"Jika kamu tidak mau menikah dengan Louis secara suka rela, anggap saja ini sebagai tanda balas budimu karena aku telah membiayai seluruh pengobatan ibumu."
Perkataan Fradella membuat dunia Irene runtuh. Baru saja dia bahagia melihat ibunya bisa berjalan kembali, tapi kini Irene harus ditimpa cobaan lagi.
Menikah bukanlah sesuatu yang mudah. Menyatukan dua insan yang berbeda, dua kepribadian menjadi satu dan saling melengkapi kekurangan masing-masing itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Bagaimana dengan nasib Irene setelah pernikahannya dengan Louis. Pernikahan antara pelayan dan sang presdir, akankah berjalan layaknya pernikahan pada umumnya?
Lalu akankah Louis membukakan hatinya untuk Irene setelah mereka menikah? Ikuti kisah Irene dan Louis disini ya🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon risna afrianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KENAPA MEMBERI PILIHAN
Seminggu sudah berlalu, dan seminggu pula Irene tidak masuk bekerja di rumah keluarga Chen. Ibunya kini sudah kembali dari rumah sakit, keadaannya masih belum sembuh total. Hanya saja Jing Mi kini sudah bisa menggerakkan tangannya dengan leluasa. Dia mampu berkalan dengan bantuan kaki tiga sehingga dia tak perlu menghabiskan waktunya di atas kursi roda.
"Bu, Irene berangkat dulu ya. Jangan lupa minum obat Ibu." Irene pamit kepada ibunya, mencium kening sang ibu dengan hangat. Keadaan sang ibu tak mengurangi rasa cintanya, dia mencintai ibunya lebih dari apapun.
"Berhati hatilah nak" jawab Jing Mi lembut.
"Irene jalan dulu bu, daaahh..."Irene melambaikan tangannya sampai keluar dari halaman rumah.
Seperti biasa Irene berjalan kaki untuk menuju kediaman keluarga Chen. Menjadi pelayan di rumah itu kini menjadi satu satunya pekerjaan baginya. Restoran tempatnya bekerja paruh waktu kini tak lagi mempekerjakannya. Manajer restoran beralasan Irene tak masuk kerja selama satu minggu dan membuat mereka mencari pengganti.
"Aku akan punya banyak waktu bersama ibu." guman Irene dalam langkahnya.
Tak butuh waktu lama kini dia sudah sampai di rumah keluarga Chen. Hal pertama yang dia lihat adalah Tuan Muda Louis yang sedang menemani Nyonya Fradella berjemur di halaman. Tatapan tajamnya membuat Irene bergidik ngeri.
"Selamat pagi Nyonya, Tuan Muda," sapa Irene dengan sedikit menundukkan kepalanya.
"Bagaimana keadaan ibumu Irene?" tanya Fradella.
"Sudah jauh lebih baik Nyonya berkat bantuan anda. Saya sangat berterima kasih dan ibu juga sangat berterima kasih atas kemurahan hati Nyonya." jawab Irene.
"Senang bisa membantumu dan juga ibumu Irene." Fradella nampak senang mendengar jawaban dari Irene.
"Sebelum makan siang temui saya di ruang kerja Irene," tambah Fradella.
"Baik Nyonya." Irene mengiyakan.
Irene melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mewah itu. Belum sampai di dapur langkahnya terhenti oleh panggilan dari Antoni.
"Hay Irene." sapa Antoni.
"Selamat pagi Tuan." Irene sedikit menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Antoni kemudian.
"Sudah lebih baik Tuan." Jawab Irene singkat.
"Ohh syukurlah aku ikut senang mendengar nya." Irene hanya nyengir mendengar kata kata Antoni.
"Mari Tuan." Irene berlalu ke dapur meninggalkan Antoni disana. Dia tidak ingin jika sampai dirinya harus dihadapkan dengan harimau betina yang bisa menyerangnya kapan saja.
"Hai Irene." Suara dari teman teman pelayannya terdengar sangat nyaring di telinganya. Mereka berhamburan memeluk Irene secara bergantian seraya menumpahkan kerinduan mereka.
Ketidak hadiran Irene selama sepekan membuat mereka tentunya merindukan sosok lugu dan polos Irene.
"Bagaimana dengan ibumu Irene, apakah operasinya berjalan lancar?" tanya Casie.
"Iya Bi, semuanya berjalan lancar. Sekarang ibuku sudah jauh lebih baik." Jelas Irene.
"Lalu dimana bibi Jing Mi sekarang?" tanya Nara seraya mendekati sahabat nya tersebut.
"Dia sedang di rumah sekarang Ra, ibu sudah bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda." Jawaban yang dilontarkan oleh Irene berhasih membuat para pelayan membulatkan matanya seperti tak percaya. Tapi mereka ikut senang dengan apa yang baru saja Irene tuturkan.
"Syukurlah Irene, bibi ikut senang mendengarnya." tutur Casie mengelus lembut bahu Irene.
Setelah semua pelayan membubarkan diri dan mengerjakan pekerjaan masing masing, Nara menghampiri Irene yang sedang mencuci sayur.
"Dari mana kamu mendapat biaya operasi?" bisik Nara.
"Hah, oh itu Nyonya Fradella yang membantuku. Tapi kamu diam ya." jawab Irene dengan berbisik juga.
"Yang benar kamu..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya suara Nona Else sudah memotong percakapan mereka.
"Ini saatnya bekerja bukan mengobrol," bentaknya.
Suara lantang nona Else benar benar mengejutkan mereka berdua. Sinta yang sedari tadi menguping pembicaraan Irene dan Nara juga ikut terkejut sampai menubruk badan kulkas.
