Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam
“Kamu dibebaskan”
Gadis itu mendongak, menatap seorang penjaga cell membuka pintu jeruji besi dengan kunci yang selalu tergelantung pada ikat pinggangnya. Menatap nanar pada sang petugas, Aletha hanya baru bisa bernapas sedikit lebih lega, saat justru semua udara diraup kekuasaan.
“Tidak ada bukti yang valid tentang pembunuhan yang kamu lakukan”
Aletha menatap kedua orang tuanya yang sudah bersimbah air mata. Sesak yang kali ini terasa jauh lebih menyiksa dari saat kematian Kakaknya atau saat pendakwaan yang tiba-tiba. Aletha bisa lihat bagaimana Kasandra berlari memeluknya dengan erat, lantas bersaut dengan Avrem.
“Maafkan kita, sayang”
Aletha hanya diam. Lagi pula, apa yang perlu dimaafkan saat jurstu dirinyalah yang memulai untuk ada pada situasi yang tidak mereka setujui?
“Sayang”
Aletha berbalik, menyaksikan Kasandra yang baru memulai duduk pada meja belajar milik anak perempuannya. Menatap sebuah laptop yang masih menyala bertengger disana dan coretan teori gila yang anaknya sendiri ciptakan. Melihat semua yang tertempel didinding, baginya bukan sebuah keseriusan untuk percaya. Bahwa anaknya yang baru ingin memasuki umur tujuh belas tahun meniptakan teroi-teori gila.
Kasandra menelan ludahnya susah payah, kembali menoleh pada Aletha yang sudah lebih dulu kembali pada pandangan awal.
“Apa yang kamu mau?”
“Keadilan”
“Bicara soal keadilan, dunia nggak akan bisa kasih kamu itu. Berapa kali Mamah dan Papah harus bilang sama kamu?”
“Berapa kali juga aku harus minta kalian untuk nggak ketemuin aku lagi sama Dokter Utomo?”
Kasandra sejenak diam. Mengabaikan bagaimana benang merah yang tersusun sempurna pada papan tulis. Menghapus semua kebodohan yang kian lama terlihat nyata.
“Listen! Kamu nggak gila atau apapun yang orang lain bilang tentang kamu, kamu cuman beda. Lihat semua yang ada disini”
Aletha masih diam di tempatnya. Tak peduli dengan Kasandra yang menunjuk semua ‘kejeniusan’ yang ada diruangan ini. Ruangan dingin dengan funitur yang Avrem bilang, lebih horror dari serial drama pembunuh berantai yang dulu sempat mereka tonton bersama. Kepingan puzzle yang tersusun rapih, hanya masih belum lengkap saja.
“Ini semua sempurna, kamu luar biasa”
“Lebih baik Mamah pergi dari pada ngasih aku motivasi yang nggak penting” kali ini Aletha berbalik, membereskan semua kertas yang berserakan dilantai. Menjadikannya pada satu kotak yang memang dia sengaja untuk menampung segala ide gilanya. Pandangan mereka saling temu, menyalurkan sihir yang entah dipercaya semua orang atau tidak. Bahwa kenyataannya, Aletha yang sekarang adalah Kasandra dimasa lalu. Tatapan dingin dan penuh kemisteriusan, rasa sakit yang tidak pernah bisa terungkap dengan sembarangan, senyum yang harus dunia tahu tidak ada yang bisa membuat itu.
Aletha adalah Kasandra dengan versi yang lebih, jenius.
“Baiklah”
—
Saat kamu merasa ada yang mengganjal,
sesuatu sekecil apapun akan membuatmu penasaran.
Percakapan yang terus berulang setiap malam dan tatapan intimidasi pada setiap sudut sekolah. Mungkin, selain menerima hidup seperti ini, Aletha juga harus terbiasa dunia melihatnya dengan kaca mata mereka. Pemikiran yang tidak logic, ucapan yang dingin dan menyeramkan, bagaimana caranya menolak, atau cara dia bahagia.
Tepat dihalaman belakang kelas, saat semua siswa-siswi mempersiapkan diri untuk mata pelajaran pertama mereka. Gadis itu justru menggunakan indra pengelihatan dan penciumannya untuk kejadian yang sudah lebih dari dua tahun berlalu. Bercak yang dia yakini adalah cairan merah yang mengering terasa lebih jelas sekarang, saat tidak ada yang membuntutinya, atau sengaja membuntutinya.
“Lo intel beneran ya?”