NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:646
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 FESTIVAL KEMBANG API

Malam telah menyelimuti Calligo. Zia berbaring di tempat tidur, ponselnya tergenggam di satu tangan. Hari ini ia habiskan berada dikamar, perutnya pun sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan tak menyalakan televisi—sunyi terasa lebih nyaman malam ini. Tapi scroll-nya berhenti pada satu tautan berita yang membuat alisnya berkerut.

"Bocoran Sistem Canggih Kairotek: Kamera AI Bisa Mengenali Wajah Meski Gunakan Masker & Topi"

Ia menekan berita itu.

Kairotek, perusahaan teknologi milik pengusaha muda Viren Kaeshiro, dilaporkan tengah mengembangkan sistem pengawasan berbasis AI bernama SPEKTRA. Prototipe sistem ini kabarnya bocor ke publik awal pekan ini. SPEKTRA diklaim mampu membaca struktur wajah manusia secara mendalam bahkan dengan penghalang visual seperti masker, kacamata, dan topi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah pengamat HAM soal pelanggaran privasi di ruang publik…

Zia membacanya pelan, lalu tiba-tiba tertegun.

Matanya kembali menatap bagian kalimat itu: “Perusahaan teknologi milik pengusaha muda Viren Kaeshiro... ”

Napasnya membeku sejenak.

“Apa?”

Ia menggulir cepat ke atas, memastikan ia tidak salah baca.

“Viren Kaeshiro… Viren? dia? pendiri Kairotek?”

Kepalanya mundur perlahan ke sandaran tempat tidur. Wajahnya penuh bingung dan sedikit ketakutan.

“Dia pendirinya? Dia yang menciptakan semua ini?”

Zia merasa seolah baru membaca ulang lembar hidup seseorang yang selama ini ia anggap asing—dan semakin asing saja.

"Kenapa aku baru tahu? Kenapa ayah dan bibi tidak memberitahuku tentang semua ini?"

Tangannya menggeser layar ke bawah, membuka lebih banyak artikel. Di sana terpampang foto resmi Viren dalam balutan jas abu gelap, wajahnya kaku seperti yang ia lihat setiap pagi… hanya saja, kini ribuan mata di dunia juga melihat wajah itu—bukan sebagai suami Zia, melainkan sebagai otak utama sistem pengawasan terbesar dekade ini.

Zia menelan ludah.

“Jadi selama ini… aku tinggal satu atap dengan seseorang yang sedang membangun dunia yang bisa mengawasi setiap orang... bahkan aku sendiri?”

Ponselnya jatuh ke samping. Ia mengangkat lutut, memeluknya erat.

“Kalau aku ini istrinya... kenapa aku tak tahu apa-apa?”

Lalu pikirannya kembali pada Giin.Ia belum membalas pesannya. Jari-jarinya mulai mengetik: “Besok, jam berapa?”

Dikirim.

Zia mengembuskan napas perlahan. Ia tahu, hidupnya kini seperti berdiri di tengah dua dunia. Satu dunia penuh kue, tepung, dan mimpi kecil…

Dan satu lagi, penuh kamera tersembunyi, kode rahasia, dan pria yang memegang kendali lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

“Kau menciptakan dunia yang bisa melihat segalanya, Viren…”

“Tapi kenapa aku merasa kau sendiri yang paling sulit untuk kulihat?”

Zia menarik selimut hingga ke dagunya, tubuhnya meringkuk di tengah ranjang luas yang terasa terlalu dingin dan asing. Pikirannya masih berkeliaran, enggan diam. Berita tentang kebocoran proyek Kairotek menyebar di seluruh media, dan dari layar ponselnya, ia membaca sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti.

Gelisah, Zia menoleh ke sudut ruangan. Apakah ia sedang diawasi? Apakah Viren tahu dirinya membaca semua ini? Tapi ia tak melihat kamera, tak ada alat apapun yang mencurigakan—hanya dinding putih dan lampu temaram.

“Bahkan dunia pun sulit mengendalikannya...” bisiknya.

Dering notifikasi memecah keheningan. Zia menarik ponselnya, satu pesan masuk dari Giin:

^^^"Jam 6 sore,^^^

^^^bisa?"^^^

Ia mengetik balasan singkat:

"Bisa."

Kemudian ia menyimpan ponselnya, menatap langit-langit. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikirannya—tentang Alin, tentang pernikahan ini, dan terutama tentang siapa sebenarnya pria bernama Viren Kaeshiro.

