Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stefani Indri
Veronica Bungas adalah seorang gadis manis, berambut ikat, berkulit putih, berkaca mata dan memiliki raut wajah yang cerdas. Dengan fasih, Veronica menjelaskan tentang cerita di balik tarian yang menggetarkan hari Dihyan ini di dalam menggunakan bahasa Inggris.
Intinya, latihan tari tersebut menceritakan tentang sejarah dan cerita legenda suku Dayak Ibanik yang dikenal dengan nama Tampun Juah.
“It tells about a story of love and ironically how it was opposed to the tradition, culture, and power,” ujar Veronica.
Kisah Tampun Juah memang merukan cerita yang memilukan tentang kisah lama dua sejoli yang masih memiliki hubungan darah: sepupu. Dimana, hal itu dilarang oleh aturan suku mereka. Karena ditentang, hukuman dijatuhkan dengan keras. Kedua pasang sejoli, sang pemuda yang bernama Juah, dan yang perempuan bernama Lemay, ditampun, alias dihukum mati, dengan cara ditusuk dengan bambu runcing dalam keadaan berpelukan.
“Wow, that’s intense,” ujar Dihyan. Ia menarik nafas panjang setelah mendengar cerita dari Veronica yang kini bertindak seperti seorang tourist guide.
Veronica tersenyum. Sepertinya ia sendiri merasa senang karena telah berhasil menggambarkan tarian tersebut. Tak berapa lama, ia melambai ke arah seseorang. Latihan tari sesi ini selesai. Seorang penari perempuan yang dipanggil Veronica berlari-lari kecil mendekatinya.
“So, she’s Stefani Indri. She’s one of the dancers that we saw on the stage. The uniqueness is that she’s half Dayak, half Javanese, but she’s good at Dayak dancing,” ujar Veronica memperkenalkan sosok penari itu, yang menurut penjelasannya memiliki darah campuran Dayak dan Jawa.
Dihyan tak bisa berkata-kata. Gadis bernama Stefani Indri ini mewakili kecantikan magis yang menyerap semua sari-sari kehidupannya. Rambutnya yang panjang diikat kuda secara sederhana. Keringat membuat beberapa helai rambut menempel di pipi dan keningnya. Kulitnya begitu cerah, bahkan matahari sore terlihat menjadi lebih terang setelah memantul dari kulitnya yang semulus potongan pualam itu. Wajah Stefani memerah karena aktifitas tari itu tadi. Tetapi senyumannya mengembang penuh keceriaan.
Stefani cukup mungil, tetapi tubuhnya ramping dan pas saja menurut Dihyan.
“Hi, I’m Stefani. I’m a student of art in the campus over there,” ujar Stefani sembari menunjuk ke arah dimana kampusnya berada.
Ia mengulurkan tangannya untuk dijabat Dihyan.
“Hi, Stefani. I’m … ehm … just call me Yan.”
Veronica merasa sudah menemukan orang yang tepat untuk turis bule ini ajak bicara, yaitu Stefani. Maka, ia tersenyum dan undur diri, membiarkan sang turis bersama Stefani.
“So, Stefani, I think the dance was great.”
“Thank you.” Stefani kemudian menjelaskan dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu lancar, tetapi benar, bahwa tarian itu kelak atas dipentaskan di Gedung Kesenian, yang juga ada dekat sekali di area itu.
Dihyan mengangguk, karena tadi ia melewatinya dengan Centhini: tepat di samping hotel tempat mereka tinggal.
Dihyan merasa ia sudah cukup untuk berpura-pura menjadi bule.
“So, Veronica said you are half Javanese?” tanya Dihyan untuk meyakinkan bahwa Stefani berdarah Jawa.
Stefani mengerutkan keningnya, tetapi kemudian mengangguk.
“Iso boso Jowo berarti?” tanya Dihyan.
Stefani tersentak. Cukup lama sebelum ia mengangguk. “Iso …,” ujar Stefani pelan. Masih memandang dengan tatapan terkejut kepada Dihyan.
Dihyan tertawa. “Jangan bilang Veronica kalau aku bukan bule. Aku orang Jawa, pujakesuma, putra jawa kelahiran Sumatra. Paling nggak itu kata bapakku, sih. Aku maklum kamu kaget, aku juga heran kok. Cuma Bapak nggak pernah ngaku kalau dia mungkin sekali bule.”
Stefani menutup mulutnya. Wajahnya semakin memerah. Kemudian dia melihat ke arah Veronica yang memberikan jempolnya dari jauh.
“Aku yang nggak enak sama Veronica kalau mendadak aku bilang aku orang Indo asli.”
