Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6: The First Flame, The Final Oath
Langit Ravennor kembali tenang, tapi itu hanya jeda. Seraphine berdiri di reruntuhan Menara Tertua bersama Caelum. Tangan mereka masih saling menggenggam, tapi tubuh mereka lelah. Napas pendek. Dada bergemuruh oleh sihir yang baru saja mereka bangkitkan—dan kendalikan.
“Apa kau merasakannya?” tanya Seraphine, pelan.
Caelum mengangguk. “Yang pertama… dia masih ada di bawah tanah istana.”
Dan ia terbangun.
Tujuh lantai di bawah tanah istana, tempat yang hanya diketahui oleh raja dan dua leluhur, tersembunyi sebuah ruangan bernama Crypta Veritas—Makam Kebenaran. Tak seorang pun masuk ke sana sejak generasi pertama Elric menyegel makhluk pertama. Mereka menyebutnya Ira Primordia—kemarahan pertama.
Bahkan catatan sejarah tidak mencatat bentuknya. Hanya satu kalimat yang tertulis pada dinding marmer hitam di atas pintu:
“Yang pertama bukan musuh. Ia adalah balasan.”
Dan kini… dinding itu retak.
Beberapa jam setelah langit kembali biru, Istana Ravennor menggelar dewan darurat. Para penasihat berkumpul di Ruang Perundingan yang setengah hancur. Seraphine duduk di sebelah Caelum, wajahnya disorot penuh curiga. Tapi tidak ada yang berani menyentuhnya setelah melihat apa yang ia lakukan bersama sang pangeran.
“Satu dari tiga pengikat telah dikalahkan,” ujar Duke Roderick. “Tapi kita belum tahu akibat dari pembukaan segel darah.”
“Kita sudah tahu,” sela Orin, yang kini tak lagi menyembunyikan identitasnya sebagai anak Verndale. “Segel pertama mulai rusak. Makhluk pertama… bangun.”
Suara-suara kecil bermunculan. Panik. Takut.
Seraphine berdiri. “Ada cara untuk menghentikannya.”
“Kau tahu caranya?” bentak salah satu bangsawan.
“Ayahku… dulu hampir melakukannya. Tapi ia dibunuh sebelum sempat menyelesaikan ritual terakhir. Dan kalian semua tahu siapa pelakunya.”
Ruangan terdiam.
“Jika kita ingin menghentikan kebangkitan makhluk pertama,” lanjut Seraphine, “aku harus ke Makam Kebenaran. Tempat yang bahkan kalian sendiri tak berani sentuh.”
Caelum mendampinginya ke lorong bawah istana. Mereka melewati tangga batu yang retak dan bercahaya merah samar. Di sana, ia menceritakan sesuatu yang belum pernah ia katakan sebelumnya.
“Ayahku, Raja Elric… dia pernah mencoba berbicara pada makhluk pertama. Bukan untuk menyegel, tapi untuk membuat perjanjian baru. Ia ingin menguasai kekuatannya. Tapi makhluk itu menolak.”
“Dan ia dikurung,” tebak Seraphine.
Caelum mengangguk. “Makhluk itu bukan iblis. Ia hanya… cermin. Dari semua kemarahan, pengkhianatan, dan kebohongan yang dibangun oleh para raja.”
Ketika mereka tiba di depan pintu Makam Kebenaran, Seraphine menarik napas panjang. “Kalau begitu… saatnya cermin itu memantulkan semuanya kembali.”
Caelum memegang bahunya. “Kalau kau masuk, tidak ada jaminan kau keluar.”
“Tak pernah ada,” balas Seraphine. “Sejak malam keluargaku dibantai, semua ini memang tak pernah menjanjikan selamat.”
Ia mendorong pintu marmer yang penuh retakan. Pintu itu membuka sendiri, dengan suara jeritan sihir yang seakan berasal dari kedalaman dunia.
Di dalam ruangan, hanya ada satu cahaya—sebuah api kecil yang tak padam meski tak memiliki bahan bakar. Api itu tidak merah. Warnanya seperti gabungan emas, biru, dan hitam. Di sekelilingnya, berjajar 12 batu nisan.
Seraphine mendekat. Api itu tampak menyala lebih terang saat ia melangkah.
Dan di atas api itu—muncul sosok.
Tidak memiliki tubuh, tapi memiliki bentuk. Bayangan wajah. Mata. Dan suara yang terdengar bukan lewat telinga, tapi langsung ke hati.
