Di usia mudanya, Falya terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Padahal sebelumnya kehidupannya sangat sempurna. Tapi karena kesalahan fatal ayahnya, akhirnya ia dan keluarganya menanggung beban yang sangat berat.
Dan suatu hari,ia tak sengaja bertemu dengan sosok arwah penasaran yang justru mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Siapakah sosok itu sebenarnya? Dan seberapa kuatnya seorang Falya menjalani kehidupannya???/
########
Untuk pembaca setia tulisan receh mak othor, mangga....di nikmati. Mohon jangan di bully. Mak othor masih banyak belajar soalnya. Kalo ngga ska, skip aja ya! Jangan di ksaih bintang satu hehehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.06
Zidan berjalan-jalan santai di rumah besar milik Falya itu. Ia rasa, teman barunya itu sedang sibuk bersiap ke rumah sakit untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Tapi ternyata tidak nampak batang hidung gadis yang imut itu. Zidan menuju ke sumber suara yang terdengar cukup keras lebih cocok di sebut keributan sebenarnya.
"Puas kamu sekarang Gio? Puas???'' tanya Falya dengan suara yang sangat keras menandakan betapa emosinya dirinya saat ini.
"Ampun kak...maafin Gio!'' Gio memeluk kedua kaki Falya dengan erat.
"Maaf mu bisa mengembalikan semuanya? Ngga kan Gio? Kamu sudah berhasil membuat kakak hancur untuk ke sekian kalinya Gio...kamu berhasil! Hiks-hiks-hiks!'' Falya sudah tak sanggup menahan air matanya lagi. Di sudut yang tak jauh, Fida pun ikut menangis sesegukan. Ia paham seberat apa beban yang adiknya pikul saat ini.
"Sedikit saja....sedikit! Cukup sedikit! Ngertiin posisi kakak! Kakak berusaha mati-matian biar tetap bisa biayain kamu sekolah. Banting tulang untuk bisa menghidupi kalian...tapi kenapa kamu malah kaya gini, Gio! Kakak punya dosa besar apa sebenarnya sampai harus menanggung beban berat kaya gini...'' Falya memukuli dadanya yang terasa begitu sesak.
Gio menunduk dalam karena penyesalannya saat ini sia-sia! Apa pun pembelaan yang ia keluarkan dari mulutnya, ia tetaplah salah.
"Cukup kak, jangan siksa diri kakak! Kalau kakak mau pukul, pukul Gio aja Kak! Pukul! Pukul!'' kata Gio menuntun tangan Falya untuk menampar pipinya.
Zidan menatap iba sahabat barunya itu. Entah sebesar apa masalah yang mereka hadapi hingga Falya sampai seperti itu.
Falya menarik tangannya dari tangan Gio. Gadis itu menangis sesegukan lalu tenggelam dalam pelukan Gio.
"Maafin Gio kak!'' kata Gio memeluk erat kakaknya. Perlahan tangis Falya mereda.
"Bagaimana kamu akan mempertanggungjawabkan perbuatan kamu Gio? Kamu aja belum selesai ujian! Bagaimana kamu....'' ucapan Falya terhenti karena Gio menyela.
"Aku akan bekerja kak, aku janji! Aku tidak akan sepenuhnya merepotkan kak Falya!'' kata Gio. Falya terhuyung lalu memilih duduk di sofa.
"Yang kakak tak habis fikir\, kenapa kamu mengikuti jejak perbuatan papa yang menji****** itu Gio? Kenapa?'' tanya Flaya lirih yang sudah hampir kehilangan tenaga.
"Gio khilaf kak!'' kata Gio memberi alasana. Fida hanya menghapus air matanya saja. Memangnya ia bisa bantu apa? Gio tidak lagi dekat dengannya semenjak sang papa menitipkan janin ke Fida. Apalagi sang mama sampai meninggal dunia. Di mata Gio, Fida adalah penghancur kebahagiaannya.
Zidan melipat kedua tangannya di dada melihat drama itu. Akhirnya ia paham kenapa Falya sampai sesedih itu. Falya meninggalkan ruang tamu dan beranak ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ia kembali menumpahkan air matanya. Dia berjongkok sambil memeluk lututnya.
Zidan duduk bersila di hadapan Falya. Gadis itu mendongak sedikit mengetahui teman hantunya ada di hadapannya.