"Maafkan kami Nona." jawab mereka bersamaan.
Nara yang ketakutan langsung pergi meninggalkan Irene sendirian. Tangan Irene yang sedari tadi sibuk mencuci sayur tiba tiba menjadi gemetar.
Seperti yang dikatakan bibi Casie, di rumah ini sering sekali gonta ganti pelayan. Kecrewetan Nona Else menjadi alasan utama mereka tidak betah disini.
Hanya bibi Casie yang mampu bertahan di rumah ini selama kurang lebih 20 tahun. Seperti halnya ibunda bibi Casie yang menghabiskan umurnya untuk mengabdi di keluarga Chen.
***
Sejak menjadi pelayan di rumah keluarga Chen, Irene yang menjadi juru masak disana. Keahlian memasak Irene diakui oleh Nyonya Fradella, sehingga Irene kini yang memegang dapur rumah itu.
Irene tengah sibuk menyiapkan menu makan siang dibantu oleh Sinta. Saat makanan sudah tertata rapi di atas meja makan Irene teringat sesuatu.
"Oh ya aku hampir lupa." guman Irene.
"Sinta, aku tinggal sebentar ya. Irene melepas celemek yang dipakainya dan di taruhnya di atas kursi.
"Memangnya kamu mau kemana?" tanya sinta.
"Nyonya menyuruhku menemuinya sebelum jam makan siang, aku tinggal dulu ya." Sinta merasa panas mendengar jawaban yang Irene lontarkan. Sinta merasa cemburu, dia tak suka melihat kedekatan Irene dengan Nyonya besar.
"Kenapa Irene yang selalu Nyonya banggakan, kenapa harus dia. Apa kelebihannya, aku jauh lebih dalam segala hal dibandingkan dia." gerutu Sinta.
***
Tok
Tok
Tok
"Nyonya ini saya Irene." tutur Irene karena belum mendapat jawaban.
"Masuklah." suara Fradella dari dalam ruang kerjanya.
Irene membuka pintu itu dengan perlahan, kerena perasaannya menjadi tidak enak. Dan dugaannya benar, di dalam bukan hanya ada Nyonya besar tapi juga ada Tuan Muda Louis.
Louis melihat Irene dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Dan wajahnya juga tak menampak ekspresi apapun, hanya wajah dingin yang selalu ia tampakkan.
"Kemarilah Irene." perintah Fradella karena Irene hanya berdiri di depan pintu.
"Duduklah Irene." perintah Fradella lagi.
Dengan gugup Irene memberanikan diri untuk duduk di depan Nyonya besarnya.
"Irene." Panggil Fradella.
"I-ya saya, Nyonya," jawab Irene sedikit gugup.
"Dengarkan saya baik baik, saya tak ingin basa basi dan langsung saja ke pokok pembicaraan." Wajah Fradella seketika menkjadi serius.
"Saya ingin kamu menikah dengan anak saya," ucap Fradella dengan enteng.
"Maksud Nyonya, Tuan Muda Louis." jawab Irene kaget.
"Kamu membentak saya." jawab Fradella yang merasa lucu melihat ekspresi Irene.
"Tidak Nyonya, maafkan saya." Irene menunduk malu.
"Iya kamu benar Irene, kalau bukan Louis siapa lagi. Anakku hanya Louis dan Else, tidak mungkinkan saya menyuruh kamu menikah dengan Else." tutur Fradella dengan lembut.
"Bagaimana Irene?" tanyanya lagi.
"Ta - pi kenapa harus saya Nyonya?" Irene balik bertanya.
"Karena menurut saya, kamu adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping Louis Irene. Kamu dewasa, pintar, cantik, dan yang saya paling suka kamu anak yang sopan." Fradella menjelaskan.
"Tapi.." Fradella memotong kata- kata Irene yang belum sempat ia selesaikan.
"Jika kamu tidak mau menerima ini dengan cuma - cuma, anggap saja ini balas budi kamu karena saya sudah menolong ibu kamu. Sebenarnya saya tidak menginginkan imbalan, tapi anggap saja begitu agar kamu mau menikah dengan Louis." tutur Fradella panjang lebar.
"Bagaimana dengan Tuan Muda, apakah dia mau menerima saya Nyonya?" Pertanyaan Irene membuat perhatian Louis menjadi berpindah kepadanya. Dia memang mendengarkan percakapan mereka, tapi pendangannya tak luput dari layar ponselnya.
"Louis." panggil Fradella karena tidak ada suara dari putranya itu.
"Iya Mom." Jawab Louis dengan suara yang terdengar seperti orang yang sedang malas.
"Bagaimana?" tanya Fradella yang dia sendiri sebenarnya sudah tau akan jawaban dari Louis.
"Iya Mom, aku bersedia." Wajah Louis tanpa ekspresi saat menjawabnya.
"Lihatlah Irene, anak saya bersedia." Fradella kini kembali memandang ke arah Irene.
"Baik Nyonya, saya akan bicarakan ini bersama ibu saya terlebih dulu." Irene menjawabnya dengan asal karena memang tidak ada pilihan lain.
"Baiklah, saya tunggu jawaban itu besok. Dan saya tidak ingin ada penolakan. Kamu boleh kembali bekerja." Fradella mempersilahkan.
"Baik Nyonya." Irene meninggalkan ruangan itu dengan perasaan yang dia sendiri tak tau.
"Kalau dia tidak ingin ada penolakan, kenapa harus memberi pilihan." Gerutu Irene dengan langkahnya yang terlihat rapuh.
suka dg kisahnya yg tdk memperdulikan kasta