“Akhirnya… darah yang dicuri itu kembali.”
Seraphine gemetar. “Kau… Ira Primordia?”
“Nama yang diberikan oleh para penakut. Aku bukan kemarahan. Aku kebenaran. Dan kau, Seraphine Verndale, adalah anak dari darah yang dahulu tak seharusnya dilenyapkan.”
Seraphine melangkah lebih dekat. “Kenapa kau tidak membalaskan dendamku saat itu?”
“Karena aku bukan alat balas dendam. Aku hanya memberi kekuatan kepada mereka yang mampu menanggung kebenaran. Dan kau belum siap… sampai sekarang.”
Ia mengulurkan tangan yang terbuat dari cahaya dan api.
"Berikan aku sumpahmu. Bukan untuk kerajaan. Bukan untuk takhta. Tapi untuk kebenaran.”
Seraphine menggenggamnya.
Seketika, seluruh ruangan runtuh menjadi warna dan suara.
Ia melihat seluruh masa lalu—ayahnya yang berlutut di hadapan api ini, berusaha menyegel kemarahan agar tidak melukai siapa pun. Ibunya yang berdiri dengan perut hamil, menatap masa depan yang dirampas. Ia melihat semua pengkhianatan, semua nama, semua wajah.
Dan ia melihat satu hal terakhir:
Caelum… berdiri di atas darah ayahnya, menangis—memohon agar eksekusi keluarga Verndale dihentikan. Tapi diabaikan oleh para algojo.
Ketika Seraphine kembali ke kesadarannya, air mata telah jatuh tanpa sadar.
“Kau… memohon agar kami diselamatkan,” bisiknya saat keluar dari ruangan dan menemukan Caelum masih menunggunya.
Caelum mengangguk. “Tapi aku gagal.”
Seraphine memeluknya. Untuk pertama kalinya, bukan karena strategi. Bukan karena keterpaksaan. Tapi karena hatinya retak oleh kebenaran yang tak disangka.
“Aku akan menghentikan ini semua,” ucapnya. “Dengan atau tanpamu.”
Caelum mencengkeram tangannya. “Selalu denganku.”
Malam itu, Ravennor tidak lagi tidur.
Seraphine naik ke balkon tertinggi istana, mengenakan jubah keluarga Verndale yang disimpan Orin selama bertahun-tahun. Ia berdiri di hadapan seluruh rakyat yang berkumpul di bawah, mengira akan ada eksekusi atau pengumuman perang.
Tapi apa yang mereka dengar… adalah kebenaran.
“Aku Seraphine Verndale. Anak dari keluarga yang dikhianati. Pewaris darah yang kalian coba hilangkan. Tapi malam ini, aku berdiri tidak untuk membalas. Aku berdiri… untuk menghentikan siklus ini.”
Orang-orang mulai bersuara. Beberapa bersorak. Beberapa menangis.
Seraphine mengangkat tangannya, dan api biru menyala dari telapak tangannya.
“Aku telah bersumpah pada Yang Pertama. Api ini bukan untuk membakar. Tapi untuk menerangi akhir dari kebohongan.”
Orin, Mirella, dan Caelum berdiri di belakangnya.
Dan rakyat Ravennor, untuk pertama kalinya, memilih diam bukan karena takut… tapi karena harapan.
Di bawah tanah, Ira Primordia menyatu kembali dalam bentuk nyata.
Ia menatap ke atas.
“Satu sumpah telah diperbaharui. Yang kedua akan menyusul.
Dan ketika semuanya selesai… mahkota akan jatuh.
Dan dari abunya, lahir ratu yang tak pernah dipilih… tapi selalu ditakdirkan.”
Langit Ravennor mendung tanpa hujan. Kota dipenuhi bisik-bisik. Ada yang menyebutnya kudeta. Ada yang menyebutnya akhir zaman. Tapi sebagian besar—hanya menunggu.
Menunggu siapa yang akan duduk di singgasana besi, yang kini kosong.
Karena Raja Elric... hilang.
Satu hari setelah Seraphine mengumumkan jati dirinya, seluruh keluarga bangsawan dipanggil untuk menghadiri Sidang Takhta. Tempat itu, biasanya hanya boleh diinjak oleh penguasa dan pewarisnya. Tapi hari ini, semua mata menatap dua sosok di tengah aula utama: Seraphine Verndale, dan Pangeran Caelum Elric.
Tak ada seorang pun duduk di singgasana. Tidak juga Caelum.
