Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 Pertemuan Keluarga
Maya masih terpaku, Rara menyenggol pelan bahunya. "May, sadar kamu masih di dunia nyata," tegurnya pelan.
Maya gelagapan lalu berusaha menetralkan napasnya, "Ah, iya ustadz, terima kasih banyak, ini semua juga atas bantuan ustadz kok."
Belum sempat ustadz Azzam berbicara lagi, dari arah belakang mereka suara teriakan ceria menggema. "Kak Maya, I am coming," Alin dan Mika berlari kecil ke arah Maya.
Maya melotot lalu merentangkan kedua tangannya, "Oh my god, adik tersayang gue dan plastik Mika gue akhirnya kalian datang juga, ayo gue udah lama ga merasakan pelukan kasih sayang," ucapnya dramatis.
Ketiganya langsung berhambur dalam pelukan hangat, bahkan saking senangnya mereka tampak berjingkrak kecil. Pak Arman dan buk Rani yang berjalan di belakangnya tampak saling berpandangan sembari tersenyum kecil.
Kiai Bahar dan beberapa orang yang melihat juga ikut tersenyum kecil. Teman-temannya juga ikut terharu, walaupun sembari menahan tawa geli melihat tingkah lucu tiga orang itu.
"Oh my god, May, ini beneran soulmate gue kan?! lo berubah pesat banget baby," Alin mencubit kedua pipi Maya pelan.
Maya meringis pelan, "Iya inii gue, my plastik Mika, gimana gue udah mirip nyonya Arab belum?" Maya berputar pelan.
"You look so perfect babe, apalagi suara lo pas ngaji tadi aaaa gue meleleh banget dengernya," ucap mika dramatis.
Maya tersenyum lebar, "Oh thank you babe, lo juga beda banget hari ini, lebih yali yali."
"Yaelah bisa aja lo kupat tahu," Mika tersenyum sembari membetulkan pashmina nya.
"idihhhh saltingg lo ya," Maya terkikik geli.
Disambut tawa dari beberapa orang yang ada di sekitar mereka. Alin maju lalu berkata, "Udah...udahh ya waktu pertemuan antara dua sahabat sudah berakhir waktunya pertemuan adik dan kakak."
Maya tersenyum lalu menatap Alin dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Alin lo udah mirip sama ustadzah-ustadzah tau, cocok deh muka lo jadi keliatan makin kaya cilok."
"Ihh kok cilok si, Alin habisin waktu seharian tau buat cari outfit gini, Lo juga kak makin cakep aja mirip ukhti-ukhti Mesir," Alin tersenyum tipis.
Maya tersenyum bangga, " Ah bisa aja lo, oh iya gimana kabar lo?"
"Alin sehat wal afiat kok, oh iya alin bawa banyak barang kesukaan kakak tau," ucapnya.
"Wah yang bener?? lo emang adik ter the Best sih Lin,"
"Jelas dong, Alin gitu loh,"
Maya menoleh kearah teman-teman satu asramanya, "oh iya kenalin ini temen-temen gue disini, itu yang paling kalem namanya Sinta," Sinta melambaikan tangannya.
"Nah yang sipit itu Zahra, terus yang pake kacamata namanya Rara, nah tuh yang rada-rada namanya Dewi," Maya menyebutkan satu persatu temannya.
Dewi cemberut kesal,"May, enak aja ya lo bilang gue rada-rada."
Maya hanya menjulurkan lidah,membuat beberapa temannya terkekeh kecil.
Mika mendekat lalu berbisik pelan pada Maya, "Kalau yang ganteng itu siapa May?" matanya menatap ustadz Azzam.
Maya diam sebentar tapi sebelum ia menjawab, Ustadz Azzam lebih dulu bersuara. "Saya Azzam putra kiai Bahar, sekaligus pembimbing Maya."
Mika mengagguk kecil, ia menatap kagum" Pantesan aja lo betah disini, rupanya ada ustadz ganteng ya."
Maya tersenyum canggung, "Mik, plis deh ya ini tuh bonus aja, lagian stop liatin dia kayak gitu, ntar orangnya risih."
Mika tersenyum lebar, lalu beralih menatap ustadz Azzam lagi. "Oh salam kenal ustadz, kalau boleh tau 08 berapa ya, siapa tau kita bisa kenal lebih jauh gitu."
Azzam terkekeh kecil lalu menggeleng pelan, Maya menginjak kaki Mika. Membuat Mika meringis kecil,"Aww Maya, kaki gue bisa gepeng ni."
"Siapa suruh lo asal ngomong gitu," Bisiknya pelan.
Mika cemberut,"Yaelah sensi amat si lo, kalau punya barang bagus tuh bagi-bagi lah May."
"Bagi-bagi, lo kira dia barang loak apa," Maya menatap Azzam, lalu kembali berbicara, "Maaf ya Ustadz, temen saya ini emang agak narsis sedikit.
Mika melotot tak terima, sementara ustadz Azzam hanya tersenyum kecil. "Tidak apa, lagipula kamu dan teman kamu ini sebelas dua belas kok."
Terdengar kekehan kecil teman-temannya, membuat Maya dan Alin saling berpandangan geli.
