Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.
Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.
Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nafas yang Tertahan di Tengah Hasrat
Kalista berdiri di depan cermin panjang di kamar apartemennya, mengenakan kemeja Arga yang jatuh longgar di tubuh mungilnya. Rambutnya digelung asal, dan wajahnya tanpa riasan. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, kecantikannya terlihat paling nyata. Arga memperhatikannya dari balik tempat tidur, matanya tak berkedip.
“Mau kamu apain aku malam ini?” tanya Kalista, tanpa menoleh.
Arga turun dari ranjang, mendekatinya perlahan. Ia merangkul Kalista dari belakang, dagunya menyentuh bahu telanjang gadis itu.
“Cuma mau mengingatkan kamu...” bisiknya, “...kalau kamu milik aku.”
Kalista membalas rangkulan itu, lalu berbalik. Mata mereka bertemu. Tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi kepura-puraan.
“Kalau aku milik kamu,” ucap Kalista pelan, “kenapa rasanya aku yang paling takut kehilangan?”
Arga menghela napas. “Karena kita masih di tempat yang salah. Di waktu yang salah.”
Kalista memejamkan mata, lalu mencium bibir Arga perlahan. Ciuman yang tak hanya berisi gairah, tapi ketakutan. Sebuah perasaan bahwa waktu mereka bisa habis kapan saja.
Malam itu, mereka tak langsung melompat ke dalam pelukan panas. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Mereka lebih banyak diam, saling membelai, saling memperhatikan tiap inci tubuh yang mulai hafal satu sama lain. Nafas mereka tertahan, bukan karena terburu-buru, tapi karena mencoba menahan hasrat yang meledak perlahan, seperti bara yang terus dijaga agar tak membakar terlalu cepat.
Arga menarik Kalista ke atas ranjang, membaringkannya perlahan. Kemeja yang dikenakan Kalista terbuka setengah, menampakkan kulit lembut yang menggoda. Tapi Arga tak terburu-buru. Ia memeluk tubuh Kalista dengan lembut, seolah mencoba mengabadikan momen itu.
“Kamu tahu,” kata Arga pelan, “kalau ini malam terakhir kita... aku akan tetap bersyukur pernah punya kamu.”
Kalista menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Jangan ngomong kayak gitu... Aku nggak mau ini berakhir.”
Arga menempelkan bibirnya ke kening Kalista. “Tapi dunia mungkin nggak akan terus biarkan kita sembunyi, Kal.”
Kalista menggenggam tangan Arga, membawanya ke dadanya yang berdetak cepat. “Kalau dunia melawan, kita sembunyi lebih dalam lagi.”
Mereka tertawa kecil, lalu sunyi kembali menyelimuti. Yang terdengar hanya detak jantung, tarikan napas berat, dan gesekan lembut kain di atas seprai. Malam itu bukan hanya tentang tubuh, tapi tentang keyakinan. Bahwa cinta yang salah bisa terasa seindah ini.
Mereka menyatu, bukan karena pelarian, tapi karena keberanian. Setiap sentuhan menjadi janji, setiap ciuman menjadi perlawanan terhadap dunia yang menuntut mereka untuk berpisah.
Dan di sela-sela hasrat itu, ketika tubuh mereka saling menyatu dalam gerakan lambat dan penuh makna, Arga berbisik di telinga Kalista:
“Kita mulai sesuatu yang berbahaya, Kal. Tapi aku nggak akan pernah lari.”
Kalista menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara bergetar, “Kalau kita jatuh... aku mau jatuh bareng kamu.”
Dan malam pun terus bergulir, membawa mereka pada pelukan panjang yang hangat, di tengah dunia yang dingin dan penuh penghakiman.
Pagi menyapa lewat cahaya matahari yang menelusup malu-malu dari celah tirai. Kalista masih tertidur di pelukan Arga, wajahnya begitu damai, kontras dengan beban yang mereka tanggung bersama. Arga tak bergeming. Ia hanya memandangi wajah Kalista, menelusuri garis halus di pelipis dan lekuk bibirnya yang sedikit terbuka.
