Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Miranda perlahan berdiri dari duduknya. Baju biru pucatnya bergoyang lembut tertiup angin sore. Ia menatap dokter Jodi yang masih berdiri kaku di belakangnya, seolah tak tahu harus berbuat apa.
Dengan langkah tenang, Miranda mendekat. Matanya teduh, bibirnya tersenyum samar, senyum yang begitu tulus, namun membuat dada siapa pun terasa sesak.
“Ayo, Mas Dokter…” ucapnya lembut, nada suaranya penuh keakraban yang hangat namun asing di telinga Jodi. “Kenapa berdiri terus di situ? Duduklah di sini, di sebelah Mira.”
Tanpa ragu, ia meraih tangan Jodi, hangat, lembut, dan penuh keyakinan.
Sentuhan itu membuat waktu seolah berhenti.
Dokter Jodi hanya terpaku, menatap jemari Miranda yang menggenggam tangannya dengan begitu yakin, seolah genggaman itu telah lama ia kenal.
Dan sebelum sempat ia menolak atau menjelaskan apa pun, Miranda menariknya perlahan ke arah bangku taman, ke tempat kosong di mana ia tadi berbicara dengan “seseorang” yang tak terlihat.
“Mas Dokter…” suara Miranda terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang dibawa angin sore. Ia menoleh, menatap Jodi dengan senyum kecil yang anehnya begitu manis namun membuat hati bergetar.
“Mau Mira kasih tahu satu rahasia, nggak?” tanyanya, nada suaranya seperti anak kecil yang sedang menyimpan sesuatu yang istimewa.
Dokter Jodi menatapnya, berusaha tersenyum meski dadanya terasa berat.
“Rahasia apa, Mira?” tanyanya lembut, mencoba menjaga nada profesional, walau suaranya sedikit bergetar.
Miranda menunduk sebentar, jemarinya menggulung ujung rambutnya yang basah oleh lembap sore. Ada jeda sunyi sebelum ia kembali menatap dokter Jodi, tatapan yang polos, tapi menyimpan sesuatu yang membuat waktu seolah berhenti.
“Hmm…” gumamnya pelan, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu dengan senyum kecil yang begitu jujur, ia berbisik,
“Mira suka sama dokter Jodi.”
Deg.
Kata-kata itu sederhana, tapi seperti petir yang menyambar dalam diam.
Dokter Jodi menegang di tempatnya. Untuk sesaat, otaknya berhenti bekerja, seolah semua teori psikologi dan batas profesional yang selama ini dipegangnya lenyap begitu saja.
Ia menatap Miranda, wajah itu tampak tenang, tulus, tanpa keraguan sedikit pun. Seolah yang ia ucapkan bukan sekadar delusi, tapi kebenaran yang datang dari kedalaman hatinya.
“Mira…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Ia berusaha mencari kata, tapi lidahnya kelu. “Kamu tidak boleh bilang begitu. Saya—”
Miranda menatapnya lekat-lekat, memotong ucapannya dengan suara lembut namun tegas,
“Kenapa nggak boleh, Mas Dokter? Bukannya mas Dokter juga suka ya sama Mira.. buktinya, setiap Mira pergi, Mira… pasti kembali lagi, bertemu lagi dengan mas Dokter.”
Udara di antara mereka mengental, seperti ada sesuatu yang menggantung, bukan hanya kata, tapi perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Jodi menunduk, menyembunyikan tatapan matanya yang mulai goyah.
Ia tahu, dalam ruang profesional, itu adalah pelanggaran besar. Tapi di sisi lain, hatinya menolak menyangkal getaran yang sejak lama ia rasakan setiap kali Miranda tersenyum.
Jodi menarik napas dalam-dalam, berusaha menstabilkan detaknya sendiri yang terasa tidak wajar. Setiap kata Miranda menembus batas logika, menyentuh ruang paling pribadi dalam dirinya, ruang yang seharusnya tidak pernah disentuh oleh siapa pun, apalagi seorang pasien.
“Mira…” suaranya pelan, nyaris seperti desahan yang tertahan di tenggorokan. “Apa yang kamu rasakan itu… mungkin hanya bagian dari ingatan yang bercampur. Kamu tahu, otak bisa memainkan banyak hal saat berusaha melindungi diri dari luka.”
