Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Sang Legenda 22 CM
Kamar 1712 di Hotel Merapi Palace Jakarta terlihat biasa dari luar. Tapi malam ini, kamar itu akan menjadi saksi bisu dari legenda urban yang terus berkembang di antara kalangan sosialita Jakarta. Legenda tentang seorang pemuda kampung, tubuh jangkung, wajah tampan tak berdosa, dan satu aset rahasia yang kini terkenal dengan nama: Alvarez.
Paijo berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih yang dibeli di butik diskonan, tapi kelihatan mahal karena tubuhnya cocok. Dasi dilepas. Dua semprotan parfum mahal yang dikasih gratis oleh Madam Vivi membuat napasnya segar dan beraroma kepercayaan diri.
“Ayo, Alvarez. Tunjukkan kalau kamu lebih dari sekadar nama panjang dari kampung,” gumamnya, memberi semangat pada... ya, bagian tubuh yang kini hidup sebagai legenda.
Ponselnya bergetar. Nama “Madam Yenny 💰💜” muncul di layar.
"Sudah di lobby, sayangku? Aku sudah kangen berat sama kamu... dan dia," begitu isi pesannya.
Paijo menarik napas, lalu tersenyum setengah geli, setengah bangga.
“Klien VIP nih,” gumamnya, lalu menekan tombol lift.
Begitu pintu kamar dibuka, aroma mawar segar langsung menyergap hidung Paijo. Di depan pintu, berdiri Madam Yenny—usia empat puluhan, rambut disanggul rapi, lipstick merah menyala, dan gaun sutra ungu gelap dengan belahan sampai paha atas. Gaya wanita berkuasa yang tahu apa yang dia mau.
“Masuk, sayang. Jangan bikin aku nunggu lama. Aku udah siap dari sore,” bisiknya, dengan nada serak dan senyum menggoda.
Paijo melangkah masuk. Sepasang sepatu pantofel kulitnya berbunyi ringan di atas karpet tebal. Di matanya, kamar hotel ini adalah tempat kerja. Di hati kecilnya, kamar hotel ini adalah panggung yang memisahkan antara dirinya—Paijo Madindun dari kampung Blimbing—dan legenda yang hidup di kota: Joe Alvarez.
Tak ada yang eksplisit di ruangan itu, hanya cahaya temaram, suara jazz lembut dari speaker Bluetooth, dan obrolan basa-basi yang mengarah ke “layanan premium”.
Suara Madam Yenny berkumandang dengan desahan yang terdengar kesakitan. Kesakitan bercampur nikmat tiada tara.
Alvarez tidak mampu masuk sepenuhnya karena ukurannya yang bukan SNI, ditambah tubuh Madam Yenny SNI wanita Indonesia. Bila dipaksakan, bisa-bisa si kecil Alvarez menembus ke uluh hati sampai paru-paru.
Layanan Premium dilakukan hingga beronde-ronde. Saking maknyus-nya, Madam Yenny berkali-kali klimaks dengan liur tak terbendung, berteriak dengan suara cempreng ala kaleng sarden keinjek, dan kaki yang menegang kaku seperti kayu kering habis dibakar.
Tapi untuk Paijo? Tak sekalipun dia mengalami puncak kenikmatan dari semua itu.
Semua gak berasa. Gak nendang. Gak ngefek apapun untuknya.
Setelah beberapa menit, hanya dua gelas wine yang tersisa di meja. Madam Yenny terbaring di atas ranjang, matanya menatap langit-langit, napasnya belum sepenuhnya tenang.
“Kamu tuh, ya… Kenapa sih bisa sehebat itu?” gumamnya. Aku sampai lupa aku wanita karier yang punya lima anak buah dan tiga asisten. Habis diserang sama Alvarez.”
Paijo tertawa kecil sambil duduk di tepi ranjang, mengambil air putih.
“Saya juga kadang bingung, Mbak. Saya cuma latihan beban waktu angkat karung beras di kampung.”
“Serius, Paijo,” katanya sambil duduk. “Kalau kamu buka warung ‘Alvarez Services’, aku yakin antriannya bisa ngalahin salon Korea.”
Paijo hanya mengangkat bahu. "Namanya juga kerja keras dan sedikit anugerah dari Tuhan."
“Sedikit?” Yenny menatapnya dari atas ke bawah. “Itu 22 cm ‘sedikit’? Kamu jangan merendah lagi deh, nanti aku jatuh cinta beneran.”