Tangannya perlahan menyapu rambut Kalista, mencium ubun-ubunnya dengan penuh kelembutan. Ia tahu, dunia luar akan segera mengetuk mereka kembali. Tapi detik-detik seperti ini di mana hanya ada mereka dan keheningan begitu berharga.
Kalista bergerak pelan, kelopak matanya terbuka perlahan. Tatapan pertama yang ia lihat adalah wajah Arga yang penuh sayang. Senyum kecil terbit di bibirnya.
“Aku mimpi buruk tadi malam,” gumamnya.
“Kenapa?” tanya Arga sambil menyentuh pipinya.
“Aku mimpi pamanku tahu hubungan kita... dan kamu dipukuli sampai berdarah.”
Arga menghela napas, mencoba menenangkan. “Itu cuma mimpi. Kita masih aman.”
Kalista duduk perlahan di ranjang, menarik kemeja Arga yang masih ia kenakan semalam. “Tapi mimpi itu terasa nyata banget. Aku takut.”
Arga meraih tangan Kalista, menggenggam erat. “Kalau semua ini terbongkar, aku akan tanggung jawab. Aku nggak akan biarin kamu sendirian.”
Kalista menatapnya tajam, lalu menggigit bibirnya. “Tapi kamu belum tahu siapa pamanku yang sebenarnya, Ga. Dia bukan orang sembarangan. Kalau dia mau, dia bisa menghancurkan hidup siapa pun.”
Arga mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan sekarang aku juga tahu kenapa kamu begitu ragu waktu kita pertama kali ketemu. Tapi perasaan ini, Kal... perasaan yang kita punya, bukan sesuatu yang bisa aku buang begitu aja.”
Kalista memeluk Arga dari samping, kepalanya bersandar di dada pria itu. “Aku juga nggak bisa lepas dari kamu. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam ketakutan.”
Keheningan kembali mengisi kamar. Hanya napas mereka yang terdengar, berat dan tak stabil. Hasrat semalam masih menggantung di udara, membekas di kulit, di ranjang, dan di hati mereka masing-masing.
Kalista menoleh, matanya kembali menyala. “Ga... aku mau satu hal.”
“Apa?”
“Kalau suatu saat nanti kita beneran nggak bisa bareng, kamu jangan simpan dendam ya. Jangan benci aku.”
Arga mengernyit. “Jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak akan pernah benci kamu.”
“Aku cuma takut kehilangan. Dan biasanya, rasa takut itu datang pas cinta lagi besar-besarnya.”
Arga mengusap punggung Kalista, mencoba menenangkan gejolak yang mulai membuncah di dada gadis itu. “Aku juga takut. Tapi bukankah ketakutan itu jadi bukti kalau kita beneran cinta?”
Kalista tersenyum samar. Ia menunduk, lalu mengecup dada Arga dengan perlahan. “Aku nggak pernah cinta sedalam ini sebelumnya.”
Arga memeluknya erat, seolah ingin menyalurkan semua rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Nafas mereka kembali beradu, hangat, bergetar. Hasrat mulai tumbuh lagi, meski masih dibalut keraguan dan rasa bersalah.
Mereka jatuh dalam ciuman, lebih dalam dari sebelumnya. Tak terburu-buru, tak terlalu liar, hanya cukup untuk meyakinkan satu sama lain bahwa mereka masih di sisi yang sama. Di tengah ketidakpastian, tubuh menjadi bahasa yang paling jujur.
Ketika Kalista kembali rebah di bawah Arga, dia berbisik, “Peluk aku sampai dunia nggak ada lagi.”
Dan Arga menjawab, “Aku akan peluk kamu... bahkan ketika dunia menolak kita.”