"Butuh sandaran atau tempat bercerita?'' tanya Zidan sambil merentangkan kedua tangannya. Falya yang benar-benar sedang terpuruk pun spontan memeluk teman hantunya itu. Ia kembali menumpahkan tangisnya. Zidan mengusap-usap pelan kepala Falya.
"Ngga apa-apa! Semua pasti baik-baik aja! Sudah sejauh ini lho kamu bertahan, kamu pasti bisa melewati semuanya! Sekali lagi...kamu pasti bisa bertahan Ya!'' bisik Zidan.
Entah kenapa pada Falya, ia bisa menyentuhnya! Tapi pada orang lain ia tak bisa????
"Kenapa berat banget sih cobaan aku ya bang! Menjadi tulang punggung keluarga, jadi kepala keluarga yang gagal mendidik adik laki-lakinya sendiri. Aku gagal bang...aku gagal!'' kata Falya di sela isakan tangisnya.
"Hei...kamu ngga gagal Ya! Kamu hebat!'' Zidan menakup kedua pipi Falya dengan kedua tangannya. Gadis itu masih meneteskan air matanya. Zidan pun menghapus air mata di pipi Falya dengan ibu jarinya.
"Kalau semua harus aku...terus aku harus ngadu ke mana bang?'' tanya Falya.
"Sekarang kamu punya abang, ya...walaupun kita belum meresmikan pertemanan kita...ngga apa-apa kan???'' tanya Zidan. Falya memanyunkan bibirnya.
"Ya udah...kita teman!'' kata Zidan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Falya. Awalnya gadis itu cuek tanpa ada minat menanggapi tangan Zidan. Tapi lelaki itu menarik tangan Falya sampai akhirnya mereka berjabat tangan.
"Kita teman! Dan aku janji, mulai detik ini aku bakal selalu jagain kamu sampai kapan pun! Itu janji ku!'' kata Zidan. Dan tiba-tiba saja di atas sana terdengar guntur yang menggelegar. Falya sampai menutup kedua telinnganya saking kerasnya. Dan tiba-tiba saja aliran listrik padam.
"Mati listriknya!'' kata Zidan menoleh ke atas. Lampu kamar Falya padam usai guntur tadi. Ternyata pagi-pagi sekali sudah di guyur hujan lebat.
"Kamu ngga dinas?'' tanya Zidan.
"Nanti siang, shift ke dua.''
Zidan mengangguk pelan tanda mengerti.
"Ya udah, kamu istirahat dulu! Kalo perlu di kompres dulu matanya biar ngga bengkak! Malu sama pasien-pasien kamu!'' celetuk Zidan.
"Sekarang aku cuma punya satu pasien. Dia juga ngga bakal liat mataku bengkak!'' kata Falya menghapus ingusnya dengan punggung tangannya.
"Hyuuuk...jijik banget sih! Cantik-cantik jorok!'' kata Zidan yang langsung berdiri lalu menghilang dari hadapan Falya.
"Cih...lagaknya mau nemenin, jagain! " Monolog Falya. Tiba-tiba saja Zidan kembali muncul.
"Aku denger Ya!" kata Zidan. Falya membelalakan matanya karena terkejut ternyata Zidan masih mendengarnya.
.
.
.
Hanan sedang ada di perusahaan yang ia pimpin. Meski sang putra masih terbaring koma, bukan berarti ia harus meninggalkan kewajibannya sebagai pemimpin perusahaan. Banyak yang bergantung padanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup.
Bayangan video Rayan terus melintas di otaknya.
"Ya Tuhan!!!!'' Hanan mengusap kasar wajahnya. Sebagai seorang lelaki sekaligus ayah, tentu nalurinya tak bisa di pungkiri.
"Brengksek!!!'' Hanan melempar apa saja yang ada di meja kerjanya.
Alin yang bermaksud mengajak suaminya untuk makan siang bersama pun terkejut melihat ruangan sang suami yang berantakan.
"Ada apa Papi? Kenapa seberantakan ini?'' tanya perempuan cantik khas sosialita itu. Hanan tak menjawab, dia hanya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ada apa,Pi? Cerita sama Mami!'' kata Alin mengusap bahu suaminya. Sungguh, ingin sekali ia menceritakan tentang yang terjadi terhadap Rayan pada Alin. Tapi ia terlalu takut sang istri tak bisa menerima hal itu seperti dirinya. Jadi sejauh ini, Hanan masih berusaha menyimpannya sendiri. Tidak, tidak sendiri! Boy sahabat Rayan juga sudah mengetahuinya.
