Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Pergi
Keesokan paginya, langit masih gelap saat aku sudah berada di bandara. Aku duduk di bangku besi panjang, mengenakan hoodie putih dan masker, menatap papan kedatangan yang berkedip-kedip di atas kepala.
Ponselku tak berhenti berdering sejak tadi malam. Chat dari Khalif dan Yumna masuk bertubi-tubi.
...Khalif...
Sya, gue minta maaf banget soal kejadian semalam. Harusnya gue bisa lebih netral.
...Yumna...
Tisya, please, bales dong. Gue nyesel, serius. Gak maksud ngejebak atau gimana. Maafin gue ya.
Aku hanya membaca sekilas, lalu membiarkannya tenggelam di notifikasi lain. Lalu muncul nama Nizan, berkali-kali. Panggilan tak terjawab. Pesan voice note. Tapi aku tak sanggup mendengar suaranya sekarang.
Ponselku kembali bergetar. Kali ini, nama yang muncul di layar berbeda: Azzam.
Aku menatap layar itu lama. Lalu menggeser tombol hijau.
"Halo?"
"Sya?"
Aku diam tidak menjawab, menunggunya menyampaikan niatnya menelfonku sepagi ini.
"Dimana?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
"Dimana-mana hatiku senang." Nada suaraku terdengar bercanda.
"Sya, gue serius."
"Gue juga," jawabku sambil terkekeh. "Gue di bandara."
"Bandara? Ngapain lo di bandara pagi-pagi?"
Aku diam sejenak, lalu menjawab pelan. "Gue mau pindah sekolah ke Malaysia, Zam. Hari ini flightnya."
Hening.
"Astaga Tisya, lo serius?" Nada suaranya berubah panik. "Tunggu. Tunggu gue. Lo jangan naik pesawat dulu. Gue ke sana sekarang."
"Zam, lo gak usah..."
"Sya, please. Tungguin gue. Gue udah kehilangan lo sekali, jangan bikin itu dua kali."
Klik.
Telepon terputus.
Aku terdiam. Jantungku berdegup cepat, tak karuan. Tidak menyangka Azzam akan merespon candaanku seserius itu.
Matahari mulai naik perlahan, menyinari jendela bandara yang luas. Dan di antara orang-orang yang lalu lalang pagi itu, aku hanya bisa duduk menunggu.
Entah menunggu kedatangan seseorang yang kurindukan, atau menunggu seseorang yang mungkin ingin menahanku pergi.
Aku menatap layar ponselku yang gelap. Mati. Mungkin baterainya habis karena menanggung banyak pesan-pesan yang tidak kutanggapi sejak semalam.
Kupikir, aku butuh waktu sendiri. Makanya aku diam-diam datang ke bandara pagi-pagi begini. Bukan buat kabur. Bukan juga benar-benar ke Malaysia.
Sebenarnya, aku cuma mau menenangkan kepala. Lagipula kakakku, Kak Ruby yang kuliah di Malaysia akan pulang hari ini. Jadi hitung-hitung cari udara segar aja sambil menyambutnya.
Aku berdiri di depan toko kopi, menunggu pesanan. Dua ice latte. Satu buatku, satu lagi mungkin buat siapa pun yang bisa diajak ngobrol atau sekadar jadi alasan supaya aku gak terlihat kesepian.
Baru saja aku menghela napas, seseorang tiba-tiba menarik tubuhku ke dalam pelukan.
Deg.
Aku kaku.
Otakku berhenti. Badanku membeku. Untuk sesaat aku bahkan gak bisa merespons. Pelukannya hangat, erat, dan anehnya membuatku merasa aman.
"Azzam?" bisikku nyaris tak terdengar.
Ia gak langsung menjawab. Tapi aku bisa dengar napasnya yang masih berat, seolah habis lari jauh.
"Jangan pergi," katanya pelan tapi tegas.
Aku dorong tubuhnya pelan, dan menatap wajahnya yang memerah karena kecapekan. Tanpa sadar aku tertawa kecil.
"Apaan sih lo?" aku mendorongnya sedikit mundur. "Kan gue bercanda. Siapa juga yang mau ke Malaysia?"
Azzam mengerutkan kening. "Terus tadi kenapa bilangnya gitu?"
"Biar lo gak ganggu gue," jawabku cepat. "Eh, malah lo nyusulin ke sini segala. Padahal gue tadi mau bilang gue cuma bercanda, tapi lo udah matiin telepon duluan. Untung sampe ke sini. Lah kalo gue ke rumah sakit gimana?"
Azzam melipat tangan, nadanya lebih tenang tapi matanya masih belum lepas dari wajahku. "HP lo kok mati?"
"Ya abis baterai."
"Terus lo ngapain ke bandara pagi-pagi?"
Aku menghela napas. "Tadinya mau menyambut kepulangan kakak gue. Dia baru pulang dari Malaysia."
"Tadinya?" alisnya terangkat. "Kenapa gak jadi?"
Belum sempat kujawab, suara barista memanggil, "Atas nama Tisya, dua ice latte!"
