Hani Ainsley adalah anak dari perkawinan antara manusia dengan seorang vampir, karena suatu masalah ibunya harus menitipkan Hani ke salah satu rumah warga karena wanita itu tidak bisa membawanya pergi. Saat kecil Hani ia hidup menderita karena tidak pernah disayang oleh ibu yang mengadopsinya. Namun, semua berubah saat ia beranjak dewasa dan mulai berevolusi menjadi vampir. Akankah Hani bisa mengubah nasipnya di kemudian hari? Dan siapakah orang tua kandungnya? Ikuti ceritanya dan jangan lupa likenya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lutfiatin Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hani Ketahuan Bekerja di Restoran
Suatu hari, Lucy sedang bersama teman-temannya untuk makan siang di sebuah Restoran. Dia tidak tahu jika putri angkatnya-Hani juga bekerja di sana sebagai pramusaji.
Ketika Hani sedang melakukan tugas seperti biasa, pandangan netranya tiba-tiba saja kabur. Saat dia melihat lekukan leher orang lain yang sedang duduk menikmati makanan, ada rasa ingin sekali menggigitnya. Sampai-sampai dia tak sadar sudah menggigit bibir bawahnya. Heran, Hani mencoba kembali fokus. Ia mengibaskan rambut dan memukul dahinya beberapa kali.
Namun, perasaan itu kian menggelayut. Hani jadi kurang fokus lagi saat bekerja. Dia pun tidak hati-hati dan malah menabrak temannya yang saat itu sedang melayani pelanggan. Nahas, wanita yang ditabrak sedang membawa nampan berisi minuman. Nampan itu pun jatuh, dan airnya tumpah mengenai baju salah satu pelanggan di sana.
“Apa-apaan, ini. Nggak punya mata, ya!” sentak pelanggan tersebut dengan mukanya yang merah padam.
“Maaf, Bu. Saya tidak sengaja,” lirih Hani dan juga temannya.
Pelanggan itu tidak terima bajunya yang mahal terkena noda. Dia kesal dan memarahi keduanya. Dia bahkan menyuruh Hani untuk memanggil Manajer mereka. Gadis bermata coklat itu pun segera meminta maaf sedangkan temannya pergi untuk memanggil sang Manajer.
Tidak berselang lama kemudian, Manajer restoran itu pun datang. Selaku atasan kedua karyawan tersebut dia meminta maaf kepada pelanggan itu atas apa yang baru saja terjadi. Dia pun menjelaskan bahwa Hani baru beberapa bulan bekerja di sana dan akan memperingati gadis yang membuat kesalahan itu.
Melihat ada keributan, Lucy yang baru saja dari kamar mandi tertarik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun, rasa penasarannya berubah menjadi amarah karena dia mendapati fakta bahwa anak angkatnya juga bekerja di sana. Lucy hanya diam dan kembali ke meja tempat teman-temannya menikmati makanan.
“Sis, sepertinya aku ada urusan mendadak di rumah. Aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita ketemu lagi,” pamit Lucy seraya mencangklong tas, kemudian bergegas pergi dari sana.
Teman-temannya hanya mengangguk cepat, tetapi juga heran kenapa tiba-tiba minta pulang duluan.
Lucy masuk ke mobil seraya menggerutu. Dia ingin segera sampai di rumah untuk memberi pelajaran kepada Hani.
“Dasar anak sialan itu, lihat saja apa yang akan kulakukan nanti!”
Petang di hari yang sama, Hana sedang mengompori mamanya yang kesal dan stres karena melihat Hani bekerja di restoran. Keduanya terus mengatai dan memaki gadis yang belum terlihat itu. Obrolan mereka pun terhenti ketika gadis yang dibicarakan sampai ke rumah dengan raut wajah yang tampak letih.
“Aku pulang, Ma, Na.” Gadis itu masih mengucapkan salam seperti biasa. Sedangkan dua orang di hadapannya telah menanti sedari tadi.
Tidak tanggung-tanggung, rambut Hani langsung dijambak oleh ibu angkatnya. Padahal dia baru saja menginjakkan kaki di rumah.