Namun Miranda hanya tersenyum kecil, senyum yang membuat dada Jodi terasa sesak tanpa alasan.
“Mas Dokter selalu ngomongnya gitu… tapi Mira nggak salah kok,” katanya lembut. “Kalau ini cuma di kepala Mira, kenapa rasanya bisa sesakit ini setiap kali Mas pergi?”
Kata-katanya menusuk dalam, membelah antara empati dan rasa bersalah.
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga flamboyan yang gugur di sekitar mereka.
Jodi menatap Miranda lagi, rambutnya terurai lembut, mata itu berpendar sendu, tapi jujur. Terlalu jujur.
Ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan, menjauh, mengalihkan, atau memanggil perawat. Tapi langkahnya tetap di sana.
Dan di balik segala logika, ia justru mendengar suaranya sendiri, pelan, nyaris tak sadar, berkata.
“Aku nggak pernah benar-benar pergi, Mira.”
Miranda menatapnya, matanya bergetar.
“Kata Mas, kalau Mira sembuh, kita bisa pulang bareng. Mas masih ingat?”
Jodi terdiam. Tenggorokannya tercekat. Ia tak pernah mengatakan hal itu… bukan pada dunia nyata, setidaknya.
“Mira selalu ingat, Mas. Selalu.”
Suaranya lirih, tapi penuh keyakinan yang nyaris mistis. Ia lalu menggenggam tangan Jodi pelan, hangat, nyata, dan entah kenapa, terasa seperti sesuatu yang pernah terjadi jauh sebelum hari ini.
Dan untuk sesaat, Jodi merasakan dunia sekeliling mereka lenyap.
Tak ada rumah sakit, tak ada pasien, tak ada batas.
Hanya ada dua manusia yang terikat oleh sesuatu yang bahkan waktu tak bisa menjelaskan.
“Mira…” ucapnya pelan, menatap gadis itu dengan mata yang mulai basah, “kalau di kehidupan ini aku bukan siapa-siapa buatmu, mungkin… di kehidupan lain, aku memang milikmu.”
Miranda tersenyum, menutup matanya pelan, lalu berbisik,
“Iya.. Mira tahu, Mas.”
****
Dokter Jodi mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menepis bayangan yang terus menghantui pikirannya. Napasnya berat, dada terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, antara penyesalan, bingung, dan rasa yang tak seharusnya tumbuh.
Dengan gerakan cepat, ia menyalakan mesin mobilnya. Suara deru mesin memecah kesunyian malam, tapi justru membuat pikirannya semakin riuh. Lampu jalan menyorot wajahnya yang lelah, rahangnya mengeras, seolah sedang menahan sesuatu yang hampir pecah keluar dari dalam dirinya.
Tangannya sempat terhenti di kemudi.
Ia menatap bayangan dirinya di kaca depan, tatapan yang tak lagi sama dengan beberapa jam lalu.
Tatapan seorang dokter yang kehilangan jarak antara profesional dan perasaan.
“Gila,” gumamnya pelan, suara itu lebih seperti cemooh pada dirinya sendiri.
Namun meski begitu, ia tetap memutar setir, meninggalkan halaman rumah sakit, seakan berusaha kabur, bukan dari tempat itu, tapi dari sesuatu di dalam dirinya yang mulai tumbuh terlalu dalam.
Begitu sampai di rumahnya, Jodi memarkir mobil di garasi tanpa benar-benar sadar bagaimana ia sampai di sana. Lampu beranda menyala redup, menerangi dinding putih yang sepi. Ia berjalan masuk, melepas jas dokternya dan melemparkannya ke sofa. Dadanya masih terasa berat.
Langkah Jodi berhenti di depan meja kerjanya. Di atasnya, berserakan berkas pasien, catatan, dan laporan medis. Tapi matanya hanya terpaku pada satu map, map berwarna krem dengan tulisan tangan. MIRANDA GRACIELA YUMNA.
Ia menarik napas pelan, membuka map itu.
