Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benih Ketidakpercayaan
Lania mendorong troli perlahan, menyusuri lorong-lorong supermarket yang ramai oleh ibu-ibu dengan daftar belanjaan panjang. Sinar matahari menembus kaca besar di atap, menyiram lorong dengan cahaya hangat. Dia menghela napas pelan, berusaha menenangkan pikirannya yang masih sesak oleh pertengkaran semalam dengan Sagara.
Tangannya baru saja menyentuh sekotak sereal ketika suara yang sangat familiar menyapanya dari belakang.
"Eh, Lania? Sendiri aja, ya?"
Lania menoleh. Adisty berdiri di sana, mengenakan blus putih bersih dan celana bahan warna krem, dengan senyum ramah yang terasa seperti duri tersembunyi. Tangannya menenteng keranjang belanja kecil, setengah penuh.
“Hm, iya. Lagi cari keperluan bulanan,” jawab Lania datar, pandangannya menelisik ekspresi Adisty yang nyaris terlalu sempurna.
Tawa lirih terdengar ketika Adisty berkata, "Wah, tumben tidak di antar Sagara, aah ya dia memang selalu sibukkan.."
“Kadang orang memang butuh waktu sendiri. Biar bisa lihat siapa yang benar-benar tulus dan siapa yang cuma main peran.” Matanya tak lepas dari wajah Adisty, Lania tak langsung pergi.
Senyum Adisty menegang sedikit, tetapi dengan cepat menyembunyikannya. "Maksud kamu apa?"
“Maksudku, kamu tidak perlu pura-pura ramah sama aku, Adisty,” bisik Lania pelan, mendekat satu langkah. “Aku tahu semua yang kamu lakukan belakangan ini bukan kebetulan.”
Adisty terdiam sejenak, lalu terkekeh, menoleh ke arah seorang petugas toko yang sedang lewat. “Kamu ini, kebanyakan nonton sinetron, ya?”
“Mungkin. Tapi kalau insting perempuan mulai bicara, biasanya tidak salah.” Senyum miring tersungging, Lania mengangguk pelan.
Tatapan mereka saling mengunci. Untuk sesaat, supermarket yang semula bising terasa seperti sunyi total—seolah dunia sedang menahan napas.
“Kalau kamu yakin, buktikan aja. Tapi hati-hati, Lania. Kadang terlalu percaya insting bisa bikin orang kehilangan segalanya.” Masih mempertahankan senyum tenang, Adisty mendekatkan wajahnya.
Tanpa gentar, Lania balas menatapnya. “Apa yang ditakdirkan untukku tidak akan hilang, lebih baik kamu mundur daripada kalah dalam permainan yang kamu buat sendiri.”
Mendengar nada mengejek, Adisty hanya membalas dengan senyum tipis, lalu melangkah menjauh sambil bersenandung pelan—lagu lama yang biasa Sagara nyanyikan saat sebelum mengenal Lania.
Tangan mengepal di balik troli, Lania berdiri mematung. Hatinya tahu, ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Ini peringatan. Perang dingin telah dimulai.
***
Masih terlalu dini untuk dibilang siang, waktu baru menunjukkan pukul sembilan tepat. Para pegawai tampak merapikan dan mengerjakan berkas masing-masing.
Adisty membuka pintu ruangannya dengan tenang, seolah pertemuan di supermarket tadi tak meninggalkan bekas apa-apa. Dia meletakkan tas di atas meja, lalu duduk sambil merapikan rambutnya di pantulan layar komputer yang belum menyala. Jemarinya mengetik cepat di ponsel, sebelum akhirnya berdiri dan melangkah ke luar—menuju ruangan Sagara.
Pintu ruangan Sagara terbuka setengah. Pria itu tengah duduk, matanya sibuk menelusuri laporan di tangannya. Sekilas, wajahnya terlihat lelah. Mungkin belum sepenuhnya mengingat memori yang hilang dari kepala.
Adisty mengetuk pelan. "Ganggu sebentar?"
“Ada apa?” Tanpa menoleh Sagara menjawab.
"Aku cuma... tidak enak nyimpan ini sendiri. Tadi waktu aku belanja, aku lihat Lania."
Nada suaranya ringan, nyaris seperti sedang berbagi kabar sepele. Namun sorot matanya tajam penuh perhitungan.
Perhatian Sagara pun teralihkan dan meletakkan berkas di meja. “Terus?”
"Dia tidak sendiri." Adisty berjalan masuk, duduk di kursi tamu di depan meja Sagara. "Ada Pandu. Mereka kayaknya… cukup dekat. Pandu dorong troli, dan mereka ngobrol sambil ketawa-ketawa."
“Kamu yakin itu Pandu?” Kening Sagara mengernyit.
