Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Si Mungil Yang Pendiam
Tanpa terasa hari cepat sekali berlalu. Waktu yang mungkin bagi sebagian biasa saja saat melewatinya, namun tidak bagi Armand sendiri.
Jelas sekali Armand merasa berbeda dalam setiap rutinitas yang dilaluinya selama beberapa hari ini. Tidak hanya kebiasaan Armand yang lebih suka memantau pekerja di perkebunan yang kini berubah dalam sekejap menjadi anak rumahan. Ditambah lagi profesi baru yang Armand geluti. Yaitu - Bodyguard
Ya, Armand merasa dirinya sudah layak disebut sebagai bodyguard sejati. Pasalnya, selama 2 hari terakhir, mulai dari pagi sampai sore, dari kebun tanaman mawar ibunya sampai dengan kebun sayur yang berada di halaman belakang rumah, Armand selalu bertindak layaknya seperti seorang pengawal sejati. Tidak hanya memelototi para pemuda desa yang hanya bisa berucap sampah dan rupanya tak takut dengan ancamannya, Armand juga akan mengekori tiap kali Lala mengajak si mungil itu keluar rumah.
Tak peduli meski hanya ke warung yang jaraknya tak terlalu jauh sekali pun, Armand tetap akan menjalankan tugas mulianya.
Kini, di sore hari pada hari ketiga, Armand duduk di kursi ruang tamu di rumah ibunya dengan kepala menengadah menatap langit-langit rumah sambil mendengarkan laporan dari Rizal mengenai apa saja yang terjadi di perkebunan kopi serta cengkeh yang ia miliki. Tidak hanya memberikan laporan, orang yang dipercaya Armand untuk memantau para pekerja di perkebunan itu juga tak segan melayangkan protes padanya.
"Bapak sih, nggak pernah ke perkebunan selama beberapa hari ini. Jadinya 'kan repot begini. Saya mesti bolak balik dari perkebunan yang ke perkebunan yang lainnya. Saya juga harus ke sini buat ngelaporin apa-apa saja yang terjadi di perkebunan. Mana jalannya belum semuanya diperbaiki, repot 'kan jadinya saya."
Armand menghembuskan napas lelah. Rentetan keluhan yang dilayangkan oleh Rizal membuat telinganya gatal saja.
"Coba gitu, pagar kawat yang mengelilingi tiap perkebunan diberi aliran listrik aja. Biar itu para pencuri kapok dan nggak bakalan lagi diam-diam nyuri kopi maupun cengkeh di perkebunan bapak. Padahal pagar kawatnya berduri loh itu, masih aja mereka punya cara buat melewatinya."
Armand menghembuskan napas lelah. Dengan tetap mengubah posisi duduknya, Armand berucap, "Kalau sampai ada yang meninggal karena kesetrum, aku juga yang bakalan repot nanti, Zal. Belum urusan dengan polisi yang mungkin saja terlibat. Ditambah lagi keluarga yang ditinggalkan, mereka pasti akan bikin masalah meski mereka sendiri yang bersalah."
"Bapak 'kan punya kenalan di kepolisian, urusan kayak gitu pasti bisa diselesaikan dengan mudah."
Dengusan Armand terdengar. Ingin sekali rasanya ia menjitak kepala salah seorang yang ia percaya itu "Aku tidak mau menggunakan koneksi demi mempermudah segala urusanku, Zal. Hal yang seperti itu nggak akan pernah aku lakukan."
"Lagian, kenapa sih bapak jadi aneh begini? Nggak biasanya bapak nggak pernah nongol ke perkebunan tiap kali pulang ke desa?" celetuk Rizal lagi.
Nah...
Itu juga yang membuat Armand bingung. Yang bahkan hingga saat ini Armand pun belum menemukan jawabannya.
"Eh, pak, ngomong-ngomong, dek Nissa kemana? Kok dari tadi nggak keliatan batang hidungnya?"
Perubahan topik pembicaraan yang jauh berbeda dari semula itu dengan cepat menimbulkan kernyitan di kening Armand. Begitu menegakkan posisi duduknya, tatapan Armand menghunus tajam, seolah siap menebas segala pikiran apapun yang ada di kepala Rizal mengenai si mungil. "Untuk apa kau menanyakan dia, Zal?" tanyanya yang tak menutupi rasa tak suka dalam nada suaranya.
Entah Rizal yang terlalu polos atau memang tak menyadari tatapan tajam yang siap menguliti, dengan cengengesan Rizal menjawab, "Dek Nissa itu 'kan cantik banget, Pak. Imut, manis, dan bikin adem ngeliatnya. Jadi, daripada pusing mikirin pacar saya yang tiap hari minta dibelikan skincare mulu, mending saya ngeliat muka dek Nissa yang cantik aja."
