NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:259
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gerbang Eclipsia

Kabut di sekitar mereka menebal, menyerap cahaya bulan hingga hutan seakan berubah menjadi perut dunia yang gelap.

Daevar melangkah maju, setiap langkahnya membuat tanah bergetar pelan. Matanya yang merah seperti bara memandang Bell tanpa berkedip.

> “Kau tak seharusnya ada, Bell Grezros,” suaranya berat, seperti besi yang digores batu.

“Kau adalah kegagalan yang seharusnya kuakhiri ratusan tahun lalu.”

Bell menurunkan pedangnya sedikit, bahunya rileks. “Dan kau gagal waktu itu. Kau akan gagal lagi sekarang.”

Dengan raungan yang memecah hening, Daevar menebas. Tebasan itu bukan sekadar serangan—ia membawa badai bayangan yang mampu merobek udara. Bell menahan dengan pedangnya, tubuhnya terdorong mundur hingga tumitnya menghantam akar pohon besar.

Suara logam bertemu logam menggelegar di tengah kabut.

Eryndra dan Lythienne hanya bisa mundur, sadar duel ini bukan untuk mereka. Setiap tebasan Daevar menciptakan retakan hitam di udara, retakan yang berdesis seperti jurang tak berdasar.

Bell bergerak cepat, menghindar, lalu membalas dengan tebasan menyilang. Percikan hitam-biru meletup saat pedang mereka bertemu lagi.

Daevar mendorongnya dengan kekuatan yang seperti gelombang pasang, membuat Bell terhuyung.

> “Kau pikir kau punya kehendak sendiri?” teriak Daevar. “Kutukan yang menghidupkanmu berasal dari Neraka, dariku! Cepat atau lambat, kau akan menjadi bagian dari kami.”

Bell menyeringai tipis, matanya dingin. “Kalau aku memang ditakdirkan menjadi iblis, aku akan mencabik takdirmu dulu.”

Ia memutar pedangnya, memanggil kekuatan yang selama ini ia hindari—kilatan cahaya biru pucat yang menjalar di sepanjang bilah, resonansi fragmen pertama yang ia temukan. Saat pedang itu berpendar, kabut di sekeliling mereka terbelah seperti tirai.

Daevar menyipitkan mata. “Jadi… kau sudah mulai membangunkannya.”

Serangan berikutnya bagaikan petir yang menghantam dua arah.

Bell menebas lurus ke dada Daevar, sementara iblis itu membalas dengan serangan vertikal mematikan. Dentuman yang lahir dari benturan mereka membuat hutan bergetar, dan dalam sepersekian detik, keduanya terpental mundur.

Daevar terdiam, darah hitam menetes dari celah zirahnya. Ia menatap Bell dengan tatapan yang tak lagi sekadar benci—ada pengakuan, walau samar.

> “Kita akan bertemu lagi, Pangeran Mayat… di ujung semua jalan.”

Dengan kabut pekat yang membungkusnya, Daevar menghilang, meninggalkan Bell terengah namun tegak berdiri.

Eryndra dan Lythienne segera menghampiri, wajah mereka tegang.

> “Kita harus bergerak sekarang,” kata Eryndra cepat. “Gerbang Eclipsia sudah terbuka… tapi hanya sebentar.”

Bell mengangguk. Pedangnya masih memancarkan cahaya biru, dan di dadanya, ia merasakan denyut aneh—seolah fragmen pertama bereaksi terhadap sesuatu di depan sana.

Kabut tipis menyelimuti kaki bukit. Di depannya, menjulang Gerbang Eclipsia—sebuah struktur kuno dari batu obsidian, diukir dengan simbol-simbol yang tampak bergerak pelan, seperti bernafas. Aura dingin yang keluar dari celahnya membuat udara di sekitar membeku, meski tak ada salju.

Bell menatap gerbang itu tanpa ekspresi, namun di matanya ada sedikit kilatan waspada.

> “Tempat ini… berada di luar jalannya waktu,” gumamnya.

“Bahkan roh tidak akan berani tinggal lama di sini.”

Eryndra menggenggam tongkatnya lebih erat.

> “Jika fragmen ketiga benar-benar ada di baliknya, kita mungkin akan menghadapi lebih dari sekadar iblis.”

Lythienne terbang di samping Bell, cahaya di sayapnya meredup.

> “Aku bisa merasakan sesuatu di baliknya… seperti dunia yang terbalik.”

---

Ketika Bell melangkah maju, gerbang itu mulai bergetar. Simbol-simbolnya memancarkan cahaya ungu, lalu perlahan terbelah, menampakkan celah di tengah. Dari sana, angin dingin berhembus, membawa suara bisikan yang tak dapat dimengerti—namun terasa seperti memanggil.

Bell melewati celah itu.

Sekejap, dunia di sekelilingnya berubah. Langit di atas berwarna hitam keperakan, dan tanah memantulkan cahaya seperti kaca. Pohon-pohon tumbuh terbalik dari udara, dengan akar yang menjuntai seperti cakar.

Di kejauhan, sebuah menara kristal hitam berdiri, berputar perlahan seakan melawan gravitasi.

> “Kita bukan di dunia manusia lagi,” kata Bell pelan.

“Ini adalah Umbra Realm… dunia yang menolak kehidupan.”

---

Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, suara langkah kaki bergema dari arah depan.

Dari kabut, muncul sosok tinggi berjubah abu-abu. Wajahnya tertutup topeng logam retak, dan di tangan kirinya ia membawa sebuah lentera yang menyala dengan api biru pucat.

> “Pewaris kutukan…” suara sosok itu dalam, bergema seperti dari dasar sumur.

“Jika kau ingin masuk ke Menara Umbra, tinggalkan satu hal yang masih membuatmu manusia.”

Bell menatapnya tajam.

> “Aku tidak punya apa-apa lagi yang manusiawi.”

Sosok itu terdiam sejenak, lalu perlahan mengangkat lentera. Api biru di dalamnya menyala lebih terang.

> “Kita lihat saja… apakah itu benar.”

Cahaya itu merenggut pandangan Bell, dan sekejap ia merasa tubuhnya tertarik ke dalam kegelapan. Saat kesadarannya mulai memudar, ia mendengar suara samar dari masa lalu—suara seorang wanita yang memanggil namanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!