3 tahun menikah, Yusuf selalu bersikap dingin terhadap Hazel.
namun saat Hazel memutuskan untuk pergi, Yusuf seperti orang gila mengejar cinta sang istri mati-matian.
Ikuti kisahnya hingga akhir ya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilih salah satu
"Papa Aska, papa Bima."
Tifanny terlihat bahagia melihat kedatangan Aska dan Bima, tidak seperti Nino yang menatap mereka berdua penuh dengan permusuhan.
"Aska, Bima, sedang apa kalian di sini?!" tanya Nino dengan sengit.
"Kalau kami tidak ada di sini, bagaimana kami bisa tahu kalau kau telah lebih dulu mencuri start untuk menjadi papa Tiffany!" pekik Aska dan Bima tak kalah sengitnya.
Mereka bertiga terus adu mulut dan hampir berakhir dengan adu jotos andai tidak ada Tiffany yang melerainya.
"Hentikan papa Nino, papa Aska, papa Bima! Jangan belantem! Sepelti anak kecil saja!" cicit Tiffany dengan wajah galak namun tetap terlihat cantik dan menggemaskan.
Mendengar ucapan Tiffany, Nino, Aska dan Bima terpaksa melerai perkelahian tersebut dan kembali bersikap akrab seperti biasanya.
"Tiffany sayang, papa Nino, papa Bima dan papa Aska tidak sedang berantem kok. kami hanya sedang berbicara antar sesama pria saja." ucap Nino mewakili Aska dan Bima.
"Apa plia dewasa selalu berbicara dengan saling memukul sepelti kalian?" tanya Tiffany yang tentu saja tidak mudah percaya dengan apa yang dikatakan papa Ninonya.
"Tidak juga, tergantung hal apa yang sedang dibicarakan saja. Tadi itu papa Nino sudah keterlaluan, karna itu papa Bima dan papa Aska ingin memberi papa Nino sedikit pelajaran." Bima menjelaskan.
"Memangnya apa yang papa Nino lakukan sampai membuat papa Bima dan papa Aska malah?" tanya Tiffany lagi dengan dahi yang mengkerut.
Nino, Bima dan Aska saling menatap seakan mencari jawaban yang tepat untuk diberikan pada Tiffany.
Tidak mungkin mereka mengatakan pada Tiffany kalau mereka bertiga sedang memperebutkan cinta mommy gadis kecil itu.
"Tiffany, diantara papa Nino, papa Bima dan papa Aska. Mana yang paling cocok untuk menjadi papa Tiffany?" Nino bermaksud untuk mengalihkan atensi Tiffany.
"Siapa ya..." dahi Tiffany mengkerut selayaknya orang yang sedang berpikir.
"Kalau Tiffany memilih papa Nino, Tiffany boleh makan ice cream sepuasnya." ucap Nino seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu, sikap Nino seakan meminta agar Tiffany memilih dirinya saja.
"Yeay, kalau begitu aku mau papa Nino jadi papa aku." balas Tiffany dengan wajah sumringah.
"Jangan pilih papa Nino Tiffany! Pilih papa Aska saja, kalau Tiffany memilih papa Aska, papa Aska akan memasak makanan kesukaan Tiffany setiap hari." pinta Aska dengan nada meyakinkan.
"Benalkah? Kalau begitu aku mau papa Aska yang jadi papa aku." Tiffany mulai goyah.
"Tidak-tidak! Jangan pilih papa Nino dan papa Aska! Pilih papa Bima saja. Kalau Tiffany memilih papa Bima untuk jadi papa Tiffany, papa Bima akan membantu mengerjakan PR Tiffany setiap hari." bujuk Bima pula.
Mendengar kata-kata Bima, Tiffany semakin bingung harus memilih yang mana. Netra biru gadis kecil itu menelisik Nino, Bima dan Aska dengan begitu intens.
"Aku tidak bisa memilih. Aku mau papa Nino, papa Aska, dan papa Bima yang jadi papa aku." Tiffany tidak bisa memilih, jadi ia memutuskan untuk memilih ketiga pria tersebut untuk menjadi papanya.
