pengalaman pahit serta terburuk nya saat orang yang dicintai pergi untuk selama-lamanya bahkan membawa beserta buah hati mereka.
kecelakaan yang menimpa keluarganya menyebabkan seorang Stella menjadi janda muda yang cantik yang di incar banyak pria.
kehidupan nya berubah ketika tak sengaja bertemu dengan Aiden, pria kecil yang mengingatkan dirinya dengan mendiang putranya.
siapa sangka Aiden adalah anak dari seorang miliarder ternama bernama Sandyaga Van Houten. seorang duda yang memiliki wajah bak dewa yunani, digandrungi banyak wanita.
>>ini karya pertama ku, ada juga di wattpad dengan akun yang sama "saskavirby"
Selamat membaca, jangan lupa vote and coment ✌️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon saskavirby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 6
Sesampainya di rumah, Aiden langsung berlari ke dalam rumah dan memeluk Laras.
Laras terkejut dengan tingkah cucunya. Dia membawa Aiden dalam gendongannya.
"Aiden baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Dia hanya kelelahan, Tante," jawab Fara yang baru masuk bersama Sandy.
***
Malamnya, Aiden terserang demam, Laras mengompres Aiden serta menemaninya tidur.
"Bagaimana kalau kita bawa Aiden ke rumah sakit, Ma?" tanya Sandy khawatir, melihat wajah Aiden yang memucat.
"Mama sudah memberinya obat penurun panas, kita lihat sampai besok pagi, kalau masih belum turun kita bawa kerumah sakit," terang Laras mengelus kepala Aiden sayang.
Paginya, Aiden benar-benar dibawa ke rumah sakit karena panas yang tak kunjung turun.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Sandy segera mencecar Dokter yang memeriksa Aiden.
"Aiden harus rawat inap beberapa hari, Tuan. Panasnya sangat tinggi, di takutkan bisa kejang," terang sang Dokter menatap Sandy, Laras dan Vero bergantian.
"Berikan yang terbaik untuk cucuku," sahut Vero.
"Pasti, Tuan. Saya permisi."
Setelah menyelesaikan berbagai prosedur rumah sakit, Aiden dipindahkan di kamar rawat inap VVIP khusus anak-anak.
"Bunda,"
Terdengar Aiden bergumam dengan mata tertutup, sepertinya dia mengigau.
"Bunda,"
Laras, Sandy dan Vero menatap satu sama lain.
"Apa perlu kita memanggil Bunda-nya?" usul Laras membuka suara.
"Tidak usah, Ma. Aiden sudah mendapatkan perawatan di sini, pasti sebentar lagi akan membaik, dia hanya mengingau," bantah Sandy tak setuju usulan Laras.
Laras hanya mengangguk dan menggenggam tangan cucunya.
*
"Oma, Aiden haus," ujar Aiden ketika tak berapa lama terbangun dari tidurnya.
Laras meraih gelas di nakas dan membantu Aiden minum.
"Aiden makan dulu ya, sayang. Habis itu minum obat," ucap Laras membujuk Aiden.
Aiden menggeleng. "Tidak mau, Oma."
"Aunty suapin ya, sayang?" bujuk Fara yang siang tadi berkunjung ke rumah sakit ketika mendengar kabar calon anak asuhnya masuk rumah sakit.
Aiden menggeleng. "Tidak mau," tolaknya.
"Oma, Aiden mau makan bubur sumsum," ucapnya menatap Laras.
Laras berbinar. "Iya, sayang. Oma buatin ya? Oma pulang dulu, nanti kesini lagi." Laras hendak berdiri namun dicegah Sandy.
"Tidak usah, Ma. Biar Fara yang buatin Aiden bubur," ujarnya menoleh ke arah Fara yang terdiam.
Sedangkan Fara nampak terkesiap, bagaimana dirinya membuat bubur sumsum? Sedangkan masak saja dia tidak pernah.
"Biar Fara pulang sama Sandy, sekalian Sandy mengambil berkas yang tertinggal di rumah," sambungnya.
"Baiklah, biar Mama temani Aiden di sini."
***
Di kediaman keluarga Van Houten.
"Heh, kamu. Buatkan bubur sumsum, cepat!" titah Fara pada Moly sang kepala pelayan.