“Aku bahkan tidak tahu berapa usianya…” gumamnya lirih.

Zia menghela napas panjang, memejamkan mata. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan bernapas pelan, berulang-ulang. Lalu, tubuhnya bergeser ke sisi tempat tidur, menghadap ke arah pintu. Pelan-pelan, kantuk akhirnya menyergap.

Beberapa jam berlalu.

Tepat pukul sepuluh malam, sebuah mobil hitam melintasi halaman depan Calligo dan berhenti dengan tenang. Pintu mobil terbuka, langkah kaki berat menjejak pelataran marmer. Viren turun lebih dulu, diikuti Jake.

Pria itu mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku. Rambutnya sedikit acak, wajahnya letih namun tetap tajam.

Mereka masuk ke dalam rumah yang sunyi. Udara malam di Calligo selalu dingin, terlalu sunyi untuk disebut rumah.

“Selamat istirahat, Tuan,” ucap Jake.

“Kau juga,” jawab Viren tanpa menoleh.

Mereka berpisah. Jake menuju koridor bawah, sementara Viren menaiki tangga, langkahnya tenang tapi berat.

Pintu kamar dibuka perlahan. Cahaya dari luar menerobos masuk, menyapu wajah Zia yang sedang tertidur. Wajah itu terlihat lelah dan pucat, seolah hari ini terlalu panjang baginya.

Zia menggeliat kecil, terpapar cahaya lampu koridor.

Viren diam sejenak. Lalu ia melangkah masuk dan berdiri di antara cahaya dan Zia, membiarkan tubuhnya menjadi penghalang agar cahaya tak mengganggunya lagi.

Ia memperhatikan wajah itu. Wajah seseorang yang ia nikahi, tapi tidak ia kenali.

Beberapa detik kemudian, ia masuk sepenuhnya dan menutup pintu. Sepatunya dilepas, diletakkan rapi di tepi kursi. Langkahnya pelan menuju kamar mandi. Ia ingin mencuci keringat, mencuci lelah, dan membersihkan sisa dunia luar yang lengket di tubuhnya.

Pagi berikutnya...

Zia membuka matanya perlahan. Jam menunjukkan pukul enam pagi. Udara kamar masih dingin, sisa dari malam sebelumnya yang terlalu tenang. Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang, dan merenggangkan tubuhnya sebentar sebelum berjalan pelan menuju kamar mandi.

“Huaa…” gumamnya, menutup mulut sambil menguap. Tangannya mengucek mata yang masih berat. Sakit di perutnya sudah membaik.

Ia membuka pintu kamar mandi tanpa berpikir panjang—dan brughh... hampir saja ia terjatuh ke lantai. Namun sebelum tubuhnya menyentuh ubin, sebuah tangan sigap menarik pergelangannya.

Zia terperangah. Matanya langsung bertemu dengan tatapan yang sangat ia kenal: Viren.

Rambut pria itu masih basah, air menetes perlahan melewati rahang dan jatuh ke wajah Zia, membuatnya memejamkan mata sejenak. Nafas mereka saling bertabrakan, dan suasana menjadi canggung dalam sekejap.

“Maaf… aku tidak tahu kau ada di dalam,” ucap Zia cepat, gugup.

Ia mengucek matanya yang basah, lalu membuka kembali pandangannya. Tatapannya berhenti di dada Viren yang terbuka—kulit putih bersih, bahu lebar, dan napas yang masih sedikit berat dari uap mandi. Baru kali ini ia melihat pria itu dalam keadaan... biasa. Tanpa jas, tanpa jarak.

Viren mengangkat satu alis. “Kenapa?”

Zia tersentak, buru-buru menggeleng. “Tidak apa-apa!” jawabnya cepat. Ia segera menarik diri dan masuk ke dalam kamar mandi, menutup pintunya dengan sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.

Di dalam, Zia memegang dada, mencoba menenangkan napasnya yang tak beraturan.

“Baru kali ini aku melihatnya… terlihat seperti manusia normal.” bisiknya pada diri sendiri.

Lalu ia menatap cermin. Pipi Zia sudah memerah.

“Apa yang kupikirkan...” gerutunya pelan, menepuk wajahnya dengan kedua tangan.

