Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Racun
Sore itu langit di kampung mulai temaram, dan angin yang bertiup membawa debu-debu kecil serta bisik-bisik dari para tetangga yang tak pernah benar-benar diam. Raina duduk di bangku kayu di teras rumah pamannya, matanya tak lepas menatap ujung jalan tanah tempat mobil biasanya datang dan pergi. Hatinya penuh dengan harap, meski ia tak berani mengatakannya pada siapa pun—bahkan pada dirinya sendiri. Ia hanya ingin satu hal sederhana: Aditya datang menjemputnya. Bukan untuk drama, bukan untuk menunjukkan cinta, tapi cukup sebagai bentuk dukungan. Sebagai seorang suami. Sebagai seseorang yang bisa berdiri di sisinya di tengah tatapan-tatapan sinis dan pertanyaan-pertanyaan tajam yang tak pernah langsung diucapkan, tapi terasa di kulit seperti bara.
Dalam hatinya, Raina berharap, andai saja Aditya muncul—menyapanya dengan suara pelan dan membuka pintu mobil untuknya—setidaknya itu bisa membungkam mulut-mulut yang selama ini menganggapnya istri tanpa suami, perempuan yang ditinggalkan, rumah tangga yang “pasti ada masalah.” Ia tahu, penampilan bukan segalanya, tapi di kampung ini... keberadaan suami dalam acara keluarga lebih dari sekadar simbol. Itu harga diri. Itu pelindung. Itu jawaban dari seribu tanya yang tak perlu dijawab.
Tapi saat ponselnya berbunyi, bukan kabar kedatangan. Hanya pesan pendek dari Aditya—berbunyi datar, penuh alasan yang sudah terlalu sering ia dengar: “Maaf, aku nggak bisa nyusul. Ada pekerjaan mendadak.” Tidak ada nada penyesalan, tidak ada suara yang menenangkan. Hanya kalimat yang memupuskan harapan terakhirnya hari itu.
Raina menatap layar ponsel cukup lama sebelum memejamkan mata. Dadanya sesak, tapi ia tidak menangis. Bukan karena tidak sakit, tapi karena air matanya sudah sering jatuh untuk hal yang sama. Ia tahu, penolakan seperti ini bukan yang pertama. Tapi entah kenapa, hari ini... rasanya jauh lebih dingin. Lebih hampa.
Ia menyimpan ponsel itu ke dalam tas, lalu berdiri. Satu langkah kecil ia ambil untuk meninggalkan bangku tempat ia berharap. Langit mulai gelap. Dan Raina tahu, ia akan pulang sendiri lagi. Seperti biasa.
🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦
Aditya baru selesai membaca ulang pesan Raina untuk kesekian kalinya. Sudah hampir dua hari pesan itu terkubur di notifikasi yang tak ia hiraukan—padahal isinya tak lebih dari satu baris, tapi kini terasa seperti beban seberat dunia.
"Hari ini acara 40 hari ibu. Kalau mas sempat, aku ingin mas ikut. Tapi kalau nggak bisa, nggak apa-apa. Aku pulang sendiri."
Ada jeda panjang dalam dada Aditya saat ia menutup ponsel. Rasa bersalah menumpuk tanpa suara. Ia memejamkan mata sejenak, lalu mengambil kunci mobil. Ia sudah bertekad: hari ini ia akan menyusul Raina ke kampung, menebus ketidakhadirannya, sekecil apa pun maknanya.
Namun belum sempat ia keluar dari area parkir, sebuah telepon masuk. Dari rumah sakit.
"Larasati mengalami kecelakaan, Pak. Dia dalam perjalanan ke UGD." sebuah pesan yang dikirim oleh seseorang yang bayar untuk menjaga dan mengawasi Larasati dari jauh.
Dunia seolah terbelah dua. Aditya terpaku. Nafasnya tercekat. Ia segera berbelok menuju rumah sakit, dan selama perjalanan pikirannya seperti benang kusut—antara rasa panik pada Larasati, dan rasa bersalah yang menggantung ke Raina.
Di lobi rumah sakit, ia duduk diam. Darurat. Panik. Tapi satu pesan tetap harus ia kirim.
"Raina, maaf. Aku nggak bisa nyusul ke kampung. Ada urusan kerja mendadak yang harus aku tangani sendiri. Semoga acara ibumu lancar ya. Nanti aku telepon."
Sore harinya, di teras rumah Pak Kusno, Raina membaca pesan itu. Ia tidak langsung membalas. Lama ia pandangi layar ponsel, lalu disimpannya perlahan ke dalam tas.
Bibi di sebelahnya menoleh. “Suamimu belum bisa datang, Nak?”
Raina menggeleng kecil, senyum tipis di bibir, tapi matanya berkaca.
