NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 : Mengulang Malam Penuh Dosa

Langit di luar gelap, dari jendela apartemen memantulkan bayangan samar lampu-lampu kota. Samantha duduk di sofa abu-abu itu, lututnya terlipat, tangan menggenggam mug teh yang sudah dingin sejak dua puluh menit lalu. Diam-diam ia mempersiapkan dirinya. Mencari celah yang tepat di antara keheningan dan deru napas mereka.

Leonard baru selesai membereskan segelas kopi. Ia kembali duduk di seberangnya, mengenakan hoodie tipis, rambutnya sedikit berantakan. Tapi sikapnya tetap hangat seperti biasa, begitu familiar, begitu menenangkan, dan itulah yang justru membuat semuanya terasa lebih sulit.

"Aku… ada yang mau aku ceritakan, " kata Samantha akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti gumaman.

Leonard menoleh, tersenyum kecil. "Tentu. Apa pun itu."

Samantha mengangguk pelan, menatap cangkir di tangannya. "Belakangan ini, di kantor… ada sesuatu yang terjadi. Antara aku dan Mr. Graves. Maksudku, bukan seperti yang dikatakan orang-orang. Tapi..."

Ia berhenti. Mencari kata. "Dia memperlakukanku… aneh. Hingga membuat sebagian orang berpikir yang tidak seharusnya. Aku merasa seperti sedang dijerat tanpa aku tahu caranya melawan."

Leonard tak memotong. Tak juga terlihat kaget. Hanya mengangguk sekali, matanya tetap tenang.

"Aku merasa seperti sedang diuji," lanjut Samantha. "Ada hari-hari ketika aku takut masuk kantor. Tapi juga… bingung kenapa aku tetap bertahan. Ini bukan hubungan profesional. Tapi juga bukan... sesuatu yang bisa kuterjemahkan. Dan gosip-gosip itu mulai menyebar. "

Ia akhirnya menatap Leonard, berharap ada pertanyaan, kemarahan, atau apa pun.

Namun yang ia temukan justru senyum tipis penuh pengertian.

"Aku tahu," kata Leonard.

Samantha membeku. "Kau tahu?"

Leonard mengangguk, tenang. "Nathaniel datang menemuiku beberapa hari lalu. Secara pribadi."

Dunia Samantha seperti runtuh pelan-pelan.

"Apa?" bisiknya.

"Dia menjelaskan semuanya, tentang gosip yang beredar, tentang bagaimana posisimu sedang sulit. Dia bilang kau sedang dalam tekanan, dan dia ingin menjaga reputasimu. Katanya, dia merasa bersalah kalau hubungannya sebagai atasan justru membebanimu."

Samantha mengerjap. "Jadi… dia datang lebih dulu?"

Leonard menatapnya, lembut. "Ya. Dan sejujurnya, aku percaya padanya. Sikapnya sangat tulus. Tidak seperti pria haus kuasa yang bermain-main dengan bawahannya. Lebih seperti… seseorang yang merasa bersalah karena telah membuat hidup orang lain menjadi lebih sulit."

Ia tertawa pendek, jujur. "Aku bahkan sempat merasa bersalah karena pernah curiga pada kalian."

Samantha merasa seperti ditampar dari dalam. Bukan karena Leonard marah, melainkan karena dia tidak marah. Karena Nathaniel telah menyusun narasi sedemikian rupa… dan Leonard menerimanya bulat-bulat.

"Jadi… kamu percaya padanya?" tanyanya, pelan.

"Tentu saja. Dia memberiku alasan yang sangat masuk akal. Dan, kau tahu, seandainya ada sesuatu yang lebih dari sekadar profesional di antara kalian… aku pikir kau akan jujur padaku, kan?"

Samantha tak mampu menjawab.

Karena sejujurnya, ia bahkan tak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang kabur.

...****************...

Malam itu turun dengan diam dan sunyi. Di luar jendela apartemennya, hujan menetes pelan, menyelimuti kota dalam kabut samar. Samantha duduk di ujung ranjang, tubuhnya membeku dalam kegalauan. Di balik pintu kamar, Leonard tertidur lelap, nafasnya teratur, tak menyadari badai yang diam-diam berkecamuk dalam jiwa wanita yang tidur di sampingnya.

Lalu ponsel Samantha bergetar pelan. Sebuah pesan singkat muncul di layar. Hanya satu kalimat.

“Jika kau tidak datang malam ini, aku akan menjemputmu di siang bolong, bahkan jika dia berada di sebelahmu.” N.

Tangan Samantha gemetar. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, Nathaniel serius. Dan lebih dari itu… ia tahu, dirinya tidak lagi memiliki cukup kekuatan untuk menolak.

Jantungnya berdebar saat ia melangkah perlahan-lahan keluar kamar, melewati ruang tamu yang gelap, dan membuka pintu apartemen tanpa suara. Malam membungkusnya seperti rahasia. Dan ia pun menyelinap, meninggalkan kehangatan palsu demi luka yang terasa lebih hidup.

...****************...

Nathaniel menunggunya.

