.
“Hais, kalau mati jangan salahkan kami!” pria itu menatap tajam ke arah Naina sebelum akhirnya melangkah pergi, membanting pintu besi di belakangnya hingga bunyinya menggema.
Nainara hanya menatap datar langkah pria tersebut, tapi tubuh gadis itu tak bisa bohong—lemas, lapar, dan matanya mulai berat. Sudah dua hari dia berada di sini, dilepas hanya saat dia ingin membuang air kecil atau besar, dengan penjagaan yang sangat ketat.
“Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini sesegera mungkin?” desisnya tertahan.
“Bagaimana keadaan Julian sekarang ya? Sudah dua hari tak terlihat… apa dia baik-baik saja di tangan pria gila itu? Atau apa Julian…” Ia berhenti, menggertakkan gigi, frustrasi. “Arghhh, aku nyaris gila memikirkan semua ini!” pekiknya.
Dua hari berada di ruangan minim cahaya itu, Nainara memang tidak disiksa seperti hari pertama, di mana Jaevan menggunakan kekuatan magisnya untuk memberi pelajaran. Tapi ada hal yang jauh lebih mengerikan dari keheningan itu—ikatan di tubuh Nainara semakin kencang dan berpola aneh setiap kali gadis itu dilepas sebentar. Seolah tali itu hidup, menunggu sesuatu.
Dia menyerah, tubuhnya bersandar lemas. Gadis itu terdiam, tidak memikirkan apapun, seolah berusaha membawa tubuhnya untuk mengisi tenaga dengan cara tak terlihat, matanya kini mulai terpejam.
...----------------...
Di sisi lain, dalam ruangan yang berbeda, lantai marmer yang diselimuti cahaya putih menyilau tampak begitu hening. Aura dingin menyebar, membuat udara di sekitarnya bergetar halus seolah masih menyimpan sisa energi magis. Di atas ranjang, tubuh Julian yang sudah sepenuhnya kembali ke wujud manusia terbaring lemah dengan wajah pucat pasi. Tidak ada gerakan, seakan waktu berhenti di sekitar sosok itu.
Jaevan yang duduk di sebelahnya hanya menatap sebentar, lalu berdiri. Jejak langkahnya di atas lantai memantulkan cahaya samar dari segel pelindung berbentuk lingkaran yang melingkupi ranjang itu—nyala lembut biru keperakan, bergemerisik pelan seperti bisikan mantra yang tak sepenuhnya padam.
“Pastikan dia benar-benar pulih setelah gerhana bulan total itu, tiga hari lagi. Sekarang tidak usah dirawat maksimal, takut nanti tubuhnya sembuh sebelum gerhana, dan dia berpotensi kabur,” titah Jaevan, suaranya berat dan tenang tapi mengandung ancaman.
“Tentu, Tuan. Lagian jika sembuh pun, dia tidak akan bisa kabur!” jawab salah satunya dengan senyum puas.
“Tidak bisa? Bukankah dua hari lalu saja dia bisa?” Jaevan menoleh tajam, sorot matanya memantulkan cahaya sihir yang berputar di dinding. “Jangan menganggap remeh padanya.”
Pria yang tadi bicara menunduk, dan hawa di ruangan seketika menegang. Simbol-simbol magis di lantai bergetar seolah merespons amarah tuannya—lalu kembali hening, meninggalkan dingin yang menusuk tulang.
...----------------...
James tampak tidak tenang di dalam kantor. Pikiran pria itu berkelana kemana-mana, matanya sesekali menatap layar presentasi yang menampilkan grafik dan angka, tapi tidak benar-benar fokus. Bahkan titik fokusnya pun terbagi, beberapa gerakan tangannya nyaris mengabaikan papan tulis digital yang menjelaskan materi rapat. Rapat pagi ini sungguh membuat James gelisah. Bukan karena suasana kantor kacau—lampu putih menyilaukan, kursi berderet rapi, keyboard dan mouse berdenting teratur—tapi karena pikirannya terus memikirkan nasib bosnya, Julian, yang sudah dua hari ini kembali menghilang.