"Zal... "
"Gimana yang rasanya bisa meluk badan semungil itu?" pandangan Rizal menerawang jauh ke depan, berandai-andai bisa memeluk si gadis cantik yang jadi primadona di desa ini, hingga tak menyadari tatapan tajam yang terarah padanya, serta suasana yang tiba-tiba saja terasa dingin menyesakkan. "Udah cantik, putih, mulus, kebule'an lagi mukanya. Aduh, gak kebayang deh siapa yang bakalan beruntung dapatin dia. Mana bibirnya yang merah alami itu loh, bikin jiwa para lelaki meronta buat ngecup... "
"RIZAL." Armand mendesis. Nada suaranya bahkan terdengar keras hingga membuat Rizal terperanjat dengan mata membelalak terkejut. "Jangan pernah sekali lagi kau memikirkan apapun isi di kepalamu soal Nissa. Jangankan mencium, mencolek kulitnya sedikit saja tidak boleh!" desis Armand penuh ancaman.
Sementara Rizal tak bergerak, diam bagaikan patung setelah mendengar bentakkan dari atasannya yang selama ini ia kenal sangat sabar dan tak pernah sekali pun meninggikan nada suara, meski ia kerap kali melalaikan tugasnya untuk memantau keamanan di setiap perkebunan, maka Armand masih tak mampu mengendalikan emosinya.
"Bapak ke... kenapa? Kenapa tiba-tiba teriak begitu?" tanya Rizal takut. Andai dari sebuah tatapan bisa membunuh, Rizal yakin ia sudah pasti akan kehilangan nyawanya saat ini.
Seketika Armand terdiam. Pikirannya langsung mencoba menelaah mengenai alasan mengapa mendadak dirinya bisa emosi? Padahal selama ini, Armand selalu bisa sabar dalam menghadapi Rizal, tidak peduli sekonyol atau setidak-bermutu sekali pun tiap kata yang diucapkan oleh Rizal.
Tapi ini, terasa ada yang berbeda.
Mendengar ada pria yang membayangkan ingin memeluk dan mencium bibir merah alami milik si mungil, tiba-tiba muncul rasa tak rela dalam diri Armand.
"Kenapa ia sampai se-emosi begini?"
"Apa alasan di balik rasa tak relanya itu?"
Dua pertanyaan tersebut tak jua kunjung Armand temukan jawabannya, meski telah bermenit-menit berdiam diri. Dan bahkan setelah Rizal pamit undur diri dengan alasan akan memantau perkebunan cengkeh yang berada di dekat kantor kelurahan sana, Armand yang mengantar kepergian Rizal hingga ke teras tak juga bisa menemukan jawabannya.
****
Armand mendengus. Pusing karena tak bisa menemukan jawaban atas rasa yang mengganjal dalam hatinya, Armand memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Armand sudah membalikkan badan, siap untuk melangkah,
Akan tetapi...
"MAS ARMAND."
Mendengar teriakkan menggelegar tersebut, Armand langsung memejamkan mata. Hembusan napasnya terdengar berat, seiring dengan terdengarnya suara pagar yang dibuka serta langkah kaki yang perlahan mendekat.
Inilah alasannya kenapa Armand tidak pernah ingin berlama-lama tinggal di rumah ibunya. Kalau pun datang, Armand hanya akan memastikan keadaan sang ibu tercinta baik-baik saja dan setelahnya Armand akan lebih memilih menginap di rumahnya yang ada di tengah perkebunan. Suasana sepi menjadi pilihan. Dengan begitu, wanita yang berteriak memanggil namanya tadi takut untuk melewati jalan yang sepi serta tidak terdapat banyak rumah penduduk di sana.
"Ihhh mas Armand, aku panggil kok nggak mau boleh sih?"
Kalimat yang diucapkan dengan nada manja yang disertai dengan tepukan ringan di lengan kanannya tersebut lagi-lagi membuat Armand menghela napas berat.
Tidak ingin membuat kehadiran wanita yang tak pernah berhenti mengusik hidupnya itu jadi tontonan warga sekitar, Armand pun berbalik dan kemudian hampir saja ia membelalakkan kedua matanya andai tak dengan cepat mengendalikan ekspresi wajahnya.
"Mas Armand tau nggak, waktu aku dengar mas Armand ternyata udah lebih dari 2 hari nginap di sini, aku langsung pergi ke salon langgananku yang ada di ujung desa sana. Aku pokoknya harus tampil cetar membahana, supaya mas Armand jatuh cinta sama aku dan mau secepatnya ngelamar aku."
Cetar membahana?
Ya, bisa saja dibilang begitu. Armand sendiri pun tak mengerti mengenai hal-hal berbau make up dan sebagainya. Tapi yang Armand tahu, bahwa penampilan Lilis, anak bungsunya pak Lurah, tidak akan pernah bisa memikat hatinya.
Bagaimana bisa memikat, melihat bibir yang dipolesi dengan lipstik merah menyala nan tebal itu saja sudah membuat Armand bergidik. Ditambah lagi rambut yang ditata tinggi layaknya sarang tawon, Armand bahkan yakin jika tawon akan tertarik untuk bersarang di dalamnya. Belum lagi bedak tebal yang melapisi kulit tak sesuai dengan kulit wanita itu yang kecoklatan, bikin Armand pusing melihatnya.