“Nggak bisa. Ada pekerjaan mendadak katanya.”
Suara itu pelan, tapi mengandung sesuatu yang lebih pedih daripada tangisan.
Dan malam itu, ketika Raina sudah kembali ke kamar kecilnya, ia akhirnya menulis balasan. Tapi bukan lagi dengan harap. Melainkan dengan luka yang pelan-pelan berubah menjadi batas.
"Tidak apa_acaranya sudah selesai dan berjalan lancar, mungkin aku akan menginap beberapa hari lagi di rumah paman, "
Di rumah sakit, Aditya membaca pesan itu setelah Larasati dinyatakan stabil. Tangannya gemetar saat menggulir kata-kata Raina. Tidak ada marah. Tidak ada sindiran. Tapi di situlah letak kehancurannya.
Karena saat seseorang tidak lagi marah, seringkali itu berarti... mereka sudah menyerah.
...----------------...
Ruangan rumah sakit itu sunyi, hanya suara mesin infus dan detak jam dinding yang terdengar samar. Larasati terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, tubuhnya nyeri di beberapa bagian, tapi yang paling ia sadari lebih dulu bukan rasa sakit—melainkan kehangatan yang asing namun sangat dikenalnya. Di sisi tempat tidurnya, duduklah Aditya, tertidur setengah duduk dengan tangan menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut. Cahaya dari lampu di pojok ruangan membuat garis wajah pria itu terlihat lebih tenang, namun ada letih di sorot matanya yang bahkan saat tertidur masih tampak gelisah.
Larasati tidak langsung bicara. Ia hanya memandangi sosok itu lama, seakan ingin menyerap keberadaannya sepenuhnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia merasa dijaga seperti ini? Aditya yang ia kenal dulu adalah pria yang penuh ketegasan, hampir dingin. Tapi saat ini, melihatnya duduk di sana, memilih menunda segalanya untuk menunggunya pulih—itu menumbuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar nostalgia. Harapan.
Pelan-pelan Larasati menggenggam balik tangan Aditya, menahan air mata yang tak lagi karena rasa sakit fisik. Tapi karena keyakinan: mungkin ini adalah kesempatan kedua. Mungkin kecelakaan ini, seberat apa pun, adalah cara semesta mempertemukan mereka kembali—bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Dalam batinnya, Larasati mulai menyusun harapan baru: bahwa Aditya masih peduli, dan dari kepedulian itu ia akan bisa menariknya kembali, menjauh dari jarak yang selama ini dipisahkan oleh waktu... dan oleh wanita lain yang kini menyandang status sebagai istri.
Di dadanya, bisikan lama yang dulu pernah ia kubur kini hidup kembali—dan kali ini, ia tidak ingin membiarkannya tenggelam lagi. Karena Aditya ada di sisinya. Dan selama pria itu belum benar-benar pergi... Larasati yakin, ia masih bisa kembali memilikinya.
🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦
Larasati masih terbaring di ranjang, tubuhnya lemah, tapi pikirannya kini bekerja lebih tajam dari sebelumnya. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Aditya yang tertidur di kursi di sebelahnya, kepalanya sedikit miring, nafasnya berat dan stabil. Ia terlihat lelah, tapi juga... hadir. Menemani. Dan itu cukup bagi Larasati untuk membaca satu hal: masih ada ruang untukku di hidupnya.
Tangannya perlahan bergerak, meraih ponsel milik Aditya yang diletakkan begitu saja di meja kecil sebelah tempat tidur. Ia tahu risikonya, tapi naluri lamanya muncul kembali—dengan tenang dan lincah. Larasati membuka layar, dan dengan sidik jari Aditya yang masih terekam di sistem, layar pun terbuka tanpa hambatan. Ia tak mencari banyak hal, hanya satu: kontak bernama “Raina.”
Dan ia menemukannya.
Dalam keheningan ruangan yang hanya diterangi lampu putih sayu, Larasati mengangkat ponsel miliknya sendiri. Ia mengarahkan kamera ke tangan mereka yang saling menggenggam di atas selimut putih rumah sakit. Lalu diam-diam, ia memotret. Satu kali. Tanpa suara. Ia menyisipkan sedikit senyum kecil penuh kemenangan. Tak perlu berkata banyak. Gambar kadang bicara lebih jahat daripada kalimat.
Lalu, ia membuka aplikasi pesan.
Dari: Nomor Tidak Dikenal
"Kadang, yang menjaga kita saat lemah... adalah yang paling tulus. Bukan yang hanya ada saat keadaan baik-baik saja."
Ia menyisipkan foto genggaman tangan itu, lalu menekan tombol kirim.
Pesan itu pendek. Lembut. Tapi penuh racun.