Paijo nyengir kuda. Dalam hati, dia sudah terbiasa dengan ucapan semacam itu. Tapi tetap saja, setiap pujian soal “Alvarez” membuatnya sedikit bangga... dan sedikit jengah.
Satu jam kemudian, Paijo berjalan keluar dari kamar sambil menyusun kancing kemejanya. Di saku celana, amplop tebal dari Madam Yenny sudah masuk, ditambah bonus transfer yang belum sempat dia buka.
Di lift, seorang staf hotel menyapanya ramah. “Malam, Mas. Turun?”
Paijo mengangguk. “Turun, Mas. Tapi... barusan naik dulu dikit.”
Di parkiran basement, Paijo duduk di dalam mobil sedan hitam sewaannya. Ia membuka ponsel, melihat jadwal malam berikutnya.
Besok:
Jam 19.00: Madam Vivi (yoga & dinner)
Jam 22.00: Cassandra – (Layanan Premium, Selfie bareng tanpa liatin wajah untuk di update IG)
Pagi kosong, bisa istirahat… atau mungkin, ketemu Suzy?
Paijo menyandarkan kepala ke jok kursi, menatap langit-langit mobil.
“Alvarez, kadang gue ngerasa lo doang yang kerja keras. Gue cuma nunggu giliran.”
...****************...
Pagi itu cerah. Jakarta baru saja selesai menangis semalaman lewat hujan deras, dan jalan-jalan yang biasanya macet kini terasa lebih ramah karena masih jam 7 pagi. Paijo sedang duduk di kedai kopi hits di bilangan Senopati—tempat yang biasa dipenuhi selebgram, anak jaksel, dan… kadang-kadang para klien eksklusif yang pura-pura tidak mengenalnya.
Hari ini berbeda. Karena pagi ini, dia tak sendiri.
Suzy duduk di seberangnya. Manis dalam balutan kaus putih dan cardigan abu-abu, dengan rambut panjang terikat setengah. Sambil menyeruput matcha latte, dia tertawa saat mendengar cerita Paijo tentang pengalaman pertama ikut audisi sinetron yang malah dikira satpam.
“Mas-nya tinggi sih. Tapi kalau pakai seragam security, memang agak masuk sih logikanya,” kata Suzy sambil menahan tawa.
Paijo ikut tertawa, meski hatinya gelisah. Makin sering ia bertemu Suzy, makin sering pula ia merasa... nyaman. Dan nyaman itu bahaya. Terutama buat orang seperti dia, yang menyimpan terlalu banyak rahasia di balik senyumannya.
“Mas, boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Suzy tiba-tiba, matanya menatap serius.
Paijo terdiam sejenak. "Tanya apa, Suzy?"
“Kemarin aku lagi nemenin temenku ke salon di Kemang, terus denger ibu-ibu arisan ngomongin cowok. Katanya terkenal banget, nama samaran katanya Alvarez. Katanya... ukurannya 22 cm.”
Paijo tersedak espresso-nya.
Suzy buru-buru menyodorkan tisu. "Eh, Mas nggak papa?"
“S-siapa yang ngomong kayak gitu? Mereka kenal orangnya?”
“Nggak tahu juga sih, mereka cuma ngomong katanya ini cowok legend, banyak yang repeat order. Serem banget bahasa mereka.”
Paijo membersihkan mulutnya sambil tertawa kaku. Dalam hati, panik sudah seperti alarm kebakaran.
“Terus?” tanya Paijo dengan suara pelan.
“Ya aku penasaran... emangnya ada ya cowok segitu? Ukuran 22 cm tuh kayak... ya ampun, itu... Mas ngerti kan, itu kayak—yah, apa ya, kayak botol minuman!”
Paijo menahan napas. Detik itu juga, seluruh kenangan tentang Madam Vivi, Madam Yenny, dan klien-klien lain yang menyebut “Alvarez” dengan kekaguman luar biasa langsung berputar di kepala.
“Mas...” suara Suzy melembut. “Mas jangan-jangan kenal ya sama Alvarez?”
Paijo menatap Suzy. Sebagian dirinya ingin jujur. Tapi sebagian besar lainnya… ingin tetap jadi Mas Paijo, cowok yang bisa jalan bareng Suzy tanpa embel-embel profesinya.
“Enggak kok,” jawabnya akhirnya, pura-pura tenang. “Paling juga cowok kampung mana yang numpang ngetop.”
“Iya sih. Tapi serem banget ya dunia Jakarta. Bisa-bisanya alat kelamin orang dijadikan selebriti.”
Suzy tertawa, sementara Paijo nyaris menangis.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️