“Pasti sistem itu kembali menyekapnya,” batin James tak tenang. Otaknya terasa sesak, seolah setiap jalur pikirannya tersumbat. Semakin dia berpikir, semakin otaknya seolah tertulis error. Karena sejatinya, tidak secuil jalan keluar yang bisa James lakukan untuk mengetahui lebih jelas rumah sistem yang dimaksud.
Iya, pria itu tahu banyak tentang kehidupan Julian sebelumnya, tapi itu hanya gambaran samar. Dia bahkan sulit percaya mengenai sistem yang sering diceritakan Julian.
“Dalam rumah tua di sudut kota, di mana itu tepatnya? Aku bahkan sudah menyisir sudut kota dua hari ini, tapi tetap… tindakan ada rumah tua yang dimaksud,” pikirnya dengan berisik, tangannya menekan meja seolah bisa menyingkirkan kebingungan itu.
“Bagaimana pak, James?” suara bawahannya yang tadi presentasi terdengar memecah lamunannya. James tersentak, memperhatikan wanita berstelan kemeja dan rok sepadan yang berdiri di depannya, tangannya di remas seolah takut naskah makalah yang dia presentasikan ditolak.
“Oke… oke! Rapatnya sudah selesai!” ucap James tergesa, suaranya memantul ringan di dinding kaca dan marmer. Di luar dugaan, rapat yang biasanya sangat teliti dan disiplin, menyita waktu karena pertanyaan dari pria itu, kini usai dalam waktu kurang dari lima belas menit.
“Kalian keluar! Oh iya, Max, tolong ganti saya hari ini di kantor, saya mau pulang sebentar!” titah James pada asisten pribadi sekaligus sekretarisnya. Anggukan hormat dari Max menyadarkannya sebentar dari kepanikan pikirannya.
James keluar ruangan, langkahnya cepat menyusuri koridor kantor yang panjang dan berkilau, lampu-lampu di atas menciptakan bayangan yang bergerak seirama dengan langkahnya. Dia hampir berlari menuju mobilnya, setiap detik terasa menekan seperti waktu yang tak bersahabat.
Mobil melaju cepat meninggalkan kantor, hingga tak butuh waktu lama, kini terparkir di rumah besar milik Julian. James berlari masuk, langkahnya mantap menuju satu ruangan yang mungkin bisa memberinya sedikit petunjuk.
Ruangan bawah tanah yang hanya dia dan Julian pernah masuki itu terasa dingin dan lembap, aroma kertas tua hampir memenuhi udara. James membuka pintu, dan cahaya sihir yang samar-samar berpendar di sudut ruangan masih terlihat jelas, menimbulkan bayangan-bayangan bergerak pelan di dinding.
Dia menyusuri rak tua yang berisi buku-buku kuno, debu beterbangan saat tangannya menyentuh sampul-sampul tua. Buku-buku itu selama ini hanya ia tatap tanpa membaca, karena menurut James tidak penting. Tapi siang ini, pria itu benar-benar membuka satu per satu.
Isi dari buku-buku itu sebagian besar berupa simbol dan tulisan kuno yang nyaris tidak bisa James mengerti. Keputusasaan mulai menggerogoti pikirannya, membuatnya hampir menyerah hendak berbalik. Namun, ketika langkahnya mundur, pantulan cahaya sihir dari cermin di sudut ruangan menyilaukan matanya sebentar. Cahaya itu menyorot sebuah buku kuno berdebu di ujung rak, seolah memanggilnya.
James berjalan mendekat, menarik buku yang tersembunyi di antara tataan buku lain di rak ujung itu. Kilatan cahaya kecil dari buku itu tampak jelas, membuat James semakin penasaran. Ia membuka buku itu dengan cepat, hingga sesuatu terjatuh. Pria itu tertegun, menunduk menatap benda kecil yang tampak seperti pintu, ukurannya sangat kecil. Saat tangannya nyaris menyentuh untuk mengembalikannya ke halaman buku, tiba-tiba tubuh James terasa tertarik kuat, hingga terlempar dan perlahan menghilang, tersedot ke dalam pintu ajaib itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...