Di dalamnya, ada foto Miranda saat baru masuk rumah sakit sepuluh tahun lalu, rambut acak-acakan, mata kosong, tapi entah kenapa Jodi masih bisa melihat sisa cahaya yang sama seperti yang dilihatnya hari ini.
Tangannya bergetar pelan saat menyentuh foto itu.
“Sepuluh tahun, dan kamu masih di sana…” gumamnya lirih.
Ia menutup matanya sejenak, tapi yang muncul justru wajah Miranda sore tadi, senyumnya, suaranya yang lembut saat memanggil “Mas Dokter,” dan genggaman tangannya yang hangat, terlalu nyata untuk disebut delusi.
Jodi mengusap wajahnya keras-keras, mencoba menghapus semuanya dari kepala.
Namun justru semakin ia menolak, semakin jelas sosok itu menempel di pikirannya.
“Kenapa kamu terasa begitu nyata, Mira…” ucapnya lirih.
Ia lalu menatap keluar jendela, ke taman kecil di halaman rumahnya.
Dan entah hanya imajinasinya atau bukan, di sana, di bawah cahaya lampu taman yang redup, sekelebat bayangan seperti seseorang duduk di bangku taman, rambut panjang, gaun biru pucat, dan kepala yang sedikit miring seolah sedang tersenyum ke arahnya.
Jodi mematung. Napasnya tercekat.
Kelopak matanya bergetar, antara percaya dan takut.
Dan di udara malam yang lembap itu, samar-samar terdengar suara lembut memanggil dari luar jendela.
“Mas Jodi.…”
“Mas!”
“Mas Jodi!!”
Jodi tersentak keras. Suara itu, yang semula terdengar lembut dan mengambang di luar jendela,mendadak berubah jadi nyata, dekat, begitu manusiawi.
Ia menoleh cepat.
Di ambang pintu ruang kerjanya, berdiri seorang perempuan muda dengan rambut diikat asal, masih mengenakan piyama bermotif boneka panda.
Alin.
Wajahnya tampak sedikit kesal tapi juga lega.
“Mas kapan pulang? Kok malah bengong di situ? Dari tadi Alin manggil gak nyaut!” katanya sambil melangkah masuk, menyalakan lampu ruangan yang lebih terang.
Cahaya putih hangat langsung mengusir bayangan di luar jendela.
Jodi refleks menatap ke arah taman lagi, kosong. Tak ada siapa pun di sana. Hanya kursi basah oleh sisa hujan dan dedaunan yang menempel di permukaannya.
Ia menelan ludah, berdeham pelan.
“Mas, barusan aja pulang,” jawabnya, mencoba tersenyum. “Capek, jadi sempat duduk dulu di mobil.”
“Oh… kirain Mas pulangnya bakal malam lagi,” kata Alin pelan, sambil menyibak anak rambut yang jatuh di wajahnya. Ada nada lega di suaranya, disamarkan dengan senyum kecil. “Kalau tahu pulangnya cepat begini, Alin pasti udah buatin makan malam dari tadi.”
Jodi tersenyum tipis, meski matanya masih tampak lelah, lalu melangkah pelan ke arah Alin.
“Nggak apa-apa. Mas juga nggak terlalu lapar,” katanya, mencoba terdengar ringan, seraya mengusap pelan rambut Alin.
Alin menatapnya sejenak, lalu mengernyit pelan. “Tapi wajah Mas kayak baru ngelihat hantu.”
Nada suaranya terdengar setengah bercanda, tapi tatapannya menelusuri wajah Jodi dengan rasa ingin tahu.
Jodi terdiam sepersekian detik. Senyum di bibirnya nyaris pudar.
“Mungkin… Sepertinya Mas memang ngelihat sesuatu,” gumamnya, hampir tak terdengar.
“Hah? Apa?” tanya Alin cepat, tapi Jodi sudah menunduk, membuka jas dokter putihnya, lalu menggantungkannya di sandaran kursi.
“Nggak, cuma capek aja,” ujarnya, kali ini dengan senyum yang lebih meyakinkan.
“Beneran?”
“Iya sayang..”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Ketika hati tak sanggup menerima kehilangan, pikiran menciptakan dunia baru untuk melanjutkan cinta yang tertinggal.”