“Kita semua tahu alasan kita di sini,” ujar Duke Roderick, suara berat dan menua. “Bukan hanya untuk mengadili kebenaran. Tapi untuk memutuskan masa depan kerajaan.”
Seraphine berdiri tegak. “Kalau begitu, masa depan itu tidak boleh dibangun di atas kebohongan lagi.”
“Dan bagaimana jika masa depan itu memerlukan darahmu untuk ditebus?” tanya Duchess Virella, dingin.
“Silakan,” kata Seraphine. Ia berjalan maju, membuka jubahnya, memperlihatkan lambang Verndale yang menyala dengan sihir api biru. “Kalau darahku yang kalian butuhkan untuk menghentikan kebangkitan, maka bunuh aku. Tapi ingat… satu sumpah telah kubuat. Jika aku mati… maka api itu akan memilih pewaris baru. Dan ia tak akan sebaik aku.”
Caelum maju. “Cukup.”
Ia melemparkan mahkota emas tua ke tengah lantai.
“Kalau kalian ingin kekuasaan… ambillah. Tapi jangan minta aku mengorbankan satu orang lagi hanya untuk mempertahankan sebuah nama keluarga.”
Para bangsawan gaduh. Suara-suara saling bertabrakan. Tapi satu suara menembus semuanya.
Suara seorang anak.
“Aku ingin Seraphine jadi ratunya.”
Semua menoleh. Orin berdiri di belakang Seraphine, matanya menatap tajam ke arah para bangsawan yang menertawakannya.
“Karena kalau kalian semua cuma bisa duduk dan bicara,” katanya, “maka biar kami yang bertindak.”
Malam itu, Caelum dan Seraphine berdiri di depan peta tua di ruang kerja raja. Di atasnya, jejak-jejak bekas perang sihir muncul perlahan. Tanda-tanda bahwa makhluk-makhluk lama mulai bangun di belahan dunia lain.
“Ada dua segel lagi,” ujar Caelum. “Satu di perbatasan Utara. Dan satu lagi… di perut pegunungan Azen.”
“Berarti dua kerajaan tetangga tahu,” balas Seraphine. “Mereka pasti bersiap menyerang.”
Caelum diam sejenak. Lalu berkata:
“Aku tidak akan jadi raja.”
Seraphine menoleh. “Apa?”
“Aku akan pergi ke Utara. Aku tahu rute tersembunyi dan sihir di sana. Aku bisa buka segelnya lebih cepat. Tapi kalau aku tetap tinggal di sini… aku hanya akan menjadi simbol. Dan aku tidak mau jadi simbol dari kerajaan yang hampir membunuhmu.”
Seraphine menggenggam tangannya. “Kau tidak perlu melakukan ini sendiri.”
“Tapi kau harus memimpin di sini,” ujar Caelum pelan. “Kalau aku… tidak kembali.”
Seraphine mundur satu langkah, matanya bergetar.
“Jangan katakan itu.”
Caelum menyentuh wajahnya. “Aku tidak akan mati. Tapi dunia yang lama... harus.”
Dan ia mencium Seraphine—pelan, lama, dan dalam—seolah ingin menyimpan napasnya untuk perjalanan panjang yang akan datang.
Tiga hari kemudian, Caelum berangkat ke Utara. Ia membawa tiga pasukan bayangan, tidak mengenakan mahkota, dan tidak meninggalkan pesan selain satu:
“Seraphine Verndale adalah api terakhir dunia ini. Dan jika ia padam… maka semua akan tenggelam dalam gelap.”
Rakyat Ravennor terpecah. Tapi mereka tidak memberontak. Karena di tengah reruntuhan, suara kebenaran lebih keras daripada sihir mana pun.
Seraphine berjalan ke dalam Singgasana Besi untuk pertama kalinya sejak kematian keluarganya. Tapi ia tidak duduk.
Ia berdiri di tangga ketiga, mengangkat tangan, dan berkata:
“Aku tidak akan mengambil mahkota.”
Seluruh aula terdiam.
“Aku akan memimpin. Tapi bukan sebagai ratu. Aku akan jadi Penjaga Takhta. Dan takhta ini… akan kosong sampai dunia siap memilih pemimpinnya sendiri.”
Itu adalah keputusan pertama Seraphine sebagai pemimpin.
Bukan sebuah mahkota.
Tapi kekosongan yang penuh makna.
