NovelToon NovelToon
Azizah Dikira Miskin

Azizah Dikira Miskin

Status: sedang berlangsung
Genre:Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:19.2k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 kehidupan aziza setelah keluar dari rumah

Malam ini, Azizah tidur dengan tenang—untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Di sisinya, dua ART berjaga dengan penuh perhatian, sementara seorang bidan telah disiapkan oleh Cindy untuk memastikan kondisi Azizah tetap baik. Kamar tempatnya beristirahat bukan sembarang kamar; ruangan luas bak aula itu dilengkapi dengan peralatan medis darurat. Cindy benar-benar memastikan segalanya untuknya.

Keheningan malam ini terasa asing bagi Azizah. Tak ada suara pintu dibanting, tak ada teriakan mertua yang membangunkannya hanya untuk dibuatkan kopi atau dipaksa memijat tubuh tuanya. Tak ada ejekan Sari yang tajam seperti pisau, menyebutnya menantu bodoh, miskin, tak berguna—beban bagi suami. Bagi mereka, menantu yang tinggal di rumah hanyalah parasit, sementara menantu ideal adalah wanita karier yang kaya raya.

Tapi malam ini, tidak ada celaan. Tidak ada perintah. Tidak ada tangan yang menariknya dari tidur hanya untuk mengurus hal-hal sepele yang mereka bisa lakukan sendiri.

Yang ada hanya ketenangan.

Di tempat ini, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir, Azizah merasa dihargai.

Subuh menyapa dengan udara sejuk. Saat Azizah menggeliat hendak bangun, Rini yang berjaga segera mendekat.

“Nyonya, ada yang bisa saya bantu?”tanyanya lembut.

Azizah tersenyum kecil. “Saya mau ke kamar mandi, lalu shalat Subuh.”

“Baik, kami antar.”

Tanpa perlu diminta dua kali, Rina dengan sigap memapah Azizah menuju kamar mandi. Langkahnya pelan, tapi Azizah merasa ringan. Dirinya tidak lagi harus berjuang sendiri. Betapa kontrasnya perlakuan ini dibandingkan rumah mertuanya. Dulu, bahkan dengan perut buncit, ia tetap dipaksa mencuci baju, mengepel lantai, memasak, dan melakukan semua pekerjaan rumah. Lelah? Itu urusan belakangan. Mengeluh? Sama saja mencari mati.

Tapi pagi ini, ia tidak perlu mengeluh. Tidak perlu merasa sendirian.

Selesai dari kamar mandi, Azizah kembali ke kamarnya. Di sana, sajadah dan mukena sudah tersedia, seperti sudah dipersiapkan sejak tadi.

“Terima kasih,”ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca.

Selama tiga tahun terakhir, perhatian sekecil ini pun tak pernah ia rasakan. Bukan perhatian yang ia minta banyak, hanya sikap manusiawi. Ia dulu berharap mendapat suami sederhana, lelaki yang tidak silau harta, tapi ternyata kesederhanaan bukan soal berapa banyak uang yang dimiliki—melainkan bagaimana cara seseorang memperlakukan pasangannya.

Kesederhanaan ada dalam sikap, bukan kondisi hidup.

Azizah menutup doa terakhirnya, lalu dengan perlahan melepas mukena. Rina kembali sigap membantu, melipatnya dengan rapi sebelum menaruhnya di tempat semula. Azizah hendak berdiri, tapi tubuhnya masih terasa berat.

“Nyonya, minum air putih dulu,”ujar Susi, bidan yang berjaga khusus untuknya.

Azizah mengangguk, menerima segelas air yang diulurkan.

“Nyonya, ini susunya,”lanjut Susi.

Azizah meraih gelas berisi susu hangat itu, tapi tangannya sedikit gemetar. Begitu menyesapnya, ingatan itu kembali.

Di rumah mertuanya, setiap kali ia hendak meminum susu hamil, pasti ada celaan yang menyusul.

“Ngabisin duit aja.”

“Manja banget, ibu dulu hamil nggak minum susu masih kuat!”

“Anak dalam perut itu juga anak Raka, bukan anak kamu doang. Jangan mentang-mentang hamil mau enak sendiri!”

Hari itu, ketika omelan itu datang lagi, Azizah merasa cukup.

Dia tak bisa terus membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu.

Karena baginya, anak dalam kandungannya adalah segalanya. Dan dia akan melakukan apa pun untuk melindunginya.

Aziza diterapi oleh susi diajak berjalan jalan kecil dan sedikit senam ibu hamil, dan diskusi mengenai apa saja yang harus dipersiapkan menghadapi kelahiran, aziza sangat anatusias demi apapun hal ini saja yang ingin azizah lakukan tidak menuntut banyak dari raka tapi hal sederhana saja tidak bisa raka lakukan bukannya tidak mampu tapi raka tidak peduli, karena banyak yang tidak mampu tapi karena peduli sama istrinya dia melakukan berbagai upaya untuk menjaga istri yang sedang hamil

Siang itu, apartemen mewah tempat Azizah menginap dipenuhi suara riuh. Tawa dan obrolan menggema di setiap sudut, membawa kehangatan yang sudah lama tidak Azizah rasakan.

