NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Di Era 70-an: Takdir Peran Pendukung Perempuan

Reinkarnasi Di Era 70-an: Takdir Peran Pendukung Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Menjadi NPC
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: YukiLuffy

Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.

Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.

Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Pengetahuan Modern

Esok paginya, udara desa Qinghe terasa dingin menusuk. Kabut tipis menyelimuti ladang, embun menempel di daun jagung kering, dan jalan setapak licin oleh sisa hujan malam. Para petani desa sudah berangkat lebih awal, membawa cangkul dan keranjang anyaman.

Zhao Liyun berjalan perlahan, pundaknya menanggung ember bambu. Tangannya masih sakit akibat kerja kemarin, tapi wajahnya menunjukkan tekad baru. Ia tidak ingin lagi sekadar mengikuti alur naskah yang kejam.

Jika aku ingin bertahan hidup, aku harus menemukan cara. Tidak cukup hanya bekerja keras. Aku harus pintar… memanfaatkan apa yang aku tahu.

Hari itu, kepala tim kerja membagi tugas. Para lelaki mencangkul sawah, sebagian perempuan menjemur jagung, dan sisanya mengurus dapur kolektif.

“Liyun, kau ikut ke dapur!” perintah kepala tim sambil menunjuk.

Beberapa perempuan langsung berbisik.

“Hah? Dia ikut dapur? Apa tidak malah bikin kacau?”

“Betul. Tangan lambannya bisa bikin kita telat masak.”

Liyun menunduk, menahan rasa tidak enak. Ia tahu, tubuh asli memang terkenal lamban. Tapi kali ini ia punya rencana.

Dapur umum desa Qinghe hanyalah bangunan bata sederhana dengan atap jerami. Di dalamnya ada tungku besar dari tanah liat, dipakai untuk merebus bubur dalam panci besi hitam.

Beberapa perempuan desa sudah mulai bekerja, memotong sayur lobak, mengupas ubi, dan menyalakan api dengan jerami kering. Bau asap kayu memenuhi ruangan, membuat mata pedih.

“Zhao Liyun, kau potong sayur saja,” kata seorang wanita tua dengan nada malas.

“Baik, Bibi.”

Ia duduk, mengambil pisau tumpul, dan mulai mengupas lobak. Gerakannya pelan, tapi ia tidak terburu-buru. Matanya justru memperhatikan panci besar di tungku, tempat bubur jagung mendidih.

Bubur itu kental, warnanya kuning pucat, tapi ada aroma agak gosong. Liyun mengerutkan kening. Tidak heran semua orang sering mengeluh rasanya hambar atau terlalu keras. Masaknya asal-asalan.

Ingatan modernnya muncul. Ia pernah menonton video resep tradisional di dunia aslinya tentang bagaimana membuat roti kukus empuk meski dengan bahan sederhana.

Kalau aku bisa memperbaiki makanan di sini, mungkin orang-orang mulai melihatku berbeda.

Siang itu, saat bubur sudah dibagikan, Liyun memberanikan diri bicara.

“Bibi, aku… boleh coba cara lain untuk kukus mantou?” tanyanya hati-hati.

Wanita tua itu mendengus. “Kau? Bisa apa? Jangan-jangan kau mau buang-buang bahan.”

Namun salah satu perempuan muda penasaran. “Biarkan saja. Toh kalau gagal, bisa kita makan sendiri.”

Akhirnya, dengan tatapan sinis setengah malas, mereka mengizinkannya.

Liyun mengambil sedikit adonan tepung jagung dan gandum. Di desa, biasanya mereka langsung membentuk bulatan dan mengukusnya, hasilnya keras dan kering.

Ia menambahkan sedikit air hangat, menguleni dengan sabar. Tangannya memang lemah, tapi ia tahu caranya. Ia membiarkan adonan sedikit lebih lembek, lalu diamkan sebentar di dekat tungku hangat agar mengembang.

Perempuan lain menonton dengan kening berkerut.

“Apa gunanya diamkan begitu lama?”

“Ya ampun, membuang waktu saja.”

Namun Liyun tetap melanjutkan. Setelah cukup waktu, ia bentuk adonan menjadi bulatan kecil dan kukus dengan kain basah menutupi tutup panci supaya uap air tidak menetes dan membuat roti keras.

Setelah beberapa saat, aroma harum lembut menyebar di dapur. Tidak seperti biasanya, kali ini mantou tampak lebih empuk, warnanya kuning cerah.

“Coba…” Liyun mengambil satu, lalu membelahnya. Asap putih mengepul, teksturnya lembut, berbeda jauh dari mantou keras yang biasa mereka makan.

Perempuan muda itu langsung mencicipi. Matanya melebar. “Enak! Empuk sekali! Bagaimana kau melakukannya?”

Yang lain ikut mencicipi, mulut mereka tak berhenti mengunyah. Bahkan wanita tua yang awalnya mencibir pun terdiam, lalu mengangguk pelan.