Bahkan Hanan sudah menyuruh Boy sejak jauh-jauh hari pasca kecelakaan yang menimpa Rayan. Tapi entah kenapa hingga detik ini, hal itu belum juga terungkap.
"Ngga apa-apa Mi. Saham kita sedang turun saja!'' jawab Hanan. Alin percaya saja ucapan suaminya.
"Ya udah, kita makan siang dulu Pi. Nanti tinggal ke rumah sakit liat Rayan.''
Hanan setuju saja permintaan istrinya.
"Arvino ngga ikut, Mi?'' tanya Hanan.
"Lagi di anterim Boy ke salon.'' Hanan mengernyitkan alisnya tanda tak paham.
"Papi, Arvino kan mau gantiin Rayan untuk menikahi Jesslyn. Jadi apa salahnya kalau penampilannya di rubah sama persis kaya Rayan.''
"Tapi Mami, Arvino menggantikan Rayan bukan untuk pura-pura jadi Rayan!'' kata Hanan. Alin membuang nafas kasar beberapa saat.
"Papi, apa salahnya kalo penampilan Vino seperti Rayan? Ini bukan mami apa lagi Papi. Tapi buat Jes, Pi! Oke...lah, wajah mereka memang mirip. Tapi penampilan Vino cenderung seperti anak kutu buku. Kasihan Jes, Pi! Dan hal itu juga baik buat Vino, dia masih tetap jadi Arvino kok.''
Hanan mulai mengerti apa yang istrinya maksud. Ia pikir, Alin terlalu pilih kasih pada anak bungsunya itu. Ternyata sang istri masih cukup peduli dengan Arvino. Karena setahu nya, Alin yang terlalu fokus pada Rayan selama ini.
"Udah yuk, Pi! Habis makan siang, kita ke rumah sakit'' kata Alin. Hanan pun menurut saja ajakan Alin.
.
.
.
Boy menemani Arvino ke sebuah butik sekaligus salon ternama langganan Arrayan. Di sana ia di make over sampai benar-benar mirip dengan Rayan. Boy menaikkan salah satu alisnya. Lalu ia tersenyum samar.
"Ganteng banget sumpeh...ke mana aja cyinnnn...?? Kirain ayang Rayan cuma seorang, eh ngga tahunya punya kembaran ganteng juga....''
Seorang laki-laki kemayu yang menangani Arvino sampai jadi ganteng seperti itu sempat terpana dengan perubahan pemuda tampan itu.
"Terimakasih om!'' kata Arvino.
"Hey? Panggil sapa yey sama eyke? Om? Omegat! Panggil sista, kak ye!'' katanya protes sambil mengusap-usap bahu Arvino. Vino jadi ngeri di perlakukan seperti itu.
"Oke, makasih kak!'' kata Arvino yang memilih langsung berdiri di belakang Boy.
"Kau menakutinya!'' kata Boy galak pada lelaki gemulai itu.
"Ih...yang kayak gini yang bikin gemas tahu! Kalo ayang Rayan kan galaknya ampun dahhh!'' kata lelaki berpenampilan feminim itu.
"Kaya biasa, tagihan kantor!'' kata Boy.
"Siap ganteng!!!''
Boy dan Arvino pun keluar dari butik itu. Keduanya langsung menuju ke rumah sakit di mana Rayan berada. Di dalam mobil, Boy melirik pada Arvino yang sibuk membenarkan kacamatanya saat memainkan ponselnya.
"Aku tahu kau tak selugu itu, Vin!'' kata Boy. Arvino menoleh pada sahabat dari kembarannya itu. Meski sahabat, usia Boy memang lebih tua darinya.
"Apa?'' tanya Vino menautkan kedua alisnya. Tapi setelah itu ia kembali mengutak-atik ponselnya.
"Berhenti berpura-pura bodoh di depan kedua orang tuamu!'' kata Boy. Arvino tersenyum tipis dan misterius.
"Apa bedanya dengan manusia bermuka dua seperti mu? Bahkan kau tak pernah lupa melepaskan topeng mu!'' kata Arvino yang menatap Boy dengan berani.
************
Terimakasih