Stefani tertawa ganjil, tetapi lama-kelamaan ia tertawa dengan Dihyan bersama-sama, sama kerasnya.
“Jadi, nama asli kamu?” tanya Stefani kemudian.
“Dihyan. Aku nggak bohong, kan? Yan … Dihyan.”
Stefani menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Caranya menggelengkan kepala sangat menarik, membuat Dihyan kembali terpesona pada hal sederhana tersebut.
“Kamu jahat banget sih. Veronica itu memang mahasiswa Sastra Inggris. Ini kesempatan besar buat dia praktek berbahasa Inggris.”
“Tapi, bahasa Inggris dia bagus, kok. Tadi dia jelaskan semua dengan baik. Nggak ada masalah sama sekali. Kalau ada turis beneran, dia cocok untuk pekerjaan ini.”
“Iya, masalahnya, aku kan nggak, Dihyan. Bahasa Inggrisku jelek banget, tauk. Aku kan isin, malu. Udah belepotan pakai bahasa Inggris, eh yang diajak ngomong bule Jowo rupane.”
Dihyan terkekeh. “Nggak juga. Dari tadi kita ngobrol pakai bahasa Inggris kok, asal kamu diem-diam aja ya, nggak bilang Veronica.”
Keduanya kini berdiri saling bertatap-tatapan untuk beberapa saat. Keduanya seperti saling menelusuri pesona fisik masing-masing, membungkusnya dengan kejadian unik yang terjadi baru saja.
“Yan, kowe kemana, sih?”
Suara tinggi melengking itu sangat akrab di telinga Dihyan.
Dihyan menghela nafas panjang. “Nah, kamu harus siap terkejut lagi dengan fakta baru soal latar belakang keluargaku. Gadis yang sedang datang mencariku itu bernama Centhini, Centhini Bong. Dia kakak angkatku, asli dari Singkawang. Tapi, karena tumbuh di keluarga mirip bule yang percaya bahwa kami ini Jawa, ya dia juga fasih berbahasa Jawa.”
“Kamu ngapain tadi? sok-sokan jadi bule,” cerocos sang kakak.
Akan tetapi raut wajah Centhini yang semula ketus itu mendadak melembut ketika melihat ada seorang gadis bersama adiknya. “Eh, maaf,” ujarnya pendek kepada sosok Stefani.
“Nggak apa-apa, Mbak. Ini Stefani namanya. Dia udah ngerti kalau tadi semua salah paham dengan Veronica.”
Stefani mengangguk malu-malu, kemudian tersenyum simpul.
“Hai, Stefani, maafin adikku ini ya. Bikin repot aja. Dari awal dia kan bisa langsung bilang kalau dia bukan turis, ini malah sengaja buat nipu orang.” Centhini lanjut mengomeli adiknya di depan Stefani.
“Nggak apa-apa, Ce, tadi, ehm … Dihyan juga sudah bilang ke saya,” kata Stefani. Ia masih meringis.
Centhini tersenyum ke arah Stefani, tetapi kemudian kembali menatap Dihyan dengan kesal. “Udah, ayuk, kita pulang ke hotel. Mau ajak Bapak Ibu makan.”
Setelah perintah diberikan, Centhini langsung berjalan di depan, memaksa Dihyan untuk mengikutinya.
Dihyan tersenyum tak enak kepada Stefani. “Mbakku memang begitu. Tapi, memang aku rasa aku harus pergi. Kami menginap di hotel tepat di samping gedung kesenian. Mungkin besok kami sudah berangkat ke Singkawang. Jadi, ehm … sampai ketemu lagi ya, Stefani.”
Dihyan berpaling dan bersiap mengejar Centhini, sebelum tangannya diraih Stefani. “Maaf, Yan. Aku tahu kedengarannya nggak pantas atau terlalu berani. Tapi, kita bisa tukar nomer telepon supaya aku bisa menghubungi kamu?”
Dihyan tersentak. Ia tak menyangka akan seperti ini skenario kejadiannya hari ini. Dihyan menatap lagi Stefani dengan terpesona. Pandangannya menelurusi wajahnya yang cantik, kulitnya yang dihiasai keringat yang mulai mengering, kemudian turun terus ke lehernya yang jenjang, serta keringat di dadanya, yang membuat gambar pola bra yang melekat dari baik kaos oblongnya.
Dihyan merasakan detak jantungnya memacu tak ada kendali.
Mengapa aku sampai pada titik ini? Apa karena sesungguhnya aku bukan seorang pecundang seperti yang selama ini aku pikirkan? Ujar Dihyan di dalam hati.
Ia tersenyum, kemudian mengangguk, sembari mengeluarkan gawainya dari saku dan mulai berbagi nomer telepon dengan Stefani.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next