Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Grilyanto masih bekerja dengan senyum yang disembunyikan.
Tapi dalam hatinya, ia terus menanti satu panggilan yang belum kunjung datang—panggilan dari Sri Wiwik.
Namun sore itu, saat matahari mulai condong ke barat dan ruang 108 sedikit lengang, dering telepon yang ia angkat membawa kejutan.
“Halo, Mas Grilyanto...”
Sejenak, Grilyanto membeku. Suara itu—lemah, pelan, tapi sangat ia kenal.
“Sri?”
“Iya, ini saya, Mas... Maaf... saya baru bisa menghubungi lagi...”
Ada jeda panjang. Grilyanto menelan ludah. Suaranya yang biasanya ceria kini terdengar lesu, seakan sedang melawan rasa sakit.
“Saya sakit, Mas... Sudah beberapa hari di rumah... demam dan badan lemas... Maaf tidak memberi kabar.”
Grilyanto menggenggam gagang telepon erat. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha tenang.
“Saya khawatir, Sri. Setiap hari saya menunggu panggilanmu. Saya bahkan nyaris mencari ke direktori hanya untuk tahu kamu baik-baik saja.”
Sri diam. Mungkin menahan tangis. Lalu dengan suara yang nyaris berbisik, ia berkata:
“Saya juga kangen dengar suara Mas. Saya cuma bisa tiduran, tapi pikiran saya terus ke 108. Ke suara Mas.”
Grilyanto menahan napas. Rasanya ingin ia tahu di mana Sri berada, ingin memastikan ia dirawat, dijaga, tak sendiri.
“Sri... kalau kamu butuh apa-apa, tolong bilang. Jangan sungkan. Saya bukan sekadar petugas 108 untukmu.”
Ada diam di seberang. Lalu suara kecil terdengar:
“Saya tahu, Mas. Justru itu... saya menelepon lagi hari ini. Karena saya kangen. Dan karena saya percaya.”
Telepon itu berakhir tak lama kemudian. Tapi bagi Grilyanto, sore itu seperti cahaya hangat di tengah musim dingin.
Bukan hanya karena Sri kembali, tapi karena kini ia tahu—rasa itu tidak sepihak.
Beberapa hari setelah Sri menelepon kembali dalam keadaan sakit, hubungan mereka semakin akrab.
Hari itu, telepon dari Sri datang lagi—tapi kali ini berbeda.
Suaranya sudah jauh lebih kuat, dan Grilyanto merasakan senyumnya dari seberang sana.
“Halo, Mas Grilyanto. Kali ini saya ingin ngobrol lama, boleh?”
Grilyanto tak bisa menahan tawa kecil. “Kalau saya yang bilang ‘boleh’, nanti dimarahi supervisor. Tapi kalau Mbak Sri yang bilang... saya rela ditegur.”
Sri tertawa. Dan dari situ, obrolan pun mengalir seperti sungai kecil yang jernih dan tenang. Mereka berbicara tentang banyak hal.
Tentang masa kecil mereka bagaimana Grilyanto dulu sering memecahkan mangkok dawet di pasar dan dimarahi neneknya.
Tentang Sri yang suka membaca di bawah pohon jambu dekat rumahnya.
Tentang impian-impian kecil Grilyanto yang dulu ingin jadi apoteker, dan Sri yang bercita-cita membuka taman baca untuk anak-anak.
Tentang kesepian dan harapan Sri yang tinggal jauh dari keluarga, dan Grilyanto yang merantau tanpa tahu akan bertemu siapa.
Obrolan itu berlangsung lebih dari 20 menit melampaui batas wajar panggilan biasa.
Tapi Grilyanto tetap di meja, memegang gagang telepon seakan takut suara itu menghilang lagi.
“Mas...” suara Sri mulai lirih, “kalau satu hari nanti saya berhenti menelepon... bukan karena saya lupa. Tapi mungkin karena tak bisa.”
Grilyanto terdiam. Lalu menjawab dengan lembut,
“Kalau suatu hari kamu tak bisa menelepon, biarkan saya yang mencarimu. Sebab suara kamu bukan cuma saya dengar tapi saya simpan di hati.”
Keheningan menggantung sebentar.
Lalu Sri berkata,
“Mas Grilyanto... kalau saya bilang saya ingin bertemu, apa Mas bersedia?”
Grilyanto tersenyum. Ia tak menyangka hari itu akan datang, tapi hatinya sudah lama siap.
“Saya sudah menunggu momen itu sejak pertama kali kamu bilang ‘halo’.”
Mereka belum bertemu, tapi malam itu, Grilyanto pulang dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan—bahagia, haru, dan deg-degan menunggu hari esok.
Hari Minggu yang cerah itu terasa berbeda bagi Grilyanto.
Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan minyak rambut khas anak muda tahun 70-an.
Kemeja lengan panjang disetrika rapi, celana kain abu-abu sedikit gombrong, dan sepatu pantofel mengilat seadanya.
Hari ini ia akan bertemu Sri Wiwik. Bukan lagi sekadar suara tapi wajah dan tatapan yang selama ini hanya ia bayangkan.
Setelah menempuh perjalanan dengan angkot dan berjalan kaki di gang sempit perumahan, akhirnya ia sampai di depan rumah kecil berpagar biru.
Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Di tangannya, sebungkus kecil oleh-oleh kue basah.
Grilyanto mengetuk pelan.
Di balik jendela, tirai bergeser sedikit. Sri mengintip. Matanya menangkap sosok lelaki kurus, kulit putih, agak pendek—dengan dandanan khas anak muda di era 70-an yang berusaha tampil sebaik mungkin. Ada yang kikuk, tapi juga tulus.
“Itu Mas Grilyanto?” bisiknya pelan pada diri sendiri, sambil menahan senyum.
Ia membuka pintu dengan perlahan. Grilyanto mengangkat tangan, gugup.
“Selamat siang, Mbak Sri... saya Grilyanto.”
Sri hanya mengangguk kecil, tersenyum. “Saya tahu. Saya mengenali suara Mas bahkan sebelum Mas bicara.”
Mereka duduk di ruang tamu kecil dengan sofa rotan dan meja bundar penuh taplak renda.
Pembicaraan dimulai canggung, tapi cepat mencair. Seperti melanjutkan percakapan di telepon, tapi kini dengan mata yang saling menatap.
Mereka tertawa saat Grilyanto bercerita betapa gugupnya ia saat membeli baju untuk hari ini. Sri menggodanya tentang minyak rambut yang terlalu licin.
“Saya nggak nyangka Mas Gril putih banget!”
“Lha iya, ini hasil banyak duduk di ruangan 108, Mbak.”
Pertemuan itu tak lama, tapi cukup untuk menegaskan bahwa rasa yang tumbuh di antara mereka bukan semu.
Kini mereka tahu, suara itu punya wajah. Cerita itu punya mata yang bersinar. Dan hati itu—saling mengenal lebih dekat.
Sore harinya, saat Grilyanto berpamitan, Sri berdiri di ambang pintu.
Tak ada kata “jangan pergi,” tapi tatapannya cukup membuat Grilyanto berjanji dalam hati: “Aku akan kembali.”