“Lancang kamu, ya! Berani-beraninya membohongi Mama!”
“Ma, lepasin! Salah aku apa?” Hani meringis, ia bertanya apa kesalahannya, juga memohon agar rambutnya tidak dijambak lagi. Namun, wanita berumur empat puluhan itu tidak mendengarkan permohonan putri pertamanya.
"Apa kamu bosan hidup? Berani-beraninya kamu kerja di Restoran! Apa kamu mau bikin malu keluarga ini, ha!"
"Maafin aku, Ma. Aku enggak ngomong ke Mama dulu kalau aku kerja di sana."
"Untuk apa kamu bekerja?! Apa uang yang Mama berikan kurang?"
Hani menggeleng. "Aku cuma nggak mau menyusahkan Mama. Aku bisa cari uang sendiri kok, Ma."
"Kalau kamu tidak mau membuat Mama susah, kenapa kamu tidak diam saja di rumah dan patuhi perintah Mama? Kenapa malah bikin malu?" Melihat Hani yang hanya bisa menangis, ia kembali berkata, "Sana masuk ke kamar! Dasar anak tidak berguna!"
Hani pun pergi ke kamarnya dengan berlinang air mata, hatinya terasa sakit ketika teringat perkataan yang menyakitkan itu.
Sejak kejadian itu, Hani belum keluar dari kamar, sedangkan anggota keluarga yang lain sudah berkumpul untuk makan malam.
Pria yang menjadi Kepala Keluarga di rumah itu pun menanyakan keberadaan Hani. Namun, tidak satu pun dari mereka menjawabnya. Istri dan anak kandungnya hanya bertukar pandang, kemudian mengangkat bahunya tak acuh.
Ketika Bi Surti menghidangkan makanan, sosok yang masih penasaran ke mana anak angkatnya itu kembali bertanya.
“Bi Surti, tolong jawab pertanyaanku dengan jujur. Ke mana Hani? Apakah dia sakit?”
Pertanyaan itu sukses membuat raut wajah Bi Surti berubah cemas, ia langsung menatap Lucy dan dibalas dengan tatapan sinis. Ia pun merunduk, kemudian berkata lirih. “Non Hani ada di kamarnya, Tuan.”
“Panggil dia turun, Bi!”
“Non bilang tidak mau makan, Tuan.”
“Loh, memangnya kenapa? Tumben Hani nggak mau makan?”
“Pa, sudahlah. Biarkan saja kalau dia nggak mau makan, nanti kalau lapar juga nyari makanan sendiri,” timpal Lucy yang acuh tak acuh terhadap anak pertamanya itu.
Jawaban dari istrinya itu semakin membuat Dirga bertanya-tanya. Dia menatap kedua wanita di sampingnya yang sudah mulai menyantap makanan, tetapi Dirga tetap merasa aneh, seperti ada yang mereka sembunyikan.
“Bi, ayo cerita ada apa sebenarnya? Apa ada sesuatu yang aku tidak tahu!” Nada suara Dirga mulai meninggi.
Dengan penuh rasa takut, asisten rumah tangga tersebut menjelaskan kejadian yang menyebabkan Hani tidak ada di tengah-tengah mereka.
Dirga menghela napas dalam-dalam sembari menutup matanya. Setelah merasa tenang, dia berkata, “Mama itu kenapa, sih? Hanya karena masalah sepele, Mama siksa Hani?”
“Kok, jadi mama yang disalahkan? Anak papa itu yang salah! Berani-beraninya dia kerja di restoran. Bikin malu!” cetusnya seraya membuang muka.
“Iya, Papa itu selalu aja membela Hani. Nggak adil!” timpal Hana seraya meletakkan sendok kemudian melipat tangannya di dada.
Dirga tidak mau memperpanjang masalah. Dia tahu, istrinya sudah keterlaluan. Namun, untuk saat ini kondisi Hani lebih utama dibandingkan berdebat dengan Lucy dan Hana.