Alih-alih langsung menjawab, Adisty mengubah posisi duduk. Sedikit menahan senyum kecut, dia berujar, “Yakin banget. Aku sempat ragu nyapa mereka, tapi ya sudahlah, aku tidak mau ganggu.” Ia menunduk sejenak, pura-pura menimbang. “Mungkin aku salah paham, tapi kelihatannya mereka nyaman banget. Kayak... lebih dari teman biasa.”
Hening beberapa detik. Sagara tidak langsung merespons. Wajahnya datar, tapi rahangnya menegang. Adisty tahu, kata-katanya mulai menanamkan benih ketidakpercayaan.
“Aku tahu kamu pasti lebih kenal Lania,” tambah Adisty dengan nada pelan, sok berhati-hati. “Tapi aku cuma merasa kamu pantas tahu. Daripada nanti dengarnya dari orang lain dan kamu pikir aku nyembunyiin sesuatu.”
Tiada niat menanggapi, Sagara mengalihkan pandangan ke luar jendela. Matanya menerawang, pikiran terombang-ambing antara rasa percaya dan rasa curiga yang kembali menyelinap sejak semalam.
Tahu situasi, Adisty berdiri, menyentuh lengan kursi dengan jari-jari rampingnya. “Aku tidak bermaksud manas-manasin. Tapi kamu tahu kan, kadang yang paling kita percaya, justru yang paling bisa nyakitin.”
Senyum kecil mengembang di bibir Adisty sebelum keluar dari ruangan. Langkahnya ringan, seperti seorang pemenang yang baru meletakkan bidak pertama dalam permainan panjang. Dia tahu, Sagara tak akan bisa berhenti memikirkan apa yang sengaja dia tanam.
Setelah Adisty pergi, ruangan itu sunyi. Sagara menatap kosong ke layar laptop, tapi pikirannya melayang ke supermarket. Benarkah Lania bersama Pandu? Mengapa Lania tidak bilang? Mereka memang teman lama, tapi... kenapa harus bertemu diam-diam?
Kepala tiba-tiba berdenyut nyeri, Sagara memijit pelipisnya. Logika berusaha menetralisir prasangka, tetapi bayangan Lania yang tertawa dengan pria lain menghantui kepalanya. Lalu suara Adisty terngiang lagi—“Mungkin aku salah paham, tapi kelihatannya mereka nyaman banget...”
Beberapa saat kemudian, Adisty kembali dengan secangkir kopi.
“Maaf, tadi aku lupa kamu suka ngopi pagi hari. Aku pesenin yang kamu suka,” katanya lembut, meletakkan gelas di meja Sagara.
Sagara mengangguk sekilas, masih diam.
“Ga, jangan terlalu mikirin ceritaku tadi.” Adisty duduk di sofa kecil sudut ruangan.
Sagara mendesah. “Mau ku gitu, tapi tidak tahu kenapa… susah percaya akhir-akhir ini.”
Adisty mengangguk pelan, pura-pura berpikir keras. “Kadang... ketika seseorang berubah, kita tidak langsung sadar. Perubahan akan terasa kayak jarak kecil yang makin lebar sedikit demi sedikit.”
Sagara menatapnya. “ Maksudnya?”
“Aku cuma merasa Lania... belakangan ini lebih sering sibuk sendiri. Bahkan kadang sikapnya ke kamu dingin, sebelum kecelakaan terjadi.” Tatapan mata Adisty lembut ke arah Sagara, tetapi cukup menusuk hingga ke dasar hati. “Itu bukan salah kamu, Ga. Kamu cuma terlalu berusaha buat menjaga semuanya tetap utuh, bekerja keras untuk keluarga.”
Kata-kata Adisty terasa seperti pembenaran atas rasa kecewa yang selama ini pendam, Sagara terdiam lama. Apakah ini dasar keinginan pisah Lania?
Adisty melanjutkan, suaranya hampir seperti bisikan, “Aku tidak akan bilang Pandu lebih dari sekadar teman. Tapi... aku pernah jadi perempuan. Dan aku tahu, kalau kita mulai mencari kenyamanan dari orang lain, biasanya itu karena ada yang hilang di rumah sendiri.”
Dengan kuat, Sagara mencengkeram gelas kopinya.
“Kamu butuh istirahat,” ujar Adisty dengan senyum samar. “Tidak usah terlalu dipikirkan. Kamu tidak harus selalu kuat. Apalagi kalau kamu dikelilingi orang-orang yang mulai tidak jujur.”
Sagara menatapnya dalam diam. Dan Adisty tahu, perlahan dan pasti, tembok kepercayaan antara Lania dan Sagara mulai retak. Dia tidak perlu menjatuhkan Lania secara langsung—cukup dengan menciptakan celah, dan membiarkan keraguan bekerja dari dalam.
Saat Sagara kembali menatap layar, Adisty bangkit dengan anggun, lalu berkata, “Kalau kamu butuh teman cerita… aku di sini kok.”
Dia melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum halus dan sisa manipulasi yang mulai mengakar di kepala Sagara.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran