Menapaki Jejak di Madyapada yang penuh cerita yang tak terduga, sesosok Rehan dengan beribu harap dalam benak dan Sejuta mimpi dalam sepi, meniti asa pada cahaya senja, menitip doa pada Sang Penguasa Semesta.
Berharap bisa bersanding dengan Rena perempuan anggun berparas rupawan dan berdarah Ningrat yang baik hati, seutas senyum ramah selalu menghiasi wajahnya, namun dalam riangnya tersimpang selaksa pilu yang membiru.
Akankah cinta dua insan itu bersatu dalam restu keluarga Rena? ataukah cinta mereka akan tenggelam layaknya Cahaya lembayung yang tertelan oleh gelapnya malam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vheindie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuntaskan Rindu Dari Masa Lalu, bagian 2
-***-
Namanya Bi Parijah atau biasa disebut Bi Ijah, ART yang sudah lama mengabdi pada keluarga Dokter Angga Wijaya sekaligus ART pertama bagi keluarga yang berprofesi dibidang kesehatan itu, bahkan sebelum keluarga tersebut mewarisi pengelolahan sebuah Rumah Sakit dari orang tua angkat Pak Angga Wijaya, meski tidak sebesar Rumah Sakit yang dimilikinya sekarang, tapi itu adalah sebuah awal yang membuat melejit karirnya sebagai seorang dokter.
Ketika pertama kali bekerja dikeluarga wijaya, usia Bi Ijah masih cukup muda yaitu sekitar kurang dari umur 20 tahun dan keluarga pak Wijaya pada waktu itu baru mempunyai dua anak, yang pertama masih berumur lima tahun dan anak kedua masih berumur tiga tahun.
Setelah menerima hak milik pengelolahan Rumah Sakit dari bapak angkatnya, bak sebuah kendaraan Formula one yang melintas dijalur balap, karir Pak Wijaya melesat begitu cepat, dalam tiga tahun pertama dia mampu membangun beberapa klinik disetiap daerah di ibukota, dan mulai bergaul dengan orang-orang jajaran elit dinegeri ini dan menjadi koleganya.
Kalian tau selain lingkungan, kadang uang bisa mengubah kepribadian seseorang, begitu juga yang terjadi dengan Pak Wijaya, sejak dia bergaul dengan kalangan atas, perangainya mulai berubah dan yang lebih parahnya saudara-saudara kandungnya yang selama ini, menggantungkan hidup pada Pak Wijaya, mulai bertingkah angkuh layaknya bangsawan dari sebuah kerajaan, yang kadang selalu mempengaruhi ayahnya Rena dalam setiap keputusan.
Ketika Rena masih berumur satu tahun kedua orang tuanya, sudah sangat jarang di berada dirumah, jadi karena itu dia lebih dekat dengan Bi Ijah meski sekarang dalam rumah mewahnya mempunyai lebih dari lima ART dan seorang baby sister.
Kadang dalam diri manusia terdapat rasa iri yang berlebihan, itulah yang terjadi pada ART yang lainnya, meski berada dalam satu atap yang sama di rumah mewah Sang Dokter, tapi mereka bersekongkol ingin menyingkarkan ART seniornya itu, mereka merasa iri karena Bi Ijah diperbolehkan oleh ibunya Rena untuk membawa anaknya yang seumuran dengan anak bungsu keluarga Wijaya tersebut bahkan mereka terlihat begitu akrab.
Bahkan rasa iri itu kian memuncak, ketika Fitri anak dari Bi Ijah begitu dekat dengan Rena, dan pada suatu hari mereka merencanakan niat jahat, yaitu dengan cara mencuri salah satu perhiasan kesayangan milik ibu Rena dan dengan sengaja disimpan dibawah kasur tempat tidur Bi Ijah.
"BRAAKK"
"Jadi siapa yang mencuri perhiasan istri saya, cepat kalian ngaku," seru marah Pak Wijaya dengan menggebrak meja.
"Enggak Tuan kami tidak akan melakukan hal tercela seperti itu," ucap salah satu ART yang bersekongkol tersebut.
"Dari pada urusan ini jadi kapiran dan menjadi salah sangka, bagaimana kalau setiap kamar kami diperiksa saja Tuan," ucap temannya juga.
"Baiklah, kalau itu mau kalian, tadinya saya tidak ingin melakukan hal tersebut, tapi karena diantara kalian tidak ada yang mau mengaku, Security periksa setiap kamar mereka," seru galak Pak Wijaya memerintah dua orang security rumahnya.
"Baik Tuan" Jawab mereka berdua secara bersamaan, lalu keduanya mulai bergegas memeriksa tiap kamar ART dirumah tersebut, terdapat tiga kamar yang dikhususkan bagi para Asisten Rumah Tangga dan tempatnya dibagian belakang rumah yang berdekatan dengan ruang dapur, dan hanya Bi Ijah yang menempati satu kamar sendirian, sementara kelima pembantu lainnya saling berbagi kamar.
"PLAKK"
"Ini apa hah, kamu sudah saya ijinin buat bawa anak kamu, dan lihat anak kamu yang kurang ajar, berani-beraninya memakai gelang milik Rena," Bentak Bapaknya Rena dengan sangat emosi dan tanpa sadar mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras pada Bi Ijah, yang sekarang terlihat menangis tersedu-sedu sambil memeluk Fitri yang ikut menangis juga, karena kesakitan akibat gelang yang ada ditangannya diambil paksa.
"Demi Allah Pak saya tidak tahu-menahu, kenapa perhiasan itu ada dikamar saya," ucap Bi Ijah dengan isak tangis yang tersedu.
Rena kecil yang baru saja pulang dari kursus bahasa inggrisnya, langsung berlari kearah Bi Ijah dan Fitri karena melihat mereka menangis dihadapan bapaknya.
"Papa.. ada apa ini Papa, kenapa Bi Ijah sama Fitri Papa marahin," Ucap Rena sambil merentangkan tangan kecilnya untuk melindungi kedua orang yang begitu dekat dengannya.
"Rena kamu jangan ikut campur, tau apa kamu anak kecil, gara-gara kamu sering main sama orang-orang kayak gini, kamu membuat papa malu didepan kolega papa, karena pergaulan mu dengan rakyat jelata, Jamilah cepat bawa Rena pergi ke kamarnya dan bila perlu kunci pintunya," seru Pak Wijaya dengan intonasi yang begitu menekan terhadap Rena kecil, dan langsung menyuruh baby sisternya untuk membawa Rena.
"Mah, Pah, jangan sakitin dan marahin Fitri sama Bibi, gelang itu adalah pemberian Rena sebagai tanda perteman kami, Mah, Pah," teriak Rena mencoba berontak dari dekapan baby sister yang membawanya masuk kekamar pribadinya dan langsung mengunci.
Memang dua hari yang lalu Rena dan Fitri tanpa diketahui orang tuanya, mereka saling bertukar gelang sebagai pertanda persahabatan, tapi itu menjadi sebuah malapetaka bagi Fitri dan ibunya, Pada hari itu juga mereka diusir dari kediaman Keluarga Wijaya, tanpa diberi satu sen pun uang.
"Ini adalah hukuman yang cukup ringan, andai kami mau kamu dan anakmu akan kami jebloskan kedalam penjara, tapi kami masih menghargai kamu karena sudah bekerja cukup lama didalam keluarga kami, jadi enyahlah sekarang juga, dasar orang rendahan yang tak tau diuntung," ucap Ibunya Rena penuh penekanan dan hinaan, setelah Rena pergi dan dibawa ke kamarnya.
Pada hari itu juga Bi Parijah dan Fitri angkat kaki dari rumah mewahnya keluarga Dokter Wijaya, dengan sebuah penghinaan dan rasa malu yang teramat sangat.
--***--
"Maafin Rena Bi, maafin Rena gak bisa membela Bibi juga Fitri pada waktu itu, maafin Rena Bi, hiks, hiks, hiks.." ucap Rena terisak sambil bersimpuh dilutut Bi Parijah yang kini menginjak usia sekitar 50 tahun.
"Andai maaf bisa membuat Fitri kembali kedunia ini, tapi tidak apa-apa Non bahkan terimakasih karena Non telah membela kami pada waktu itu, juga kami tidak punya dendam pada keluarga Non Rena, ini semua kesalahan kami karena tidak tahu diri bergaul dengan anak seorang bangsawan, andai saya berhenti bekerja sebelum keluarga Non menjadi salah satu konglomerat di negara ini, dan tidak membawa Fitri untuk tinggal di rumah bak istana itu, mungkin Fitri masih ada disini menemani hari tua Bibi," Ucap Datar Bi Parijah sambil menerawang jauh ke halaman depan rumahnya, tapi air matanya mengalir dari sela-sela kedua bola matanya.
Setelah kejadian dirumah Pak Wijaya, Fitri yang masih kecil dan tidak tau apa-apa, langsung terkena mental dan selalu sakit-sakitan sampai usia menjelang sepuluh tahun, hingga Tuhan Sang Pemilik Takdir lebih menyayangi Fitri dan menjemputnya melalui perantara Sang Malaikat yang ke empat dari sepuluh malaikat yang wajib diketahui.
"Umi jangan benci sama Teh Rena ya Umi, Teh Rena orang baik kok, bahkan dia menganggap Fitri sebagai saudarinya dengan tulus, Umi jangan nangis terus jaga diri Umi baik-baik, Insyaallah Teh Rena pasti menengok Umi dilain waktu, hari ini Fitri cape mau istirahat lebih dulu," ucap lirih Fitri yang terbaring dikasur kumelnya, ketika sebelum ajalnya tiba.
Rehan yang tidak mengetahui apa-apa, hanya diam melihat kedua makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki oleh Sang Pencipta segala kehidupan tersebut, keduanya cukup lama menumpahkan kesedihan mereka.
Menjelang Sore sebelum pulang, Rena meminta Bi Parijah mengantarkan dirinya ke peristirahatan terakhir sahabat yang sudah dia anggap saudari sendiri, air matanya pun kembali mengalir ketika dia bersimpuh didepan makam Fitri tersebut.
"Hiks, hiks, hiks.. Terimakasih Kang sudah mau menemani saya ke rumah Bi Ijah, inilah salah satu alasan saya ingin menjadi seorang bidan, saya ingin menuntaskan rindu dan kesalahan saya di masalalu," ucap Rena setelah menjauh dari Kampung Tegal Bungur dan menuju kembali ke kos'an nya yang ada di Puskesmas.
"Iya Sama-sama Bu," Jawab singkat Rehan, karena dia tidak ingin terlalu banyak bertanya perihal apa yang terjadi dikehidupan masalalu Rena, menurutnya itu lebih baik dari pada mengorek luka dalam hati Bidan cantik tersebut.
haloo kak aku nyicil bacanya yaa
jangan lupa mampir di karya terbaruku 'save you'
thankyouuu ❤
sukses selalu buat kakak 🤗🤗