Yang lebih parah dari itu semua adalah, pakaian yang Lilis kenakan, selain sangat ketat, warnanya yang merah menyala membuat sakit mata saat melihatnya.
Karenanya, tak ingin membuat dirinya semakin tersiksa, Armand mengalihkan pandangan ke arah tanaman mawar ibunya seraya berkata, "Apa tujuanmu ke sini, Lis? Cepat katakan. Saya sibuk. Masih ada urusan yang lebih penting yang harus saya lakukan jika tidak ada hal penting yang ingin kamu sampaikan."
Lilis mencebik layaknya anak kecil. Dihentak-hentakkanya kakinya di tanah yang ditutupi rumput yang tertata rapi tersebut. "Mas Armand kok gitu sih? Coba sekali aja mas Armand buka hati sekali aja buat aku, pasti mas bakalan senang punya pasangan sesempurna aku."
Armand benar-benar sedang menahan dirinya sekarang agar tak berkata kasar. Karena menurut sang ibu, tak baik memperlakukan seorang wanita dengan cara kasar meskipun hanya berupa ucapan bila memang wanita itu tak melakukan hal yang buruk pada kita. Sebab itulah Armand menahan diri dan menjaga nada suaranya tetap tenang. "Cepat katakan apa urusanmu, Urusan saya lebih penting ketimbang terus mendengar omongan yang tidak penting seperti itu."
"Mas Armand benaran nggak pernah ada rasa sama aku?"
"Benar." jawab Armand langsung dengan arah pandangan tetap mengarah ke kelopak mawar yang mekar sempurna.
"Sedikit pun nggak ada?"
"Ya."
Lilis patah hati. Jawaban singkat yang diucapkan oleh pria pujaan hatinya itu serasa seperti pisau tajam yang melesat tepat menembus jantungnya. Sakit tapi tak berdarah.
Namun, dengan cepat Lilis menegarkan hati. Ini bukanlah pertama kali ia mendapat penolakan. Jadi, seberapa banyak pun penolakan yang diterimanya atas cinta yang menggebu-gebu yang dirasakannya untuk pria yang sangat sempurna di matanya itu, baik fisik maupun ketebalan dompetnya, Lilis tak akan menyerah.
Dengan semangat 45, Lilis kembali membuka mulutnya untuk mendeklarasikan cintanya yang seluas samudera dan setinggi langit di angkasa.
Lilis kembali merasa bersemangat. Bibirnya sudah akan berucap, namun suara langkah yang berasal dari samping langsung menghentikan apapun yang hendak dikatakannya dan tak lama kemudian 2 sosok gadis muda terlihat melangkah sambil bergandengan tangan.
Tatapan Lilis pun dalam sekejap di penuhi rasa tak suka. Khususnya rasa tak suka tersebut mengarah kepada seorang gadis yang melangkah di sisi sebelah Lala.
Armand sendiri seakan lupa dengan keberadaan Lilis dan penampilannya yang membuatnya bergidik begitu melihat kehadiran si mungil melangkah bersisian dengan Lala.
Si mungil yang suaranya sangat mahal itu kini jalan dengan kepala menunduk, seolah tanah yang dipijaknya lebih menarik daripada siapapun yang ada di sekitarnya.
"Mau kemana, La?" tanya Armand cepat sebelum kedua gadis itu melewatinya. "Bentar lagi mau maghrib loh ini." ujar Armand mengingatkan.
"Mau ke warung beli shampo, abang juragan."
Armand mendengus kesal. Kebiasaan Lala yang suka seenaknya memanggilnya dirinya membuat Armand ingin sekali menjewer telinganya.
"Warung mana?" Armand belum ingin melepaskan. Pandangannya kembali mengarah kepada si mungil saat menanyakan, "Trus, kenapa Nissa kamu ajak juga?"
"Dedek barbie mau beli pembalut katanya?"
Jawaban Lala yang ceplas ceplos tersebut tidak hanya membuat gadis berusia 20 tahun mendapat tepukan yang cukup keras di lengannya tapi juga mendapat pelototan dari Armand yang tadi sempat mematung sejenak.
Sekarang, selain menjewer, Armand juga ingin menyumpal mulut gadis yang sudah dianggap sebagai anak oleh ibunya itu.
Tapi Armand sudah pasti tidak akan melakukan semua itu. Sebaliknya, ia segera memakai sandal swallow miliknya yang berwarna biru seraya berkata, "Saya ikut, sekalian ada yang mau saya beli juga."
Maka, ketiga orang yang terdiri dari 2 gadis beserta 1 orang bodyguard itu pun melangkah pergi dan benar-benar melupakan satu sosok lagi di sana.
Lilis, si Syahrini KW10 hanya bisa terbengong dengan mulutnya yang menganga lebar karena tak menyangka bahwa keberadaan dirinya yang cetar membahana ini tak dianggap. Harga dirinya terluka. Rasa marah memenuhi dadanya, yang membuatnya mengepal erat kedua tangannya saat pergi dari sana.