Langit sudah terang ketika Zia berjalan keluar dari kamar mandi. Sepi tetap menyelimuti ruangan itu bersama aroma maskulin yang samar-samar memenuhi udara. Zia mengeringkan rambutnya di depan cermin, lalu mengenakan sedikit polesan lipstik tipis di bibirnya. Setelah selesai bersiap, ia keluar mengenakan rok hitam di atas lutut dan atasan senada. Rambutnya digerai rapi dengan bando putih sebagai aksen sederhana.

Langkah kakinya terdengar ringan ketika ia menuruni tangga menuju dapur. Di sana, Viren sudah duduk dengan pakaian santai berwarna cokelat tua, menikmati secangkir kopi sambil menatap layar tablet di tangannya.

Zia menarik kursi dan duduk di seberangnya. Ia meraih gelas berisi susu hangat dan menyesapnya perlahan, lalu mengambil sepotong roti.

"Anu... Emi, apakah ada selai lain?" tanyanya ketika hanya menemukan selai kacang di atas meja.

"Sebentar, nona," jawab Emi, lalu berjalan ke dapur.

Tak lama ia kembali. "Maaf, nona. Selai yang lainnya sudah kedaluwarsa," jelas Emi.

"Yasudah, tidak apa-apa," ucap Zia.

"Makan saja yang ada. Nanti baru kita beli lagi," ujar Viren tanpa menoleh.

Zia menatapnya, sedikit tak percaya. "Kau menyuruhku bunuh diri?"

Viren mengangkat alis, menatapnya langsung. "Kau alergi kacang?"

"Ya," jawab Zia sambil menggigit roti tanpa selai.

Sambil menguyah Ia mencuri pandang pada Viren, dan mendadak teringat insiden pagi tadi. Pipinya sedikit panas.

"Kenapa?" tanya Viren, menyadari tatapan Zia.

"Aku hanya penasaran... berapa usiamu?"

"Tiga puluh," jawabnya singkat.

"Apa? Kau sangat tua dari dugaanku," ucap Zia terkejut. Dalam batinnya, ia menebak bahwa pria itu masih dua puluhan.

"Kau saja yang masih anak-anak."

"Memang. Aku masih dua puluh tiga. Dan seharusnya, hidupku masih panjang dan menyenangkan. Bukan terkurung dalam istana ini," gumamnya sambil menatap meja.

Viren menghentikan aktivitasnya. Tatapan matanya dingin. Zia langsung merasa bersalah, menyadari ucapannya menyinggung.

"Kau mau ke mana?" tanyanya setelah beberapa saat.

"Oh... aku akan ke kafe. Lalu pergi bersama teman-teman."

"Manuel akan mengantarmu," ujarnya tegas.

Zia hanya mengangguk patuh.

Hari Sabtu selalu membawa nuansa berbeda di kafe kecil milik Zia. Sejak pukul sembilan pagi, suasana mulai ramai. Aroma kopi dan roti manis menguar, membuat pelanggan betah berlama-lama. Zia mengenakan apron krem, rambutnya dikuncir rapi. Senyum tipisnya menyapa setiap pelanggan yang datang.

Ami membantu di dapur, sesekali bersenandung. Mereka bekerja seperti biasa, tapi Zia merasa ada yang berbeda. Mungkin karena percakapannya dengan Viren pagi tadi, atau mungkin karena pesan dari Giin yang masih terngiang.

Menjelang sore, langit mulai berubah warna. Pukul lima lewat tiga puluh, bel kafe berbunyi. Giin datang dengan mantel panjang dan senyum hangat. "Siap?"

Zia mengangguk. Ia melepas apron dan mengambil tas kecil. "Ami, tolong tutup lebih awal, ya."

"Selamat bersenang-senang!" sahut Ami sambil menyapu meja.

~Malam Festival~

Jalanan kota berubah menjadi lautan cahaya. Lampion warna-warni menggantung, kios makanan berjejer, dan musik akustik mengalun di taman kota. Zia mengenakan coat dan rok sepaha dengan warna gelap, tapi wajahnya bersinar diterangi lentera kertas.

Giin membelikannya es krim rasa mangga. Mereka tertawa kecil, menikmati suasana, menyaksikan anak-anak berlarian membawa kembang api.

Saat musik dimainkan, Zia duduk di bangku taman, memejamkan mata sejenak. Angin malam menyapu rambutnya. Dentuman pelan terdengar.

BOOM.