"Sayangggggg!"

Suara nyaring itu diikuti dengan tubuh yang menerjangnya dalam pelukan erat. Azizah nyaris kehilangan keseimbangan sebelum menyadari siapa yang memeluknya.

"Renata?"

Renata mengeratkan pelukannya, seolah tak ingin melepaskan. "Aku kangen banget, bodoh! Kenapa nggak kasih kabar kalau kamu di sini?"

Di belakangnya, Tiffany ikut tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Azizah... Kasihan kamu."

Azizah tertawa kecil. "Kenapa sih? Aku baik-baik saja."

Tiffany menggeleng. "Kamu selalu bilang baik-baik saja, padahal kita tahu kamu sudah terlalu banyak menahan semuanya sendiri."

Azizah hanya tersenyum, enggan berdebat.

"Iya, bu ustadzah," Renata menggoda dengan nada main-main.

Tiffany mendelik. "Eh, bisa ya nggak panggil aku begitu?!"

Mereka tertawa bersama. Siapa sangka dulu mereka hanyalah sekelompok perempuan yang hidup tanpa arah, jauh dari nilai agama? Tapi sejak bertemu dengan Azizah, semuanya berubah. Dia membawa mereka menemukan cahaya, membimbing mereka menuju hijrah. Sekarang, Tiffany sudah menikah dengan seorang dai ternama, sementara yang lain mantap dengan perubahan hidup mereka.

"Apa kabarmu, sayang?" Tiffany menggenggam tangan Azizah penuh kehangatan.

"Baik, ya ukhti," jawab Azizah, terkekeh kecil.

"Hadeh, biasa aja kali, beb," Tiffany mencibir.

Tiba-tiba Claudia menyela, melipat tangan di dada. "Serius, Zah, kenapa kamu nggak kasih kabar? Kalau si orang aneh itu nggak cerita, mana mungkin aku tahu!"

"Si orang aneh?" Azizah mengerutkan kening.

"Siapa lagi kalau bukan Cindy!" Claudia mendengus.

Mata Azizah berkeliling, baru menyadari sesuatu. "Oh iya, Cindy dari pagi belum kelihatan. Dia ke mana?"

Claudia tertawa pendek. "Pagi di Singapura, siang di Thailand, sore di Australia."

Azizah melongo. "Wow. Hebat banget dia sekarang."

"Hehe, bukan hebat, tapi menghindari ibunya."

"Hah? Kenapa?"

"Lagi dikejar-kejar pertanyaan kapan nikah. Pusing dia."

Azizah tertawa. "Ya ampun, padahal Cindy kan yang punya kriteria pasangan terpanjang seantero dunia. Wajar aja belum nemu!"

Obrolan mereka terus mengalir tanpa jeda. Azizah merasakan kehangatan yang hampir ia lupakan. Di sini, di tengah sahabat-sahabatnya, ia tidak sendirian.

 ..

Raka duduk di kursi empuknya, tapi entah kenapa tubuhnya terasa tidak nyaman. Biasanya, bekerja adalah pelariannya. Tapi sekarang, semua terasa berantakan. Tangannya memegang ponsel, menunggu—menunggu pesan, telepon, atau apapun dari Azizah. Tapi layar tetap kosong.

Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada permintaan maaf.

Kepalanya mulai panas. Dasar perempuan nggak tahu diri.

Sudah berjam-jam sejak dia bangun tanpa Azizah. Sudah setengah hari dia bertahan dengan sarapan yang tidak ada, baju yang tidak disiapkan, rumah yang berantakan. Sekarang, dia di kantor, tapi pikirannya tetap terganggu. Azizah yang membuatnya seperti ini. Azizah yang membuat hidupnya jadi kacau.

Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras.

"Kurang apa aku sebagai suami, hah? Aku yang bekerja. Aku yang menghidupi dia. Aku yang membayar semua kebutuhannya. Apa dia pikir rumah yang dia tinggali itu gratis? Apa dia pikir dia bisa hidup enak tanpa aku?"

Ponsel kembali dilirik. Masih kosong.

"Aku kasih dia uang dua juta sebulan, sudah lebih dari cukup. Mau apa lagi dia? Apa dia pikir aku mesin ATM?"

Tapi dia lupa sesuatu.

Lupa kalau dirinya sendiri sering memberikan uang jutaan ke Sari tanpa berpikir dua kali. Lupa kalau ibunya bisa meminta uang kapan saja, dan dia tidak pernah bilang “cukup.” Tapi kalau soal Azizah, kenapa dua juta sebulan seolah jadi pemberian terbesar di dunia?

