"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Setelah memeriksa data Laras, seorang perawat bertanya, "Nama Anda siapa?"
"Nama saya Doni. Kenapa memangnya?" tanya Doni dengan nada menantang.
. "Wah, mereka pasangan selingkuh!" ucap perawat.
Semua mata memandang ke arahnya.
"Ini data nama suami Laras itu Riko, bukan Doni. Berarti mereka pasangan selingkuh."
"Astaga, ternyata kita membiarkan proses perselingkuhan secara terang-terangan."
"Tahu tidak? Suami Anda, Riko, dari kemarin berjuang menyelamatkan putri kamu yang sekarat, eh kamu malah enak-enakan di sini!" ucap perawat dengan nada kesal.
"Sebaiknya kita laporkan saja ke atasan kalau mereka pasangan selingkuh dan membiarkan orang tuanya meninggal. Bahkan, jenazahnya saja tidak mau diurus,"ucap seorang perawat.
"Benar, lebih baik usir saja pasangan selingkuh ini. Lagian mereka masih keluarga Ibu Rosidah. Aku takut mereka mencelakakan pasien yang lain," ucap perawat.
Doni dan Laras seketika merasa panik.
"Ya, tunggu saja kalian di sini," ucap perawat. "Kami akan siapkan ambulans. Kalian akan dirujuk ke rumah sakit swasta biar kalian bayar mahal. Aku tidak sudi tempat ini jadi tempat perselingkuhan," ucap seorang perawat dengan nada tegas.
Laras mengepalkan tangan, suaranya gemetar karena marah
“Tidak bisa begitu, Bu…” Matanya merah menatap tajam karena amarah dan kecewa. “Kalau kalian tetap seperti ini, aku tak segan menjelekkan nama rumah sakit ini ke mana-mana…”
Seorang perawat gemuk melangkah menghadap Laras. Tatapannya tak kalah tajam. Dia paling tidak suka dengan perselingkuhan dan ancaman. Dengan menatap tajam, dia berkata di depan Laras dan Doni.
"Kau mengancam kami?" nadanya tegas. Matanya menatap tajam pada Laras, memberi intimidasi.
"Kau kira kami takut dengan ancaman seseorang yang melakukan perselingkuhan di ruang perawatan?"
"Kau kira kami takut dengan ancaman seseorang yang abai pada orang tua sendiri? Asal kamu tahu, kalau kamu bisa memberi tahu kami beberapa jam sebelum Pak Ferdi meninggal, mungkin nyawa Pak Ferdi bisa diselamatkan," lanjut perawat gemuk itu.
"Kau kira kami takut menghadapi seorang ibu yang asyik pacaran dengan orang lain sementara anaknya sendiri hampir meregang nyawa?"
"Oh, darah kalian AB? Bahkan kalian tidak mau jadi pendonor darah untuk Melati."
"Andai kamu mau mengurus jenazah Pak Ferdi, mungkin kami bisa bersikap sopan pada Anda. Tapi, kamu adalah manusia yang tidak punya empati sama sekali," ucap perawat gemuk itu dengan penuh penekanan.
Suasana ruang perawatan mendadak sunyi. Seolah semua suara lenyap, hanya tersisa denting pelan alat medis dan detak jantung Laras yang makin tak beraturan. Ia menunduk. Lidahnya kelu. Tak ada satu pun kata yang mampu menjawab rentetan pertanyaan dari perawat bertubuh besar itu.
Laras dan Doni merasa tak rela jika harus dipindahkan ke rumah sakit swasta, karena mereka harus mengeluarkan biaya. Bukannya tak mampu, namun pikiran mereka adalah "kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar?". Laras bisa mendapatkan perawatan kelas satu karena asuransi dari perusahaan bapaknya. Walaupun Ferdi sudah tidak bekerja, perusahaan itu masih memberikan asuransi kesehatan terhadap mantan karyawan dengan jabatan manajer, dan kebetulan jabatan terakhir Ferdi sebelum di-PHK adalah manajer.
Perawat itu menarik napas keras, lalu berkata dengan suara tajam, "Sudah, kami akan tetap memproses kepulangan Anda."
Ia menatap Laras dengan dingin. "Lagipula, kamu juga sebenarnya sudah cukup stabil untuk rawat jalan." Nadanya ketus, dia marah karena sedari tadi pemikiran Laras sama sekali tidak masuk akal. Yang lebih aneh, Laras seperti tidak punya empati sama sekali, padahal bapaknya baru saja meninggal.
Laras terdiam. Matanya kosong, menatap lurus ke lantai keramik yang dingin. Tatapannya kosong, tetapi hatinya panas. Dia sangat kecewa dengan keputusan rumah sakit.
"Rumah sakit tidak bermutu, hanya karena pacaran di ruang perawatan sampai mau diusir."