Hari mulai berjalan lebih cepat dari biasanya. Setelah sarapan seadanya yang mereka siapkan bersama di dapur kecil apartemen Arga, Kalista bersiap pulang. Ia tahu terlalu lama berada di sana hanya akan memperbesar kemungkinan rahasia mereka terbongkar.
Arga berdiri di ambang pintu, menatap Kalista yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin kecil. Sinar matahari yang menerobos jendela membuat kulit gadis itu terlihat bercahaya, seolah waktu pagi itu melambat hanya untuk mengabadikan keindahannya.
“Aku anterin,” kata Arga tiba-tiba.
Kalista menoleh dan menggeleng. “Enggak usah. Kalau ada yang lihat, bisa bahaya.”
“Tapi kamu naik taksi sendirian juga nggak aman.”
Kalista tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat dan merapikan kerah kaus Arga. “Aku bisa jaga diri. Lagian ini bukan pertama kali aku... pergi dari tempat seseorang yang enggak seharusnya aku datangi.”
Kalimat itu menampar Arga dalam diam. Kalista membaca ekspresi itu dan buru-buru menggenggam tangannya.
“Maksudku, kamu beda, Ga. Sama kamu, aku ngerasa... lebih dari sekadar pelarian.”
Arga menarik napas dalam. “Aku pengen kamu tahu, mulai hari ini... kamu enggak harus jadi simpanan siapa-siapa lagi.”
Kalista terpaku.
“Aku serius,” lanjut Arga. “Kalau kamu mau, kita pergi dari kota ini. Mulai dari nol. Nggak usah mikirin paman aku, atau siapa pun. Aku kerja apa aja, asal kita bisa bareng.”
Kalista tampak ragu. Matanya berkaca-kaca, tetapi juga menyimpan ketakutan yang jelas.
“Kalau kita kabur, Ga, hidup kita nggak akan tenang. Dia bisa cari kita ke mana aja. Kamu belum tahu siapa pamanmu sebenarnya.”
Arga mengangkat dagunya, tegas. “Berarti aku harus kenal lebih jauh siapa dia. Biar aku tahu apa yang kita lawan.”
Kalista menyentuh wajah Arga dengan lembut, lalu mengecupnya singkat. “Kamu terlalu berani.”
“Karena aku takut kehilangan kamu.”
Mereka saling menatap lama, lalu Kalista melepaskan genggaman tangan Arga perlahan. “Aku harus pergi.”
Arga mengangguk, meski dadanya terasa berat.
Begitu pintu tertutup, kesunyian langsung menelannya. Arga duduk kembali di ranjang yang masih berantakan, memandangi seprei kusut dan bekas tubuh mereka yang masih terasa hangat. Ada perasaan hampa yang menyelinap, bercampur dengan bara yang belum padam.
Ia tahu, perasaan ini bukan sekadar nafsu. Setiap sentuhan, setiap pelukan, bahkan setiap pertengkaran kecil, semuanya membentuk sesuatu yang tak bisa ia tolak: cinta. Tapi cinta yang mereka jalani ini seperti berjalan di tepi jurang.
Ponselnya berdering. Nama di layar membuat jantungnya berdetak lebih keras.
Paman Arman.
Dengan ragu, Arga menjawab.
“Halo, Paman?”
“Arga, bisa ke rumah malam ini? Ada hal penting yang perlu kita bahas.”
Arga terdiam sesaat. “Tentang apa, Paman?”
“Ada hal yang perlu kamu tahu soal... Kalista.”
Darah Arga seolah berhenti mengalir. Ia memaksakan senyum dalam suaranya.
“Baik, nanti malam saya ke sana.”
Panggilan berakhir. Arga terduduk lemas. Kalista belum tahu soal ini. Belum tahu kalau mereka mungkin telah terlambat.
Dan malam nanti, mungkin akan jadi malam penentu antara cinta... atau kehancuran.