Maya tersenyum tipis, lalu dari arah lain buk Rani tampak menghampiri dan langsung memeluk tubuh Maya. "Mamah bangga banget sama kamu sayang, mamah gak nyangka anak mamah ini ternyata kamu bisa seperti ini."
Maya mengulum senyum,"Thanks mah. Semua orang kan bisa berubah, termasuk Maya, jadi gak ada yang gak mungkin."
Buk Rani melepaskan pelukan nya lalu tersenyum manis sembari menangkup wajah sang putri. "Kamu berhasil berubah tanpa mengubah jati diri kamu sendiri nak, maafin mamah ya kalau selama ini mamah terlalu keras sama kamu."
Maya menatap sang ibu dengan mata berkaca-kaca lalu mengangguk pelan.
"Kita semua bangga sama kamu, ya kan pah," Buk Rani menoleh ke arah pak Arman yang kini tengah menatap canggung.
Maya menoleh ke arah sang ayah yang kini tengah menatapnya canggung. "a..ah iya kita semua bangga padamu nak," ia berjalan mendekat ke arah Maya.
Buk Rani tampak mundur, memberikan sedikit ruang untuk keduanya berbicara. Maya hanya diam menahan rasa canggung yang begitu kentara. Ingin rasanya menyapa terlebih dahulu,namun egonya menentang.
Pak Arman tampak berbicara pelan, "Bagaimana kabarmu nak?"
Maya masih menunduk tak ingin melihat wajah sang ayah, "Ya sepert yang papah liat, Maya sehat kok."
"Papah.....papah bangga sama kamu nak, maafin papah ya kalau selama ini papah terlalu keras sama kamu, sampai papah harus memaksa kamu masuk kesini dan membuat kamu tidak bisa menjadi seorang dancer seperti yang kamu inginkan, tapi nak percayalah, papah cuma mau yang terbaik buat kamu," ucap pak Arman tulus.
Hati Maya seolah diketuk dengan keras,ia masih enggan menatap wajah sang ayah. "Gak papa kok pah lagipula Maya udah betah disini, cita-cita Maya bukan lagi dancer, Maya cuma pengen jadi anak baik aja, dan...Maya juga bangga sama papah, sosialisasi tadi itu keren banget."
Pak Arman tersenyum kecil, membuat Denis sang asisten menghentikan kegiatannya. Untuk kali pertamanya ia bisa melihat senyum itu dari bos nya itu.
Pak Arman maju selangkah, lalu berbicara pelan."Boleh papah peluk kamu?," tanyanya penuh harap.
Maya langsung mendongak, matanya berkaca-kaca sembari tersenyum samar ia mengangguk setuju. Pak Arman langsung berhambur ke pelukan sang putri, berulang kali ia mengusap dan mencium kepalanya. Hati keduanya berdesir bahagia, Maya yang biasanya tak pernah menampakkan wajah sedihnya, kini justru menangis tersedu.
Membuat orang-orang disekitarnya ikut terbawa suasana. Buk Rani mengelus punggung Maya, senyumnya tak luntur sedikitpun.
Mika merangkul bahu Alin lalu tersenyum senang. 'Akhirnya kak Maya sama papah kembali kayak dulu lagi, terima kasih ya Allah,' bisik Alin dalam hati.
Sementara itu Maya dan pak Arman saling tersenyum, lalu terus berpelukan hangat. Pak Arman kemudian merangkul bahu Maya dan Alin.
Kiai Bahar dan Ustadzah Uhaira tampak tersenyum hangat begitu pula dengan Azzam. Matanya tak berkedip melihat sosok Maya rupanya bisa menangis juga.
"Sepertinya ini sudah waktunya untuk makan bersama, mari Pak Arman dan Buk Rani, kita kerumah kami," Ustadzah Uhaira berbicara sopan.
Semuanya mengagguk setuju lalu mulai melangkah pelan, Maya masih dirangkul sang Ayah. Dibelakangnya Alin, Mika dan buk Rani tampak berjalan beriringan. Disusul oleh empat teman satu asramanya.
Mereka berjalan bersama menuju kediaman kiai Bahar.
................
Di sisi lain Nadia dan dua temannya berdiri di balik pilar bangunan. Rupanya sedari tadi mereka menyaksikan pertemuan keluarga Maya itu.
Nadia menyilangkan tangan di dada, "Pantas saja anak itu diperlakukan spesial, anak donatur tetap gitu, Rita, Putri kita punya rencana yang lebih efektif kali ini." Ia menatap keduanya dengan senyum manis.
"Ini bakalan lebih seru Nad, aku bakal pastiin setelah ini Maya akan jadi trending topik di pesantren kita," Rita tersenyum licik.
"Bener, anak itu ternyata anak emas karna dia anak donatur, pantes aja si Maya kaya spesial banget, aku gak nyangka kiai Bahar sama keluarganya ternyata pilih kasih gitu," tambah Putri.
Nadia memiringkan wajahnya, senyum tipis terukir,"Maya, kamu pikir aku bakal berhenti gitu aja? kamu salah besar, justru untuk yang sekarang aku pastikan dia bakalan bener-bener malu."
.
.
✨️ Bersambung ✨️