"Hanya karena tidak mau mengurus jenazah orang tua sampai segininya, padahal mati tinggal mati, kenapa harus banyak drama?"
Pikiran Laras terus diliputi kekecewaan dan amarah.
Tiba-tiba, Doni menggenggam tangannya. Hangat. Menenangkan.
“Tenang, Sayang…” bisiknya lembut, mencoba menghapus rasa kecewa laras. “Kita pindah aja ke rumah sakit swasta. Aku yang urus semuanya.”
Laras menoleh pelan. Tatapannya masih buram, tapi Doni menatapnya penuh keyakinan.
“Bapakmu udah meninggal. Ibumu juga masuk penjara. Artinya, rumah itu pasti banyak peninggalannya, kan? Kita pakai aja harta peninggalan bapak buat biaya perawatan kamu, Sayang.”
Laras tersentak. Matanya membesar. Kata-kata Doni mengingatkannya akah hal yang penting yaitu harta warisan, Keningnya mengernyit, lalu bibirnya membentuk senyum tipis—senyum yang tak lagi murung.
“Kamu… benar sekali, Sayang,” ucapnya pelan, penuh kekaguman yang dibuat-buat. “Kamu tuh cerdas banget sih…”
Ia menoleh ke jendela yang memantulkan wajahnya. “Berarti… aku bisa kuasai rumah dan tanah peninggalan Bapak…”
Sekarang laras tersenyum bahagia, karena dia akan mendapatkan warisan dari bapaknya yang dia yakini jumlahnya tak sedikit, sekarang seyum laras merekah.
;;
Mari kita tengok kehidupan Riko dan Melati.
Di ruang perawatan kelas III, tempat Melati dirawat, Melati sudah sadar. Saat sadar, dia langsung bahagia melihat Melisa dan Riko, ayahnya.
"Ayah, semalam ada nenek, Yah," ucap Melati. "Melati takut, Yah."
Riko menggenggam tangan Melati, kemudian menciumnya. Riko menghela napas berat.
"Maafkan Ayah, Sayang. Semalam Ayah beli obat, eh, tahu-tahu ada kuntilanak ke sini," ucap Riko.
Melisa melihat ke arah Riko. Mungkin Melisa bingung, kenapa Riko berbohong? Sudah jelas yang datang adalah Bu Rosidah, tetapi malah dibilang kuntilanak.
"Jadi, semalam bukan Nenek?" tanya Melati.
"Nenek enggak mungkin, dong, jahatin Melati. Semalam itu kuntilanak," ucap Riko.
“untung saja ada ibu itu yang mengusirnya jadinya kuntilanak ketakutan” ucap riko
Riko tidak ingin menanamkan kebencian pada melati
Kemudian Melati beralih pandangannya pada Melisa.
"Kakak cantik, apa kabar?" tanya Melati tersenyum pada Melisa.
"Duh, Dek, senyummu itu bikin jantung Kakak copot," ucap Melisa.
"Hehe, Kakak menggombal seperti Ayah," ucap Melati, yang memang familier dengan gombalan-gombalan Riko.
Melisa tersenyum pada Riko, Riko membalas senyumannya.
"Tolong jangan senyum. Senyummu membuatku tak ingin ke mana-mana," ucap Riko dalam hati.
Saat sedang asyik berbincang, tiba-tiba seorang perawat datang.
“Dengan Bapak Riko?" ucap perawat.
Riko menganggukkan kepala.
"Bisa ikut kami?" ucap perawat dengan nada sopan.
"Melati, Ayah keluar dulu, ya," ucap Riko melihat Melati.
"Iya, Yah. Melati ada kakak cantik, kok. Tapi, Ayah segera kembali, ya," ucap Melati manja.
Melati dan Melisa gampang akrab karena Melisa adalah guru TIK, jadi dia memahami cara berbicara dengan seorang anak. Melati tampak ceria. Sementara itu, Riko terus berjalan mengikuti perawat.
"Pak," ucap perawat. "Pak Ferdi meninggal dunia."
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Riko refleks.
"Beliau sepertinya sudah lama meninggal, tapi anaknya, Laras, lalai sehingga tidak memberi tahu perawat bahwa bapaknya dalam kondisi kritis," ucap perawat.
"Tega sekali dia," gumam Riko.
"Iya, sangat tega. Mereka malah asyik selingkuh sampai-sampai bapaknya meninggal tidak tahu," ucap perawat.
Riko menggelengkan kepala. Dia merasa tidak heran karena memang begitulah Laras, orang yang individualis sampai tidak punya empati terhadap penderitaan orang lain.
"Laras dan selingkuhannya tidak mau mengurus jenazah Pak Ferdi. Apakah Bapak Riko mau mengurusnya?"
.