Suara kekaguman mulai terdengar. “Kalau kita bisa bikin mantou seperti ini, semua orang pasti senang.”

“Betul. Bahkan anak-anak pun akan lahap makan.”

Zhao Liyun hanya tersenyum kecil, menahan rasa lega.

Berhasil. Ini langkah kecil, tapi cukup untuk membuat mereka memandangku sedikit berbeda.

Kabar menyebar cepat di desa. Saat makan siang dibagikan, banyak orang kaget mendapati mantou empuk di mangkuk mereka.

“Wah, ini benar-benar enak!”

“Siapa yang bikin?”

“Zhao Liyun? Tidak mungkin… benar dia?”

Bisikan-bisikan itu terdengar ke mana-mana. Untuk pertama kalinya, nama Liyun tidak hanya disebut untuk cemoohan.

Di sudut, Wu Shengli melihat semua itu dengan tatapan samar. Senyum tipis muncul di wajah kerasnya.

Jadi dia benar-benar berbeda dari yang orang bilang.

Sore hari, setelah pekerjaan selesai, Liyun pergi ke sungai untuk mencuci ember. Jalan setapak licin karena lumpur, tubuhnya lelah. Ember besar penuh air membuatnya sempoyongan.

Saat ia hampir tergelincir, sebuah tangan kokoh kembali meraih lengannya.

“Kau lagi.”

Wu Shengli berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi datar tapi penuh perhatian.

Liyun terbelalak, wajahnya memanas. “Aku… aku hampir jatuh…”

“Ya. Kalau jatuh, kau bisa terbawa arus. Jangan ceroboh,” kata Shengli singkat. Ia lalu mengambil alih ember besar itu dengan mudah, membawanya ke tepi tanpa banyak bicara.

Liyun menatap punggungnya yang tegap, perasaan hangat menjalari dadanya. Dunia ini keras, tapi di tengah semua itu, ada seseorang yang diam-diam memperhatikannya.

Malamnya, di rumah, Madam Zhao sudah menunggu dengan wajah masam.

“Kau dapat pujian di dapur, ya? Jangan kira itu akan membuatmu lebih baik dari anak-anakku!” suaranya tajam, menusuk hati.

Liyun menggenggam rok lusuhnya erat-erat, menahan diri untuk tidak membalas. Ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan.

Namun dalam hati, ia tersenyum kecil. Aku sudah memulai. Sekalipun kau benci, aku akan terus maju.

Beberapa hari berikutnya, Liyun terus menggunakan pengetahuannya sedikit demi sedikit.

Ia mengajari anak-anak desa cara membuat permen sederhana dari rebusan ubi dan gula merah cair, sesuatu yang membuat mereka tertawa riang. Ia juga mencoba memanfaatkan abu kayu dan minyak sisa dari dapur untuk membuat sabun kasar. Baunya berbeda, tapi cukup membuat tangan lebih bersih daripada hanya dengan air.

Penduduk desa mulai menatapnya dengan cara lain. Rasa ingin tahu tumbuh, menggantikan sebagian cibiran.

“Anak itu ternyata ada gunanya juga.”

“Siapa sangka, dia bisa menemukan hal-hal seperti itu.”

Zhao Liyun merasakan sedikit cahaya di hidupnya. Ia tahu, jalannya masih panjang, tapi inilah awal dari perubahan.

Suatu sore, ia duduk di tepi sawah, menghela napas panjang setelah seharian bekerja. Matahari hampir terbenam, langit berwarna jingga.

Wu Shengli lewat dengan pikulan kayu di bahu. Ia berhenti, menoleh sebentar.

“Kau mulai berbeda,” katanya pelan.

Liyun kaget. “Berbeda?”

Shengli menatap lurus ke arah horizon, suaranya rendah. “Dulu orang bilang kau malas, iri, tidak berguna. Tapi sekarang… aku rasa mereka akan mulai berpikir dua kali.”

Hati Liyun bergetar. Kata-kata sederhana itu lebih berarti daripada semua pujian yang pernah ia dengar.

“Terima kasih,” bisiknya, menunduk.

Shengli tidak menambahkan apapun, hanya berjalan lagi membawa bebannya. Tapi bagi Liyun, langkah itu meninggalkan jejak dalam di hatinya.

Untuk pertama kalinya sejak ia menyeberang ke dunia ini, ia benar-benar merasa… ia punya masa depan.

1
Lala Kusumah
pengen hajar tuh si madam 😡😡😡👊👊👊
Lina Hibanika
heh 😒 dah numpang belagu lagi 😡
Lina Hibanika
hadir dan menyimak
Fauziah Daud
trusemangattt...
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjuttt
Dewiendahsetiowati
Zhao Liyun gak punya jari emas ya thor
YukiLuffy: ngga kak
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!