Kembang api pertama mekar di langit, biru dan merah. Zia menengadah, matanya membulat takjub.

"Aku ingat kau selalu suka kembang api," ucap Giin.

"Karena hanya kembang api yang bisa meledak dan tetap indah," balas Zia pelan.

Cahaya emas menyapu langit, disusul ungu dan perak. Segala kekusutan dalam hati Zia perlahan mengendur. Malam itu, ia merasa bebas dan bahagia.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika Zia tiba Kafe Ollano—Kafe miliknya.

Zia turun dari motor. Giin menawarkan untuk mengantar sampai rumah, tapi Zia menolak. Ia bilang akan mampir ke kafe untuk mengambil sesuatu baru pulang. Setelah mobil Giin berlalu, ia berjalan sendiri menuju rumah ayahnya.

Begitu tiba di depan gerbang hitam tinggi, Zia menarik nafas dalam dan masuk. Lampu kuning menyala di halaman, memberi kesan hangat yang begitu berbeda dari Calligo. Ia baru menyadari, meski kecil, rumah ini jauh lebih manusiawi.

"Zia..." panggil suara yang familiar.

Zia menoleh, lalu menghampiri Alex. "Selamat malam, ayah." Sapanya.

Mereka duduk di teras. Zia menceritakan hari-harinya. Alex mendengarkan sambil meminum kopinya sesekali, kemudian berkata, "Kau tau, dulu kau juga asing denganku. Tapi semakin sering kita bersama, semakin kuat ikatannya. Sama seperti nanti kau dan Viren."

Zia tertawa getir. "Dia? Rasanya aku hidup dengan robot yang sudah disetting."

"Zia... kau belum tau. Hubungan dibentuk bukan karena kedekatan fisik saja, tapi waktu. Percaya saja."

Tiba-tiba, bel berbunyi.

Zia membuka gerbang. Sosok tinggi dengan coat panjang berdiri di baliknya—Viren.

"Kau..."

"Aku hanya menjemputmu pulang."

"Tunggu, aku belum berpamitan—"

Tapi Viren sudah menarik lengannya.

"Ayah, sampaikan salamku pada Bibi juga, ya!" teriak Zia.

"Kau kenapa tiba-tiba muncul?!" Zia meronta.

"Kau mungkin lupa jalan pulang," sahut Viren tajam.

"Cih. Aku ingin menginap di rumah ayah!"

Mereka kini berdiri di samping mobil. Jarak tinggi tubuh mereka kontras, Zia hanya sampai dada Viren.

"Aku tidak mau ikut denganmu."

Mereka saling menatap dalam diam. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan, sepasang mata mengawasi dan bersiap mengabadikan momen langka itu.

Di Dalam Mobil

Zia duduk di kursi penumpang dengan tubuh kaku. Tangannya menekap tas kecil di pangkuannya, sementara pandangannya tertuju lurus ke depan. Suara mesin mobil menyapu hening yang kaku di antara mereka.

Viren mengemudi dalam diam. Wajahnya tanpa ekspresi, mata tetap fokus pada jalanan malam yang sepi.

Zia sesekali melirik ke arahnya, lalu cepat-cepat menunduk. Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang, bukan karena takut—tapi karena kebingungan.

Ini pertama kalinya mereka berada dalam satu mobil. Berdua. Tanpa pengawal. Tanpa jeda.

"Terima kasih... sudah memaksaku pulang," ucap Zia pelan, sedikit menyindir.

Viren hanya mengangguk, tak menjawab. Tapi jemarinya mengetuk perlahan setir mobil, seolah menyiratkan bahwa ia mendengar.

Zia menunduk lagi. "Tapi kau terlalu tiba-tiba. Aku belum sempat bicara apa pun pada Ayah."

"Kau bisa meneleponnya besok," jawab Viren singkat.

Suasana kembali senyap. Lampu-lampu jalan melewati wajah Zia dalam kilatan, memperjelas raut mukanya yang mulai letih.

Ia bersandar pada jendela, menghela napas panjang. Dalam batinnya, ia bertanya-tanya... apakah ini akan selalu seperti ini? Dingin, kikuk, dan penuh tanda tanya?

Namun saat ia melirik Viren sekali lagi, entah kenapa... ada bagian kecil dari dirinya yang merasa tenang.

Meski ia tak mengerti pria itu—entah kenapa, ia merasa aman.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!