Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6.
Namun suara Mbah Jati seakan tak cukup kuat menembus keangkuhan arwah Tuan Menir. Dari cermin, wajah bule itu kini tampak marah. Matanya memerah, darah meleleh dari salah satu lubang hidungnya. Lalu, suara lirih beraksen Belanda terdengar... samar, namun jelas:
“Aku ora iso lunga... Kodasih... isih janjeni tresnane...”
Mbah Jati tercekat. Nama Kodasih disebut langsung oleh makhluk dari alam kasatmata itu. Kang Pono menoleh dengan wajah bingung, sementara Pak Karto mulai melafalkan doa pelindung, meski bibirnya gemetar. Sedangkan Arjo malah semakin mendekat ke arah cermin karena begitu penasaran.
Tiba-tiba, bayangan di cermin berubah. Kini bukan hanya wajah Tuan Menir, melainkan ada juga sesosok perempuan Jawa yang muda belia berbaju lurik lusuh, rambutnya digelung rapi, mata memancarkan sedih yang dalam. Kodasih.
Sosok itu berdiri di samping Tuan Menir, tapi bukan sebagai bayangan hantu, melainkan kenangan. Kenangan dari beberapa tahun silam. Kodasih yang mengikat cinta sang Tuan Menir.
"Apa itu...?" tanya Arjo lirih.
Mbah Jati menunduk. Ia tahu, ini semua adalah akibat dari pelet pengasihan yang pernah ia berikan beberapa tahun silam, saat Kodasih muda belia menangis memohon pertolongan.
“Pelet itu.. tidak hanya mengikat dan menjerat hati Tuan Menir, tetapi juga mengikat roh nya.”
Suara Mbah Jati terdengar berat.
"Kodasih nyuwun supaya Tuan Menir tresna, tapi tresnane ora mung sajrone urip... nganti mati, isih nyandhet. Saiki, kodam pelet iku durung sirna..." (Kodasih memohon agar Tuan Menir mencintainya, tapi cintanya tidak hanya selama hidup, sampai mati masih mengikat. Sekarang kodam pelet itu belum hilang)
Asap kemenyan makin pekat. Cermin pecah tiba-tiba. Retakan menyebar seperti akar, dan dari balik retakan itu, tangan pucat meraih keluar, mencoba menembus batas dunia.
Mbah Jati segera mengangkat tangan, menggenggam keris pusaka miliknya. Suaranya naik, kini menggema:
“Kakang kawah adhi ari ari, nyawiji ing alam langgeng... putus tresna dunya, putus tali sangsara... bali marang ngendi asalmu!”
Namun tangan itu masih bertahan. Bahkan kini, di cermin itu tampak sepasang mata. Mata Kodasih, menatap dengan kesedihan yang dalam, air mata menetes perlahan dari balik retakan kaca.
“Sekarang panggil Kodasih ke sini!” titah Mbah Jati.
Pak Karto segera bangkit dan berlari menuju ke kamar Nyi Kodasih.
Beberapa saat kemudian, Nyi Kodasih datang ke ruang depan. Wajahnya pucat, langkahnya gontai, dan air mata membasahi pipinya. Kodasih lalu duduk bersimpuh di dekat Mbah Jati.
“Nduk… kamu harus lepaskan pelet aji pengasihanmu. Kalau tidak, arwah Tuan Menir masih akan terus bersamamu. Dan kalau aku paksa mengusirnya… jiwamu bisa ikut terbawa olehnya,” ucap Mbah Jati lirih namun tegas.
“Kamu bisa ikut mati,” lanjutnya, menatap Kodasih dengan mata yang berat akan beban keputusan.
“Tapi… kalau kamu lepaskan pelet itu… semua yang pernah diberikan oleh Tuan Menir. Harta, rumah, kemewahan… semuanya akan hilang. Begitu juga cintanya… dan kehadirannya.”
Kodasih yang terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Tangisnya pecah.
“Hu.... hu.... hu... Aku… aku tidak ingin kehilangannya, Mbah… Dia satu-satunya yang pernah mencintaiku tanpa syarat… Bahkan setelah mati pun, dia tetap datang…”
Mbah Jati menatap cermin retak itu. Tangan pucat masih meraba, dan kini sebagian wajah arwah Tuan Menir sudah terlihat, separuh menembus batas antara alam.