“Bi, tolong siapkan makanan untuk Hani,” pinta Dirga setelah selesai makan.
Bi Surti segera menyiapkan semua itu, lalu Dirga pergi ke kamar Hani dengan membawa makanan dan minuman untuk putrinya yang sedang mengurung diri.
Hani yang sedang tiduran sembari menutup kepalanya menggunakan bantal, mendengar suara pintu terbuka juga harumnya aroma masakan. Ia sudah bisa menebak bahwa ada yang datang membawakannya makanan.
“Bawa kembali saja, Bi. Aku nggak mau makan.”
Di ujung pintu, Dirga tersenyum tipis, putrinya itu mengira bahwa yang membawakan makanan adalah Bi Surti.
“Apa perlu, Papa menyuapi kamu supaya mau makan?” Dirga melanjutkan langkahnya, kemudian langsung duduk di tepi ranjang.
Hani terkejut mendengar suara tersebut bukan dari Surti, ia segera duduk dan menatap ayahnya yang sudah berada di hadapannya sembari membawa nampan.
“Papa ....” Hani merapikan rambutnya yang berantakan serta menyeka sisa-sisa air mata di wajah.
Dirga tersenyum, seraya meletakkan nampan berisi makanan di atas meja.
“Kok, bukan Bi Surti aja yang ke sini.”
“Oh, jadi kamu lebih sayang Bi Surti daripada Papa. Gitu, ya?” Pria separuh baya itu mencoba menggoda anak gadisnya.
“Bukan gitu maksud aku, Pa. Tapi ....” Hani enggan meneruskan perkataannya.
Tangis Hani kembali pecah, ia memeluk sosok yang menjadi pelindung dirinya selama ini. Dirga mengelus rambut sang anak dengan lembut.
“Eh, putri Papa umur berapa ini? Kok, masih cengeng. Apa perlu Papa bikinin susu juga, ya,” ledeknya.
“Ah, Papa.”
Dirga menggoda Hani agar putri cantiknya itu tidak menangis. Setelah dirinya berhasil menenangkan Hani dan membuat gadis itu kembali tertawa, barulah ia bertanya tentang tujuan gadis itu bekerja di Restoran.
Awalnya, Dirga berpikir bahwa Hani bekerja paruh waktu karena uang yang dia berikan kurang. Namun, setelah mendengar penjelasan putrinya yang mengatakan bahwa dia ingin lebih mandiri dan tidak merepotkan, Dirga jadi tersenyum bangga.
“Putri Papa memang sudah dewasa, Papa bangga mendengarnya. Tapi, Sayang. Kamu tidak harus melakukan hal seperti itu.”
“Aku cuman nggak mau ngerepotin, Papa.”
“Hani, mulai besok kamu jangan bekerja lagi ya, Sayang. Papa masih sanggup membiayai kamu. Sekarang kamu makan dulu. Papa tidak mau putri papa yang cantik ini sakit nantinya.”
Hani mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Gadis cantik itu sudah kembali ceria setelah dihibur sang ayah.
***
Lucy melihat suaminya sudah kembali ke kamar. Ia pun mulai bercerita bahwa minggu depan, anak mereka–Hana–akan berulang tahun. Lucy ingin ulang tahun putrinya dirayakan di rumah dengan mengundang teman-teman kampus Hana.
“Gimana, Pa. Setuju nggak?”
Dirga setuju. Namun, dia meminta Lucy untuk menulis nama Hani di kartu undangannya nanti. Dirga ingin kedua putrinya berulang tahun bersamaan.
“Kenapa juga Hani diikutkan, Pa?”
“Ya sudah, nggak akan ada pesta,” ancam Dirga sembari membuang muka.
Dia selalu tahu bagaimana harus membuat keputusan, meski Lucy sangat membenci Hani Dirga selalu bisa melindungi putri kesayangannya itu. Dia pun berharap Hani mendapatkan kasih sayang yang sama di dalam rumah tersebut. Ibu dua anak itu pun pasrah dengan keputusan yang diambil suaminya. Daripada tidak dirayakan sama sekali.
Bersambung.