"Untuk siapa, Nona?"
"Jangan banyak tanya, buruan sana," usir Fara mengibaskan tangannya.
Fara melangkah menuju kamar Sandy di lantai dua.
"Kenapa kamu di sini Fara?" tanya Sandy ketika Fara memasuki kamarnya.
"Aku kangen sama kamu." Fara menghampiri dan bergelayut manja di lengan Sandy.
Sandy melepaskan tangan Fara. "Bukankah seharusnya kamu membuatkan bubur untuk Aiden?"
"Aku sudah menyuruh Moly membuatnya, lagipula kita sudah lama tidak bermesraan, sayang." Fara kembali bergelayut di lengan Sandy.
Lagi, Sandy melepaskan tangan Fara. "Seharusnya kamu melihat cara Moly memasak, biar kamu bisa, bukannya malah di sini," sindir Sandy.
Fara berdecak, "kenapa sih, San. Apa gunanya pembantu kalau sebagai majikan kita masih harus turun tangan," sungutnya kesal.
"Fara, apa kamu lupa kalau Aiden sedang sakit? Seharusnya kamu sebagai calon ibunya khawatir dengan keadaan Aiden, bukan malah seperti ini," balas Sandy geram.
"Apa kamu hanya menginginkanku? Tidak beserta Aiden?" selidik Sandy menatap dingin wanita di hadapannya.
Fara terkesiap, dia menggeleng cepat. "Tidak, sayang. Siapa bilang aku tidak khawatir, aku khawatir kok, lagipula sekarang Aiden sudah ditangani dokter 'kan? Pasti sebentar lagi akan sembuh," sahutnya membela diri.
"Sebaiknya kamu turun, membantu Moly menyiapkan bubur untuk Aiden," titah Sandy kembali merapikan dokumennya.
Fara mendengus melihat Sandy yang acuh padanya.
"Oke, baiklah," putusnya final, memilih mengalah menuruti ucapan Sandy.
Dia berbalik meninggalkan kamar Sandy dengan menggerutu, dia benar-benar kesal, niat hati ingin bermesraan dengan Sandy justru gagal.
Sandy hanya geleng-geleng kepala melihat sikap Fara, dia selalu berfikir apa pilihannya sudah benar dan tepat dengan menjadikan Fara sebagai istri dan ibu untuk Aiden?
Apa Fara bisa menjadi ibu yang baik untuk Aiden? Atau malah sebaliknya? Karena sebenarnya diapun tidak yakin atas perasaanya terhadap Fara.
Waktu itu dirinya melihat Aiden yang sepertinya sangat membutuhkan sosok seorang ibu, karena saat itu dirinya tengah dekat dengan Fara, lantas dia mengatakan pada Fara apakah dirinya mau menjadi ibu sambung untuk Aiden. Dengan antusias Fara setuju, dan mengklaim bahwa dirinya calon istri dari seorang pengusaha kaya raya Sandy Van Houten.
Sandy saat itu bahkan tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Fara, atau mungkin sampai saat ini perasaan itu masih sama tidak berubah dan bertambah.
Fara duduk di ruang makan menunggu Moly yang sedang membuat bubur sumsum, sama sekali dia tidak berniat untuk melihat atau membantu, dia memilih untuk membuka aplikasi sosial media di ponselnya.
Sekitar sepuluh menit, Sandy turun dari kamarnya di lantai dua, dia melihat Fara yang sedang asik bermain ponsel bahkan sesekali tertawa. Sandy hanya geleng-geleng kepala. Hatinya selalu berdoa, semoga dia tidak salah pilih, dia berharap ini yang terbaik untuk Aiden.
***
Malamnya, Aiden terus saja mengigau memanggil nama Bunda.
Dokter segera memeriksa keadaan Aiden dan terus bergumam menyebut Bunda.
"Panasnya semakin tinggi, masukkan obat melalui infus," ucap dokter segera dilaksanakan oleh suster yang mendampinginya bertugas.
"Dimana Bundanya?" tanya Dokter.
Semuanya terdiam.
Dokter bingung melihat keempat orang dewasa ini diam, pikir dokter mungkin terjadi masalah keluarga.