Pintu kantornya diketuk.

"Pak Raka, ada Nyonya Sari di luar."

Sari? Raka menghela napas panjang. Pasti ada maunya.

"Suruh masuk."

Sari masuk dengan gaya khasnya—sok akrab, penuh kepentingan. Senyum lebarnya sudah menunjukkan niat busuknya.

"Hey, adikku yang tampan, kaya raya, sukses. Semoga kamu baik-baik saja hari ini~"katanya dengan suara dibuat-buat.

"Langsung saja, Kak. Mau apa?"Raka memijat pelipisnya.

Sari tertawa kecil. "Kok jutek? Aku cuma mau kasih kabar baik. Aku punya calon istri yang cocok buatmu."

Raka langsung mendelik. "Apa-apaan sih, Kak? Azizah sedang hamil anakku, dan Kakak malah nyodorin perempuan lain?"

Sari melipat tangan, matanya penuh sindiran. "Dan kamu masih peduli sama perempuan kampungan itu? Astaga, Raka. Sudah kubilang dari dulu, dia cuma beban."

Raka menghela napas kasar. "Aku harus mencarinya. Pulang kerja aku akan cari Azizah."

Sari tertawa sinis. "Buat apa? Biar dia sadar kalau tanpa kamu dia bukan siapa-siapa? Percayalah, dua hari lagi dia pasti pulang sendiri. Lagipula, kamu yakin dia masih hidup? Hahaha."

Raka merasakan ada sesuatu yang menusuk hatinya, tapi dia memilih mengabaikannya. "Kakak jangan ngomong sembarangan."

Sari mendekat, menatapnya dengan penuh tipu daya. "Dengar baik-baik, Raka. Aku mau kenalkan kamu dengan Susan. Dia anak Pak Warseno. Dan kamu tahu siapa Pak Warseno, kan?"

Mata Raka menyipit. Tentu saja dia tahu. Pak Warseno punya koneksi dengan Andi Pratama. Dan Andi Pratama…

Sari tersenyum melihat perubahan ekspresi adiknya. "Kalau kamu menikah dengan Susan, kamu bisa masuk ke lingkaran bisnis mereka. Hotel, SPBU, pabrik, ekspedisi... semuanya ada dalam genggamanmu, Raka."

Sebuah mimpi yang selama ini dia kejar. Sebuah ambisi yang selama ini dia dambakan.

Bisnis. Kekuasaan. Uang.

Dan semua itu bisa dia dapatkan.

Hanya dengan satu keputusan kecil.

Hanya dengan menyingkirkan Azizah.

Andai saja dia tahu…

Andai saja dia tahu bahwa Azizah bukan sekadar perempuan kampungan yang dia hina-hina…

Andai saja dia tahu bahwa Azizah adalah keponakan Andi Pratama…

Orang yang selama ini dia kagumi. Orang yang selama ini dia impikan untuk bekerja sama dengannya.

Tapi Raka terlalu sombong. Terlalu bodoh untuk menyadarinya.

1
hidagede1
bukan perbedaan wanita kaya atau wanita miskin, tapi keinginan menjadi seorang ibu, apakah mau atau tidak nya raka...
hidagede1
mata sumarni
hidagede1
menikahi susan kali ya?
hidagede1
bu jgn suka mimpi di siang bolong 🤪
SOPYAN KAMALGrab
jangan terlalu sempurna soalnya di indikasi novel di buat ai hehehe
hidagede1
maaf thor, mungkin posesif ya 🙏
Jumiah
lanjut thor yg panjang...trmks
hidagede1
depan altar? sebelum nya sama zizah?
hidagede1
banyak banget yang kaya gini, tetap menomor satu kan ibu walaupun sudah menikah, uang gaji yg pegang ibu, tp minya makan sama istri 🤦‍♀️
Rizky Sandy
kirain mantan istri yg datang,,,, kecewa
hidagede1
pengen tau gmna sikap nya bu sumarni kalo tau zizah anak dri anak pengusaha sukses seorang milyarder
hidagede1
Luar biasa
hidagede1
waktu zizah minta pembantu blng nya pemborosan, eee skrng dia minta prmbantu juga🤪
hidagede1
terbalik, kalo bukan zizah, raka bukan apa"😤
hidagede1
kalo bukan doa dan kontribusi seorang istri juga gak bakalan bisa sesukses ini bro...
hidagede1
laki" yg gak punya prinsip... mencla mencle😏
hidagede1
mmmh selembar sejuta? 🤔
Rizky Sandy
zizah g tau klau suaminya menikah lagi,,,,
Jumiah
Rommy cari tau dong kenapa azizah .
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu
Ma Em
Tuh kan Azizah nya tdk apapa kan kalian keluarga pratama dan Aditama malah adu kekuatan dan pamer kekayaan , kalian harus akur karena mungkin tdk lama lagi kalian akan jadi besan 🤭🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!