Aku berjalan ke konter dan mengambil kopi pesanan. Saat kembali, Azzam masih berdiri di tempat yang sama, menatapku seperti seseorang yang baru saja menarik napas lega setelah hampir kehilangan sesuatu yang penting.
"Udah, yuk. Anter gue pulang," kataku sambil menyerahkan satu cup ke tangannya.
Kami berjalan berdampingan menuju pintu keluar. Dan untuk pertama kalinya setelah hari-hari berat itu, aku merasa langkahku ringan. Azzam tak berkata apa-apa, tapi keberadaannya di sisiku dan pelukan tadi cukup jadi jawaban bahwa sesuatu sedang berubah.
Di atas motor, angin pagi menyapu wajahku lembut. Kota belum terlalu ramai. Tapi bukan itu yang mencuri perhatianku, melainkan suara Azzam yang mulai mengomel dari balik helm.
"Puas gak, Sya, ngerjain gue pagi-pagi? Jantung gue serasa mau copot, tau gak?"
Aku tertawa kecil. "Hahaha, iya, iya, maaf. Gue gak nyangka lo bakal panik segitunya."
"Panik? Panik itu mah udah level minimal. Tadi gue sempet mikir lo beneran cabut ke Malaysia! Padahal..." suaranya merendah, "tadi gue niat mau ngajak lo jogging, biar otak lo fresh dikit. Udah gue rencanain dari semalem."
Aku makin ngakak. "Jogging? Pagi-pagi begini? Lo kira gue atlet nasional? Mending tidur sih."
"Bukan. Tapi lo keliatannya butuh detoks emosi. Jogging bisa bantu, tau."
Aku menepuk bahunya pelan dari belakang. "Makasi ya, Dokter Azzam."
Ia mendengus. "Iya, ketawa terus lo. Gue serius loh tadi lari-lari di bandara kayak orang gila. Malu gak sih, cowok keren lari-lari ngejar cewek yang bahkan gak beneran mau pergi?"
Aku menyengir. "Lo sesayang itu ya sama sahabat lo ini? Takut banget gue tinggalin?"
"Idih," suaranya langsung naik satu oktaf. "Ngga lah."
"Ohh..." aku mengangguk pelan, pura-pura kecewa. "Kirain."
"Kirain apa?" katanya curiga.
"Kirain lo bakal ngaku kalau lo ngerasa kehilangan."
Azzam mendecak pelan. "Ngga la."
Aku terdiam sesaat, senyumku mengembang di balik helm. Aku tahu dia malu kalau jujur takut kehilanganku.
Kini motor Azzam berhenti perlahan di depan pagar rumahku. Kami belum turun, tapi aku langsung bisa merasakan hawa tak nyaman dari taman kecil di sisi kanan. Di sana, Nizan sedang duduk di bangku panjang dengan posisi membungkuk, siku bertumpu di lutut, wajahnya tertunduk.
Aku langsung menegang.
Azzam ikut menoleh ke arah yang sama. "Itu Nizan, kan?"
Aku mengangguk pelan.
Azzam menghela napas berat, lalu melepaskan helmnya, menaruhnya di setang motor. "Gue ikut turun."
Refleks aku menahan lengannya. "Zam, jangan."
"Lo yakin?" nada suaranya tegas. "Gue gak percaya sama dia. Gue temenin."
"Zam," potongku lembut, menatap matanya. "Tolong. Jangan bikin suasana makin gak enak. Biar gue yang ngobrol sama dia. Sendiri."
Azzam masih tampak ragu. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Matanya berpindah dari wajahku ke arah Nizan, lalu kembali lagi ke aku. "Gue gak bisa ninggalin lo gini. Gue tunggu disini deh."
Aku menggeleng. "Gue akan baik-baik aja, Azzam. Lagian ini rumah gue. Nizan gak mungkin bisa macam-macam. Dia cuma mau ngobrol."
Hening sebentar. Azzam menatapku lama. Seakan menimbang, masih tak rela.
Akhirnya, dengan berat hati, ia menyalakan kembali motornya.
"Tapi janji, lo kabarin gue langsung setelah lo selesai. Kalau lo lama gak ngabarin, gue balik lagi kesini," katanya serius.
Aku mengangguk. "Oke. Makasih, ya."
Sebelum melaju, Azzam menatapku sekali lagi. "Hati-hati, Tisya. Jangan biarin dia bikin lo goyah lagi. Jangan lupa yang dia lakuin dibelakang lo."
Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Azzam pun melaju, suara knalpot motornya perlahan memudar di kejauhan. Aku berdiri di depan pagar, menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke halaman rumah.
Kini, tinggal aku dan Nizan.
Ia masih belum menoleh ke arahku. Tapi aku tahu, dari tadi dia memperhatikan.
Angin bergerak pelan. Daun-daun jatuh berguguran di sekitar kaki kami. Dan untuk pertama kalinya sejak semua drama itu meledak, aku merasa ini akan jadi pembicaraan paling penting di antara kami. Dan mungkin juga yang terakhir.