“Cinta dari dunia arwah tak pernah adil, Nduk. Ia menuntut… bukan memberi. Itu bukan cinta, tapi keterikatan. Ikatan itu harus kamu putuskan sendiri.”
Kodasih terdiam. Lalu perlahan, tangannya meraih liontin berlian di lehernya, benda yang dulu diberikan oleh Tuan Menir saat pertama kali mereka bertemu di malam bulan purnama.
“Kalau aku memilih untuk tetap bersamanya… bisakah dia tinggal? Menemaniku? Tanpa membawa kematian?”
Mbah Jati menghela napas. “Ada satu jalan. Tapi harganya berat…”
“Aku siap.”
“Dia bisa tinggal… tapi bukan sebagai roh bebas. Kamu harus menjadikannya budak penjaga, penunggu gaib. ...”
Mbah Jati lalu mencondongkan tubuh nya ke arah Kodasih. Dia membisikkan sesuatu pada Kodasih. Karena melihat di ruang depan itu ada satu orang pemuda yang belum dewasa. Apalagi pemuda itu begitu penasaran.
Setelah Mbah Jati selesai membisikkan. Mata Kodasih membelalak .????
“Tapi dia akan tetap di sini. Akan melindungi kamu, melindungi rumah ini, tanah ini, selama kamu hidup.” Ucap Mbah Jati lagi.
Kodasih menunduk. Lama. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara gemeretak dari cermin retak.
“Aku… rela. Asal dia tidak hilang, harta harta ku juga tidak hilang..”
Mbah Jati mengangguk. Ia menggenggam kerisnya lebih erat, lalu menggambar lingkaran di lantai dengan abu arang bercampur kemenyan. Mantra baru mulai dilantunkan, lebih dalam, lebih berat, seolah membuka gerbang tak kasatmata.
Arwah Tuan Menir menatap dari cermin, kali ini tanpa air mata. Matanya kosong. Namun ia tidak berontak lagi. Ia hanya... menerima.
Dan saat mantra selesai, cermin meledak menjadi debu halus.
Dari dalam lingkaran, berdiri sosok bayangan samar. Sosok kabur yang selalu berdiri di ujung penglihatan. Ia membungkuk dalam pada Kodasih, lalu menghilang ke balik bayang-bayang rumah.
Mbah Jati menghela napas panjang. “Mulai hari ini, rumah ini dijaga oleh cinta yang tak lagi mengenal rasa.”
Kodasih hanya duduk, menangis dalam diam.
🌸🌸🌸
Di malam hari, suasana di loji Tuan Menir tampak sunyi senyap. Lampu-lampu minyak menyala temaram, cahayanya bergoyang pelan tertiup angin dari sela jendela kayu tua. Semua penghuni loji telah masuk ke kamar lebih awal, entah karena lelah, atau karena takut akan sesuatu yang tak kasat mata.
Di sudut loji besar itu, terdengar isak pilu dari kamar Kodasih. Perempuan muda itu duduk termenung di depan cermin besar berbingkai emas, air matanya mengalir membasahi pipi. Radio transistor di pojok ruangan baru saja menyiarkan berita: Tuan Hendrik van der Vliet, yang oleh para pribumi dijuluki Tuan Menir, telah dieksekusi mati oleh pasukan rakyat. Kekuasaan Belanda pun resmi berakhir setelah menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Kodasih menatap bayangannya sendiri dengan mata sembab.
"Tuan Menir sudah mati... Tapi arwahnya masih di sini. Masih menjagaku. Meski tak ada lagi cinta, tak mengapa... yang penting rumah ini, perhiasan, dan seluruh tanah perkebunan menjadi milikku," bisiknya lirih.
“Aku harus segera mengurus surat surat penting.. sebelum pasukan rakyat atau siapa pun merampas semua harta Tuan Menir. “
Ia menyentuh kalung berlian di lehernya. Senyum kecil muncul di wajahnya yang lelah.
"Selama aku masih kaya, tak sulit mencari cinta dari laki-laki lain..." gumamnya dalam hati.
Akan tetapi tiba tiba kedua mata Kodasih membulat dan jantung berdetak sangat keras..
Kodasih menoleh ke arah jendela sambil memegang dadanya yang terasa jantungnya akan meloncat keluar...
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk