NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Deal Tunangan

Aruna menuruni tangga dengan jaket merah kesayangannya. Rambutnya diikat setengah, dan ada sedikit lip balm di bibir—sekadar biar nggak pucat, katanya dalam hati.

Pak Agam yang duduk di ruang tamu melirik. “Lho, kamu nggak ganti baju yang lebih… ya gitu, lebih ‘kencan’?”

Aruna mengambil tas kecilnya. “Ini cuma makan malam biasa, bukan audisi Putri Indonesia.”

Pak Agam menyilangkan kaki, senyumnya mencurigakan. “Tapi Bagas udah pesan restoran yang romantis. Kalau kamu terlalu cuek, nanti dia baper.”

Aruna mengangkat alis. “Bagas harus belajar menghadapi kenyataan.”

Pak Agam tertawa kecil. “Ah, gaya anak zaman sekarang. Dibilang cuek, padahal hatinya deg-degan. Aku tahu kamu mulai suka dia.”

Aruna langsung menggeleng. “No. Tidak. Negative. Jangan mulai berimajinasi, Pa.”

Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Bi Rani yang sedang menyapu di belakang langsung bergegas ke pintu depan.

Tak lama, terdengar suara berat dan sopan, “Assalamualaikum.”

Pak Agam berdiri dan menyambut, “Waalaikumsalam, silakan masuk.”

Bagas masuk dengan jas kasual dan parfum yang menyebar halus. Tangannya membawa bunga kecil—bukan buket, tapi satu tangkai mawar dalam botol kaca mini.

“Malam, Om.”

Pak Agam tersenyum dan menepuk bahunya. “Bagas. Kamu tepat waktu. Dan kelihatan gugup.”

Bagas nyengir. “Cuma sedikit, Om.”

Dari belakang, Aruna muncul. “Aku di sini, bukan di meja operasi. Nggak usah tegang.”

Bagas menoleh dan sedikit terdiam. Jaket merah itu membuat Aruna terlihat beda—sederhana tapi manis.

“Siap?” tanya Bagas.

“Lets go,” sahut Aruna.

Pak Agam hanya bisa menggeleng melihat dua anak muda itu seperti sedang debat kecil sebelum perjanjian penting. Tapi diam-diam ia tersenyum puas.

Saat keduanya berjalan menuju pintu, Bi Rani berbisik pada Pak Agam, “Saya kasih nilai 8 dari 10, Pak. Tinggal nambah chemistry dikit.”

Pak Agam terkekeh. “Nanti kita lihat setelah makan malam, Bi.”

Di dalam mobil yang melaju tenang, suasana mulai mencair. Bagas melirik ke arah Aruna sesekali.

“Ngomong-ngomong… jaket merahmu keren. Kamu kelihatan…” ia ragu sebentar, lalu menambahkan, “beda.”

Aruna menoleh, satu alisnya terangkat. “Beda? Maksudnya kayak alien dari planet fashion?”

Bagas tertawa. “Nggak, maksudku… kamu kelihatan bagus. Serius. Simpel tapi... ya, bagus.”

Aruna menyipitkan mata. “Bagus kayak bunga plastik? Atau bagus kayak… nasi padang?”

Bagas pura-pura berpikir. “Lebih kayak… rumus trigonometri yang tiba-tiba bisa kamu hafal.”

Aruna mendecak. “Tuh kan. Gombal.”

“Bukan gombal,” kata Bagas. “Tapi kamu emang jago baca pikiran. Baru mau nyambung ke pujian berikutnya.”

Aruna memutar mata. “Aku masih nggak paham. Gimana bisa seorang guru matematika punya sisi drama.”

Bagas nyengir. “Guru juga manusia, tahu.”

Tak lama kemudian, mobil berhenti. Aruna melihat ke luar jendela—bukan restoran, bukan kafe. Tapi sebuah rumah kayu mungil dengan kebun penuh bunga di sekitarnya. Lampu-lampu kecil menggantung, berpendar hangat di senja yang mulai turun.

Aruna memiringkan kepala. “Kita… nyasar?”

Bagas membuka pintu dan turun. “Nggak. Kita udah sampai.”

Aruna keluar dengan langkah ragu, menatap rumah itu dengan curiga campur takjub. Di depan pintu, ada papan kecil bertuliskan:

> “Reserved for A. Tonight only.”

“Bagas…” Aruna menoleh. “Ini… rumah siapa?”

Bagas tersenyum. “Rumah kebun keluarga. Biasanya buat kumpul keluarga atau… acara khusus. Kali ini, buat kita makan malam.”

Aruna melipat tangan. “Kamu nyewa kebun bunga buat diplomasi perjodohan?”

“Bukan nyewa. Ini properti pribadi,” kata Bagas kalem.

Aruna memandangi bunga-bunga, lampu, dan meja makan kecil yang ditata manis di dalam sana. “Aku… nggak percaya kamu se-niat ini.”

Bagas mengangkat bahu. “Katanya jangan pesen sup. Jadi aku mikir, mungkin yang ini lebih… bisa diterima.”

Aruna mendesah panjang. “Astaga. Ini lebih dari sekadar sup.”

Bagas membuka pintu rumah kebun, lalu mempersilakan. “Ladies first?”

Aruna melangkah masuk, masih dengan wajah tak percaya.

> Dalam hati: Ini cuma makan malam, Aruna. Bukan akhir dunia. Walau… jantungmu kayak mau konser dangdut sekarang.

Bagas membuka pintu greenhouse itu, aroma bunga langsung menyambut Aruna seperti pelukan halus di musim semi. Di dalamnya, berbagai bunga tersusun rapi—mawar, anggrek, lavender, dan bunga yang Aruna tak bisa sebutkan namanya, tapi tahu dia suka.

“Wow,” gumam Aruna, matanya mengelilingi seisi ruangan kaca itu. “Ini… seperti taman rahasia. Tapi indoor.”

Bagas tersenyum melihat ekspresinya. “Kamu suka?”

Aruna mengangguk, walau bibirnya masih setengah terbuka. “Ini… nggak kayak rumah kebun yang ada di drama Korea. Ini lebih bagus.”

Bagas terkekeh pelan. “Kalau drama Korea pakai aktor ganteng. Aku cuma bisa pakai bunga.”

Aruna melirik sinis. “Dan ego.”

Bagas pura-pura mengangguk. “Itu juga aset.”

Mereka melangkah lebih dalam. Di sudut ruangan, tersembunyi dengan manis di antara tanaman rambat, ada sebuah meja kecil bundar dengan dua kursi, taplak putih bersih, piring-piring porselen, dan lilin kecil yang belum dinyalakan.

Aruna tertegun. “Tunggu… kamu serius makan malam di sini?”

Bagas berjalan ke sisi meja, membuka tudung makanan yang ternyata berisi makanan rumahan yang tampak hangat dan lezat.

“Teh atau kopi?” tanyanya ringan.

Aruna menyipitkan mata. “Emangnya kamu punya?”

Bagas mengangguk ke arah sisi ruangan—di sana ada troli kecil dengan teko, gelas, dan termos air panas.

Aruna mendekat, matanya membulat. “Kamu beneran niat banget…”

Bagas menyodorkan teh hangat padanya. “Teh melati. Katanya ini favorit kamu.”

Aruna menerimanya, masih separuh curiga, separuh kagum. “Kamu… cari tahu dari mana?”

Bagas tersenyum tenang. “Mata-mata profesional. Juga Bi Rani yang nggak bisa disogok… kecuali dengan serbet bermotif bunga.”

Aruna tertawa kecil. “Kamu gila.”

“Cuma sedikit,” jawab Bagas. “Dan kayaknya, cuma urusannya tentang kamu kewarasanku hilang.”

Bagas menuangkan teh ke dalam cangkir porselen, lalu menyodorkannya ke Aruna dengan gaya seperti pelayan hotel bintang lima. Aruna mengambilnya, menatap Bagas dengan tajam.

“Aku tetap nggak tertarik sama kamu, tahu,” kata Aruna, datar.

Bagas mengangguk pelan, wajahnya seperti tidak tersentuh sama sekali.

“Noted,” katanya sambil menuang teh ke cangkir miliknya. “Tapi tetap minum teh dari aku, ya?”

Aruna menyipitkan mata. “Tehnya enak, bukan berarti triknya berhasil.”

Bagas tersenyum, mencelupkan kantong tehnya ke cangkir. “Aku nggak niat trik. Cuma pengen ngobrol… sama murid kesayangan.”

Aruna mendesis kecil. “Ih, jijik.”

“Kamu yang bilang kamu nggak tertarik. Aku cuma menyesuaikan status hubungan kita: guru dan murid.”

Aruna meletakkan cangkirnya. “Kalau gitu, aku mau tanya. Kenapa kamu terima perjodohan ini?”

Bagas menatap Aruna sebentar, lalu mengangkat bahu. “Kamu dulu. Aku yang tanya duluan.”

Aruna memutar matanya. “Ugh, kamu tuh…”

Bagas hanya tersenyum tenang, menyandarkan punggung di kursi dan menatapnya penuh minat.

“Baik,” kata Aruna akhirnya. “Aku kasih kamu penawaran.”

Bagas mengangkat alis. “Tawaran bisnis?”

“Tawaran hidup,” jawab Aruna. "Aku mau break.”

Bagas terdiam. Tidak kaget. Tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Aruna sebentar, lalu berkata pelan, “Apa ada yang salah?”

Aruna menunduk.

“Banyak. Tapi intinya… aku mau fokus ke latihan teater dan ujian. Aku nggak siap buat hubungan asmara sekarang, apalagi yang semua orang sekolah tahu. Rasanya aneh.”

Bagas menautkan jari-jarinya. “Aku nggak pernah cerita ke siapa-siapa soal kita.”

“Atta tahu,” jawab Aruna cepat.

Bagas mengerutkan alis. “Dari mana dia tahu? Dia terlihat biasa aja pas aku lihat dari luar ruang teater.”

Aruna terdiam. Detik itu, suara detak jam kecil di dinding greenhouse terdengar lebih keras.

"Tunggu. Kamu tadi ke ruang... "

Bagas akhirnya menarik napas, lalu tersenyum tipis.

“Kalau kamu mau break, ya nggak apa-apa. Aku nggak akan maksa. Aku juga nggak akan ganggu kehidupan kamu. Fokus aja ke ujian dan latihan kamu.”

Aruna mendongak pelan, sedikit terkejut. “Kamu nggak marah?”

Bagas mengangkat bahu. “Aku bukan orang tua kamu, Aruna. Aku bukan atasan kamu. Dan meskipun... aku tunangan kamu—secara teknis—tapi yang paling penting itu kenyamanan kamu.”

Aruna menatap Bagas lebih lama kali ini. Bagas berdiri, berjalan sebentar ke arah jendela kaca, lalu mengintip ke arah ruang teater di seberang taman kecil.

“Atta itu kayaknya emang… lebih dari sekadar teman buat kamu, ya?” katanya pelan.

Aruna tak menjawab.

Bagas menoleh padanya lagi. “Ya sudah. Kita break. Dan aku janji, nggak akan ganggu. Tapi kalau kamu butuh… greenhouse ini selalu ada. Dan mungkin, aku juga.”

Aruna tersenyum kecil. Entah kenapa, keputusan “break” justru terasa lebih ringan karena disampaikan tanpa dramatisasi.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!