"Tiffany tidak boleh memilih semuanya, Tiffany harus memilih salah satu dari kami untuk menjadi papa Tiffany." desak Nino.
"Ini pilihan yang sulit. Kalau aku memilih salah satu dali meleka, meleka beltiga pasti akan berantem lagi." batin Tiffany dengan wajah sendunya.
Gadis kecil itu diam sejenak seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Aku tidak bisa memilih salah satu diantala kalian beltiga untuk menjadi papa aku, jadi aku mau om yang itu saja untuk menjadi papa aku." Tiffany menunjuk seorang pria asing yang kebetulan lewat dihadapan mereka.
Dengan wajah riang gembira, gadis kecil tersebut berlari ke arah pria asing yang ditunjuknya.
"Om, mau tidak jadi papa aku?" pinta Tiffany setelah berada dihadapan pria itu.
Mendengar gadis semenggemaskan Tiffany meminta dirinya untuk menjadi ayah, pria itu tersenyum simpul seraya mengusap rambut panjang Tiffany.
"Nak, siapa namamu?" tanya pria itu.
"Namaku Tiffany om." jawab Tiffany dengan mata berkedip-kedip seperti boneka. Setiap orang yang melihatnya akan menjadi luluh.
"Tiffany, kenapa meminta om untuk menjadi papamu nak?" tanya pria itu dengan nada lembut.
"Kalna om ganteng, mama pasti suka sama om." balas Tiffany dengan wajah polosnya.
Pria itu hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Tiffany yang terdengar sangat tulus, hingga mampu ia rasakan ke dalam hatinya.
"Mata gadis kecil ini, kenapa terlihat sangat familiar? seperti mata milik seseorang." gumam pria itu kala netra hitamnya bersitatap dengan netra biru milik Tiffany.
Waktu seakan terhenti untuk sesaat kala netra mereka berdua saling menatap. Pria itu seakan terhipnotis dengan mata indah milik Tiffany.
"Maaf tuan, putri saya memang suka bicara sembarang. Tolong jangan di ambil hati." ucap Nino seraya membawa Tiffany ke dalam gendongannya.
"Tidak papa, namanya juga anak kecil. Apa gadis kecil ini putrimu?" tanya pria asing itu diiringi senyuman.
"Benar tuan, dia adalah putri kesayanganku." balas Nino.
"Oh begitu ya. Kau beruntung memiliki putri secantik dia." ucap pria asing itu tulus dari dalam hatinya.
"Aku juga merasa sangat beruntung menjadi papa dari Tiffany. Hari hampir gelap, kami harus segera pulang. Permisi tuan." pamit Nino.
"Ya silahkan, dadah gadis kecil." pria itu melambaikan tangannya ke arah Tiffany. Ada rasa kehilangan yang tiba-tiba merasuk ke dalam hati pria itu.
"Tapi aku masih mau main sama om ganteng." rengek Tiffany yang juga merasakan rasa kehilangan yang sama.
"Tiffany jangan nakal, cepat bilang selamat tinggal sama om! Kita harus segera pulang karna mommy sudah menunggu kita di rumah." bujuk Nino. Tiffany menganggukan kepalanya dengan sedikit tidak rela.
"Dadah om." pamit Tiffany dengan wajah sendunya.
Pria asing itu membalas lambaian tangan Tiffany yang masih bermanja dalam gendongan sang papa. Netra hitamnya terus menatap punggung kedua orang tersebut hingga menghilang di dalam keramaian.
"Wajah pria itu terlihat tidak asing. Tapi aku pernah melihat dia dimana ya?" pria asing itu mencoba mengingat-ingat.
Drrrd Drrrd
Suara ponsel yang bergetar menyadarkan pria itu dari lamunan singkatnya.
Pria itu menekan pin hijau untuk menjawab panggilan tersebut.
"Halo Yusuf, Kau dimana? Kenapa meninggalkan aku sendirian?" terdengar suara rengekan seorang wanita begitu panggilan itu terhubung.
Bersambung.