“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Tamu Tak Diundang
Siang itu, rumah Arman-Widya baru saja tenang. Widya sedang rebahan di sofa sambil scroll catatan kuliah di laptop, wajahnya setengah mengantuk.
Tiba-tiba… tok… tok… tok!
Widya melirik malas. “Siapa lagi siang bolong gini datang sih?” gumamnya sambil bangkit.
Begitu pintu dibuka, seorang perempuan berpenampilan rapi dengan make up tipis berdiri di depan. Matanya langsung menyapu Widya dari atas ke bawah.
“Eh… kamu Widya, ya?” suaranya dingin.
Widya mengerjap. “Iya. Kamu…?”
“Priya. Pacarnya Arman.”
Widya langsung tercekat. Otaknya butuh beberapa detik untuk mencerna kata-kata barusan.
“Maaf… pacarnya siapa?” Widya sengaja mengulang, alisnya terangkat.
“Arman. Suamimu.” Priya tersenyum tipis, tapi matanya jelas menusuk. “Boleh aku masuk?”
Widya refleks memegang gagang pintu lebih erat. Ada rasa kesal sekaligus bingung, tapi ia buru-buru pasang senyum palsu. “Silakan.”
Priya duduk di ruang tamu, menatap sekeliling rumah. “Jadi ini rumah kalian? Lumayan… sederhana.”
Widya duduk berhadapan, menahan diri. “Ada perlu apa ya? Mas Arman lagi kerja, belum pulang.”
Priya menatap langsung, matanya menyipit. “Aku cuma mau jelasin. Arman menikah sama kamu bukan karena cinta. Dia sama aku udah lama. Jadi jangan terlalu merasa… menang, ya.”
Widya terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin langsung meledak, tapi ia memilih santai. “Oh gitu? Ya sudah. Terima kasih sudah klarifikasi. Aku jadi nggak perlu buang energi buat mikirin hal yang nggak penting.”
Priya terkejut, wajahnya menegang. “Kamu… bisa ngomong gitu?”
Widya menyandarkan punggung ke sofa. “Kenapa nggak bisa? Kan jelas-jelas pernikahan ini cuma formalitas buat keluarga. Kamu pacarnya, aku istrinya. Status kita jelas beda.”
Suasana mendadak hening. Priya menggenggam tasnya lebih kencang, wajahnya sulit dibaca.
Tepat saat itu, suara pintu depan berderit. Arman baru pulang lebih cepat dari kantor. Ia berhenti di ambang pintu, matanya membulat melihat dua perempuan itu saling tatap di ruang tamu.
“Widya?” suaranya serak.
“Priya?”
Widya menoleh pelan, bibirnya melengkung sinis. “Welcome home, Mas. Tamu spesialmu udah nunggu dari tadi.”
Arman langsung pucat.
Begitu menyadari situasi genting, Widya langsung berdiri. “Aku masuk dulu, ya. Silakan ngobrol.” Suaranya datar, tapi tatapannya tajam ke Arman sebelum ia melangkah masuk kamar.
Pintu kamar ditutup rapat. Namun, Widya tidak benar-benar istirahat. Ia berdiri di balik pintu, telinganya menempel, berusaha mendengar jelas percakapan di luar.
Arman duduk di sofa, melepaskan jasnya dengan wajah kesal. “Priya, apa-apaan kamu datang ke rumah?”
Priya mendengus, menyilangkan tangan. “Kenapa? Aku pacar kamu. Harusnya aku yang disani, bukan dia.”
Arman mengetukkan jari ke meja. Suaranya rendah tapi tegas. “Kita memang masih pacaran. Tapi sekarang aku sudah menikah. Kamu harus hargai Widya. Dia istriku.”
Dari balik pintu, jantung Widya berdegup kencang. Ada bagian kecil dalam dirinya yang hangat mendengar kalimat itu, meskipun ia tahu pernikahan ini cuma sandiwara.
Priya mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyala. “Hargai? Dia cuma istri di atas kertas, Arman! Kamu janji sama aku. Jadi… kapan kamu ceraikan dia?”
Arman memijit pelipisnya, napasnya berat. “Jangan nyolot gini, Priya. Kamu kira gampang? Kalau sampai keluarga tahu, kita berdua habis.”
Priya mengangkat dagu, suaranya naik setengah oktaf. “Aku nggak peduli keluarga! Yang aku tahu, kamu milik aku. Kamu yang bilang duluan, kan?”
Dari balik kamar, Widya menggenggam gagang pintu erat-erat. Matanya bergetar. Setiap kata “cerai” dari mulut Priya menusuk ke dadanya. Ia menutup mulut dengan tangan, takut kalau napasnya terdengar keluar.
Di ruang tamu, Arman berdiri, menatap Priya dingin. “Udah, cukup. Aku nggak mau bahas cerai sekarang. Pulanglah, Priya. Jangan bikin masalah di rumahku lagi.”
Priya terdiam, matanya berkaca-kaca, tapi tetap angkuh. “Baik. Tapi ingat, Arman. Aku nggak akan tinggal diam.”
Ia bangkit dan keluar rumah dengan langkah cepat. Pintu ditutup keras, meninggalkan keheningan.
Arman memijit kening, duduk lagi di sofa dengan wajah kusut. Sementara itu, di balik pintu kamar, Widya terpekur. Perasaan yang campur aduk antara lega, marah, dan… entah kenapa sedikit kecewa berputar di kepalanya.
---