Mengembuskan nafas. "Saya sarankan membawa Bundanya kesini, siapa tahu dengan kehadiran Bundanya Aiden bisa sembuh. Tolong jangan pikirkan ego kalian, tapi pikirkan kesembuhan Aiden," ujar dokter seraya berlalu meninggalkan ruangan.
"Apa tidak sebaiknya memanggilnya, San?" usul Laras menatap cucunya yang bergumam dengan mata terpejam.
Fara berbisik pada Sandy, "Tidak perlu memanggilnya, bukankah Dokter sudah memberikan obat tadi, kita tunggu sampai besok pagi," usulnya.
Sandy sebenarnya tidak tega melihat keadaan Aiden, tapi ucapan Fara mempengaruhi niatnya yang akan membawa Bunda bertemu Aiden.
"Kita tunggu sampai besok pagi, Ma. Semoga panas Aiden menurun," jawab Sandy kemudian.
Laras tidak menyahut, hanya menatap ke arah cucunya yang terlihat pucat.
*
Paginya Aiden sama sekali tidak mau makan serta meminum obatnya, dia selalu merengek meminta bertemu dengan Bunda.
"Aiden, dia bukan siapa-siapa kita? Jadi jangan terus-terusan memintanya kesini," bentak Sandy yang frustasi mendengar rengekan anaknya.
"Sandy, jaga bicaramu!" hentak Laras tak kalah keras.
"Kamu lupa, Aiden sedang sakit, apa salahnya meminta Stella kesini? Kau terlalu egois Sandy," sungut Laras yang jengah dengan sifat putranya yang menganggap enteng penyakit cucunya.
Tiba-tiba Aiden kejang, matanya berubah juling, Laras segera menekan tombol darurat, beberapa dokter datang dan memeriksa.
Selama kejang, Aiden terus saja menyebut Bunda walau lirih namun masih terdengar oleh dokter.
"Apa Bundanya masih belum kesini?" tanya Dokter memastikan.
"Sebentar lagi, Dok," jawab Laras berbohong.
"Sebaiknya cepat bawa Bundanya kesini, Nyonya. Kasihan Aiden, tubuhnya semakin melemah, disamping panas, mungkin dirinya juga rindu dengan Bunda, sosok ibu sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini, sesekali bayangkan jika anda di posisinya," terang sang Dokter seraya memeriksa tubuh Aiden dengan stetoskop.
Setelah memberikan suntikan kepada Aiden, dan memastikan Aiden tidak lagi kejang dokter pamit undur diri.
"Biar Papa yang mencari Stella." Vero beranjak dari posisinya, tidak tega melihat kondisi cucunya yang seperti itu.
"Tunggu, Pa," cegah Sandy. "Biar Sandy yang mencarinya," sambungnya kemudian.
"Tapi, San —" Fara hendak memprotes.
"Ini demi Aiden, kamu di sini saja," Sandy merogoh sakunya, mengambil ponsel guna menghubungi Alvin seraya berjalan keluar dari ruang inap Aiden.
"Siapkan mobil, saya keluar dari rumah sakit, segera."
"Baik, Tuan."
Setelah sampai di loby, Sandy kembali mendial nomor guna menghubungi seseorang.
"Halo, Tuan."
"Pak Udin, bapak tahu dimana Stella tinggal?"
"Tidak, Tuan. Tapi sepertinya guru pengajar Tuan Muda tahu."
"Terimakasih, Pak Udin."
"Sama-sama, Tuan."
"Kita ke sekolah Aiden," titah Sandy ketika sudah duduk di dalam mobil.
"Baik, Tuan," jawab Alvin segera melajukan kendaraannya.
Sekitar 30 menit Sandy sampai di sekolah Aiden dan langsung menemui Bu Dewi, memang benar Stella sempat meninggalkan kartu nama dan Sandy sangat beruntung.
Setelah berbincang sebentar, serta Bu Dewi yang mendoakan agar Aiden cepat sembuh, Sandy bergegas menuju alamat yang tertera pada kartu di tangannya.
Sandy membaca kartu tersebut, di sana tertulis.
"Stella Boutique"
Lengkap dengan alamat serta nomor pribadi.
~••~