Apartemen mewahnya bercahaya hangat. Musik pelan mengalun entah dari mana. Nathaniel berdiri di dekat jendela tinggi, tubuhnya disinari cahaya lampu temaram. Kemeja hitamnya dibuka sebagian, menampakkan lekuk dada dan lehernya yang kencang. Rambutnya sedikit berantakan, dan matanya… tajam, namun ada lelah dan rindu yang tidak disembunyikan.

Samantha membeku di ambang pintu. Matanya bertemu dengan milik Nathaniel, dan dunia mendadak menjadi ruang kecil yang hanya berisi mereka berdua.

"Kau datang," gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.

Samantha tak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, mengenakan mantel gelap yang kebasahan, napasnya memburu, dan wajahnya setengah tertutup bayangan. Tapi Nathaniel mendekat, perlahan, seperti hewan liar yang akhirnya menemukan sumber airnya. Tangan besar itu menyentuh pipinya, lalu menyentuh bibirnya dengan ibu jari.

"Aku memimpikanmu setiap malam," bisik Nathaniel. "Tapi mimpi tidak pernah cukup."

Dan Samantha, entah kenapa, tidak mundur.

Samantha hendak membalas, mungkin menyumpahinya, tapi bibirnya tertelan oleh ciuman panas yang tak memberinya ruang untuk bernapas. Nathaniel mengangkat tubuhnya begitu saja, membawanya ke ranjang megah yang terhampar dalam gelap dan cahaya temaram.

Nathaniel meletakkan tubuhnya perlahan ke atas ranjang, namun dengan dorongan yang penuh kendali, seolah tubuh Samantha adalah sesuatu yang rapuh dan berbahaya sekaligus. Matanya mengamati setiap jengkal kulit wanita itu seperti ingin mengukirnya ke dalam ingatan.

Tangannya menyusuri sisi pinggang Samantha, menarik gaunnya dengan sabar, menciptakan suara gesekan kain yang terdengar terlalu intim di dalam kamar mewah yang sunyi. Samantha menggigil, bukan karena takut, tapi karena dirinya tahu, dirinya menginginkannya. Setidaknya tubuhnya mengakuinya.

"Jangan bicara," bisik Nathaniel, sembari mencium tulang lehernya. "Biarkan aku yang bicara malam ini."

Tanpa terburu-buru, dia membuka kait bra Samantha, membiarkan kain itu jatuh ke samping sebelum ia menggenggam lekuk dadanya dengan penuh penghargaan dan kehausan. Ciumannya turun, melingkari puting yang mengeras dalam dingin dan gairah, membuat Samantha melengkungkan punggung, mengerang pelan. Erangan yang tak bisa dikendalikan.

Samantha mencoba mengalihkan wajah, tapi Nathaniel mengangkat dagunya, mencium bibirnya dalam, lidahnya masuk dengan agresi lembut, membuat napas Samantha tercekat.

Celana dalamnya disingkirkan hanya dengan dua jari, lalu tubuh Nathaniel mendesak turun, mencium dan menjilat pahanya, menyiksa dengan ritme yang lambat dan menghanguskan. Ketika lidahnya menyentuh titik paling sensitif di antara kaki Samantha, wanita itu nyaris menangis. Ia mencengkeram seprai, menahan gemetar.

"Nathaniel..." gumamnya.

"Katakan kau menikmatinya," desis lelaki itu di antara napas kasar.

Samantha menggigit bibir. Tak ada jawaban. Tapi tubuhnya sudah menjawab lebih dulu, ia menegang, melengkung, menggigil, lalu meledak dalam kenikmatan yang mengejutkannya sendiri.

Nathaniel tidak berhenti di sana. Ketika ia naik dan menatap Samantha dari atas, matanya seperti menyimpan bara. Ia melepaskan celananya, dan tanpa banyak basa-basi, menempatkan dirinya di antara paha Samantha, membuka jalan, lalu masuk perlahan tapi pasti.

Samantha mencakar punggungnya, menggeliat, merintih keras saat Nathaniel mendorong lebih dalam. Gairah, tekanan, dan intensitas menyatu seperti badai. Setiap dorongan Nathaniel terasa seperti hukuman dan penyembuhan dalam satu waktu. Dia mencium mata Samantha, bibirnya, dan mengatakan hal yang membuat hati Samantha berdebar tak karuan:

"Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku butuh kamu. Malam ini, dan selamanya."

Tubuh mereka menyatu, beradu ritme dengan erangan, desahan dan napas tercekat. Ranjang berderak, dan dinding-dinding seakan menjadi saksi bisu bagaimana cinta bisa menjadi penjara yang nikmat. Nathaniel memperlakukan Samantha seperti wanita yang paling ia dambakan, paling ia rindukan, dan paling ingin ia miliki, sepenuhnya, tanpa sisa.

Dan ketika mereka berdua mencapai klimaks dalam gelombang yang panjang dan menguras segalanya, Samantha menangis, tanpa suara.

Entah karena rasa bersalah, atau karena kenyataan bahwa bagian dari dirinya… tidak ingin malam itu berakhir.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!