Dan jauh di Utara, di tengah hutan hitam yang membisikkan mantra lama, Caelum Elric berdiri di depan segel kedua—terbuat dari tulang, es, dan darah.
Ia membuka gulungan yang diberikan Seraphine sebelum pergi.
Isinya hanya satu kalimat.
“Kalau kau jatuh, aku akan membakarkan dunia untuk menemukanmu kembali.”
Caelum tersenyum.
Lalu ia menyentuh segel itu—dan dunia kembali retak.
...“Jika dunia lama terbakar, ...
...siapa yang akan menyambut dunia baru?”...
Angin Ravennor berubah lebih dingin. Hujan bukan lagi air—tapi abu.
Dan di setiap malam bulan baru, istana diterangi oleh api biru yang tak bisa padam.
Sudah dua bulan sejak Caelum pergi ke Utara. Dua bulan tanpa kabar. Dua bulan Seraphine harus memimpin dewan yang berisi orang-orang yang dulu ingin memenggal kepalanya. Tapi kini… mereka tunduk padanya.
Karena satu alasan.
Ia satu-satunya yang tidak duduk di takhta.
Di kamarnya, Seraphine duduk di depan meja. Puluhan surat tergeletak di atas kertas perkamen, semuanya ditulis dengan tangan, semuanya… tidak dikirimkan.
Caelum, kau pernah bilang tidak akan mati. Tapi kenapa aku tidak bisa berhenti bermimpi bahwa tubuhmu beku di antara salju, dan tanganmu terulur ke arahku?
Jika kau benar-benar pergi… siapa yang akan mengingat bahwa aku dulu gadis kecil yang menangis di ruang musik?
Kau yang pertama melihat lukaku dan tidak berpaling. Tapi juga kau… yang memilih meninggalkanku di tengah kerumunan serigala.
Ia berhenti menulis. Tangannya gemetar.
“Satu lagi,” bisiknya. “Satu surat terakhir.”
Di aula sihir dalam, Orin berlatih bersama Tuan Varleth—mantan pengawal ayah mereka yang kini mengabdi pada Seraphine. Anak itu sudah bisa mengendalikan api dengan bentuk simbolik. Hari itu, ia membentuk bentuk naga kecil dari bara.
“Dia sudah siap,” kata Varleth pada Seraphine. “Dalam beberapa bulan, ia bisa membuka segel ketiga.”
“Segel ketiga?” tanya Seraphine. “Yang di mana?”
“Di tanah tempat ibumu dibunuh.”
Seraphine menegang.
“Buka itu... dan semua kebenaran tentang pengorbanan Raja Elric akan muncul.”
Malam itu, di bawah ruang penyimpanan tua di perpustakaan istana, Seraphine mendapati sesuatu yang disegel dalam darah.
Sebuah peta... yang bukan hanya peta. Tapi catatan tentang eksperimen sihir gabungan—darah Verndale dan darah Elric.
Project: Sang Hybrida.
Tujuan: Menyatukan warisan sihir kuno dan kerajaan demi keturunan tak terkalahkan.
Dan di bawahnya, tanda tangan.
Bukan Raja Elric.
Tapi... ibunya sendiri.
Sementara itu, di perbatasan utara, pasukan Caelum sudah berkurang setengah. Satu demi satu, mereka tewas bukan oleh musuh—tapi oleh pengkhianatan dari dalam.
“Kita dibuntuti,” kata Elen, satu-satunya komandan wanita yang masih tersisa. “Ada yang memberi posisi kita pada kekuatan dari luar tembok.”
Caelum menggertakkan gigi. “Aku tahu siapa pelakunya. Tapi kita terlalu dekat ke segel. Kita tidak bisa mundur.”
Ia membuka kompas sihirnya. Jarum berputar liar. Tak ada arah. Karena di dekat segel… sihir menjadi liar.
“Katakan pada semua orang. Kita bakar perkemahan. Dan maju sebelum fajar.”
Kembali ke Ravennor, Seraphine berdiri di menara tertinggi. Ia menatap ke arah utara, tempat langit membiru aneh setiap malam.
“Jika kau bisa mendengar…” katanya, menggenggam surat terakhir yang belum dikirim, “kembalilah. Bukan karena kerajaan. Tapi karena aku... tidak bisa menjadi diriku tanpamu.”
Dan di saat itu, burung hitam bermata dua terbang dan menjatuhkan sesuatu di dekat kakinya.
Secarik kain.
Berwarna biru.
Dengan darah yang belum kering.
Milik Caelum.
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~