Mereka terpaksa menikah meski sudah berjanji tidak akan menikah lagi setelah menjanda dan menduda untuk menghormati pasangan terdahulu yang sudah tiada.
Tetapi video amatir yang tersebar di grup RT mengharuskan mereka berada dalam selimut yang sama meski sudah puluhan tahun hidup di kuali yang sama.
Ialah, Rinjani dan Nanang, pernah menjadi cinta pertama dan hidup saling membutuhkan sebagai saudara ipar. Lantas, bahagia kah mereka setelah menyatu kembali di usia kepala lima?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara Api Senyummu
Seusai makan malam, Rinjani langsung menggiring anak-anak cilik Nanang ke kamar mereka sebelum semua anaknya menggunjingkannya di depan suami yang tak diharapkan itu.
“Malam ini tak ingin aku sendiri, ku cari damai bersama bayanganmu. Hangat pelukan yang masih ku rasa... kau kasih, kau sayang.”
Rinjani menutup kedua telinganya ketika lagu Dian Piesesha itu Nanang dan anak-anaknya nyanyikan sebagai pembuka karaoke keluarga saat dia berusaha mendongeng demi menidurkan si kecil.
“Ini yang tidak aku sukai dari perayaan pesta pernikahan yang dihadiri anak dan mantu. Apa itu nyanyi-nyanyi. Apa tidak putus tenggorokan Nanang, nyanyi-nyanyi terus. Gayanya selangit.”
“Jana... Jani... Sini... Bapak punya mainan baru... Lalala... Lilili...” kata Nanang dengan nada.
“Sini sayangku... Jana... Jani...”
Panas, telinga Rinjani panas. Mungkin butuh pemadam kebakaran untuk menjinakkan api yang berkobar-kobar di tubuhnya hingga membuat Anjana dan Anjani gegas turun dari ranjang. Nanang terus memanggil.
“Bude... ayow itut aku.” Anjana menarik-narik daster ibu barunya.
“Bude... Itut gak?”
Rinjani tidak mau sepeserpun membuka telinganya. Jadi anak-anaknya pergi menemui Bapaknya yang terlihat bahagia sekali.
“Mana Budhe?” kata Nanang.
Anjana memeragakan kelakuan Rinjani di kamar, tutup kedua telinga sambil memejamkan mata.
Nanang tergelak. Ditetapkanlah godaan untuknya terus berlanjut. “Masih ada butir rindu di hatiku dalam kisah-kisah indah kenangan itu di penatu Bu Rosmini.”
Rinjani merasa warna hidupnya abadi, tidak luntur menjadi abu dan samar. Warna itu tetap ada walau tidak komplit.
“Tiga puluh tahun lebih, dan dia masih mengingatnya? Kasian Sakila.”
Rinjani tampak agak gelisah karena putri kecilnya yang bisa di anggap cucu hilang.
“Kenapa mereka tumbuh terlalu cepat dan lincah? Persahabatanku dengan kasur ini jadi tidak langgeng. Putus terus.”
Rinjani meninggalkan kamar bercat putih dan kombinasi warna merah muda itu dengan lemas untuk mendatangi pesta pernikahannya demi kesopanan daripada kesenangan sebab pesta itu mulai ramai oleh sanak keluarga. Tetapi ketika semua orang melihatnya muncul di ruang keluarga, semua diam seolah kehadirannya masih menjadi monster yang mencengangkan.
“Tidak jadi tidur awal?” Nanang memulai percakapannya sambil meletakkan mikrofon di meja tv.
Rinjani melayani bentuk percakapan sepele itu dengan senyuman canggung dan muram. “Anak-anakku kabur dan sebelum mereka tidur aku tidak bisa tidur lebih awal. Dan itu gara-gara siapa, Pak? Anda!”
Rinjani menunjuk bahunya sebelum berlalu untuk menyapa saudara-saudaranya yang lebih sepuh karena bagaimanapun pertengkarannya dengan Nanang harus ditunda dulu, harus di beri sedikit pemanis sebagai tameng keresahan hatinya dan kesopanan.
“Maaf lho ini, Mas, Mbak. Tidak ada maksud apa-apa saya tidak mengundang acara tadi siang, semuanya...”
“Serba mendadak?” tukas kakak Nanang dari istri ketiga ayahnya dan merupakan adik ipar Rinjani kemarin. Atau sekarang mungkin semua serba rumit, Rinjani turun tahta. Dari kakak ipar menjadi adik ipar. Aduh kasian, harus siap lembah manah alias rendah hati, sabar dan tidak khawatir perasaannya itu.
Rinjani mengangguk. “Saya minta maaf sudah buat gaduh lagi suasana rumah ini. Risikonya pasti berat di perusahaan dan tali persaudaraan. Saya minta maaf.”
Kakak-kakak Nanang dan adik-adik mendiang suaminya yang tidak lagi menganggap semuanya harus serba sempurna, tersenyum kecil.
“Kalau bukan karena usia, mungkin kami tidak menerima kenyataan ini. Jadi sekarang Rinjani ini mau di panggil Mbak atau Dik?”
Rinjani menggerutu dalam hati. ‘Kalau bukan karena status, aku lebih suka di panggil adik daripada Mbak dulu.’
Rinjani menarik kursi sedikit lebih dekat ke arahnya dan berkata, “Adik saja biar aku awet muda.”
“Kalau bagi kami kamu itu awet muda, apalagi buat Nanang. Arjuna itu sudah lama menantimu sampai gigi gerahamnya copot dua. Sudah ompong itu.”
Kenapa giginya Nanang harus di bahas? Gigimu saja sebagian gigi palsu, Mas.
Rinjani tersenyum. “Mau menginap di sini atau pulang?”
Nanang dari belakang mengangguk. Menginstruksi kakaknya.
“Oh iya menginap, acara pernikahannya belum selesai toh? Ada kamar kosong?”
“Banyak. Riri minta pelayan rumah untuk membersihkannya kalau begitu.”
Nanang mengangguk. Si kakak nurut. Pergilah Rinjani ke rumah belakang yang digunakan para pelayan untuk berlindung dari panas dan hujan.
“Aku minta tolong Mas... Mas nanti pergunakan semua kamar untuk singgah kecuali kamar Mas Kay. Bisa toh?” bujuk Nanang.
Sorakan terdengar meriah ketika Nanang melanjutkan, “Biar tidur sama anak-anakku.”
“Anak-anakmu atau kamu?”
“Dua-duanya boleh asal dia mau.”
Anak-anak Rinjani yang mendiami karpet di depan televisi tergelak. “Tapi Bunda itu baru jadi macan, batu akiknya saja kalau bukan karena kebelet ke kamar mandi, tidak mungkin di lepas. Tapi katanya lama-lama berat.”
Nanang menghela napas. “Ini tidak mudah bagi dia karena Masku adalah segala-galanya baginya. Hanya saja, aku juga mau cari kesempatan sedikit saja walaupun cuma pelukan.”
Yang mendengar otomatis tertawa lagi. Bayang-bayang akan pelukan di usia tua dan tidak ada cinta yang membara itu terasa menggelitik perut.
“Paling-paling Om nanti yang di damprat Bunda sama seperti Jalu tadi siang. Kapok dia sekarang?” tanya Dalilah.
“Trauma.” kata Nanang. “Minta di usir ke rumah neneknya satu Minggu dia. Habis itu minta di jemput, takut dilupakan.”
Tawa kembali mengisi rumah Nanang yang tidak pernah sepi. “Tapi benar kata Bunda tadi, Om. Kalau videonya terus tersebar luas, risikonya besar.”
Nanang tampak belum ingin mengambil tindakan mengenai videonya di jagat maya. Dia masih asyik-asyik saja menikmati perjalanan hidupnya karena setelah pelayan rumah membersikan kamar-kamar kosong dan memasang seprai bersih, bubar sudah pesta pernikahan mereka. Satu persatu sanak keluarga dan anak-anaknya mengisi kamar-kamar yang disediakan sesuai instruksi Nanang.
Rinjani menghela napas. Tidak menginginkan malam datang begitu cepat dan anak-anaknya mulai mengantuk sebab malam itu akan menjadi malam pertamanya dengan pria yang membasuh wajah putri kecilnya dan mengganti pakaian mereka dengan baju tidur bersih.
“Arunika dan Swastamita sudah ke kamar, Ri?” kata Nanang setelah membopong si kembar cilik ke ranjang.
“Besok kalau Jana Jani sudah besar, kasur ini jangan dipindah ke gudang, Ri. Mau aku museumkan.”
Rinjani tahu maksudnya, cuma dia acuh tak acuh karena perlu menengok kamar si kembar besar.
Rinjani tersenyum waktu si kembar besar menyadari keberadaannya di tengah-tengah kesibukan mereka menata jadwal sekolah.
“Besok kalau di sekolah dengar kabar tidak sedap tentang Budhe dan Bapak, bilang saja itu hanya untuk konten video Mas Jalu biar ramai. Oke?”
Arunika dan Swastamita mengendikkan bahu. “Mas Jalu bikin video apa, Budhe? Viral memangnya sampai jadi kabar kurang sedap?”
Nanang muncul kemudian ketika Rinjani paham mereka belum tahu fakta terkini tentang Bapaknya.
Nanang tersenyum ketika masuk ke kamar si kembar besar.
“Kembar kecil cari kamu, Ri. Minta dikeloni.”
‘Asal bukan kamu saja aku siap.’ Rinjani memberi tatapan bombastis side eye sebelum lalu dari kamar si kembar besar yang bernuansa warna jingga.
“Tidur di rumah Mas Kaysan nanti jadi tanda tanya. Kalau tidur di sini nanti tahu-tahu ada yang peluk sembarangan gara-gara anak-anak hilang. Aku bikin tenda saja apa ya di taman? Pakai tenda kemping?”
-