Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 6 Cara Membalas Kebaikan
Edwin kembali ke ruang rawat Ibu Della bersama dua orang perawat yang akan memindahkan wanita paruh baya itu ke ruang VIP. Andini dan Bima sempat melarangnya namun setelah mendengar biaya rumah sakit akan di tanggung oleh Edwin merekapun setuju karena ruang rawat VIP fasilitasnya lebih bagus dan lengkap.
Andini juga sudah diberi tahu oleh perawat bila biaya tunggakan rumah sakit Ibu Della dan biaya lainnya sudah dibayar oleh Edwin.
Andini senang bercampur haru bertemu orang baik seperti Edwin yang mau menolong dirinya dan membantu membiayai rumah sakit ibunya.
Bima menatap Edwin menyesal karena sudah meragukan pria itu, ia malu, namun ia juga bersyukur sama seperti Andini. Bima tentu saja langsung meminta maaf pada Edwin atas sikapnya yang tidak mengenakan.
Andini diminta oleh Bima untuk menunggu Ibu mereka karena lelaki itu hendak membeli makanan diluar jadilah di ruangan rawat Ibu Della hanya ada Andini, Edwin dan Ibu Della yang terbaring koma.
"Apa alasan anda melakukan semua ini, Pak? Kita bahkan tidak saling mengenal," ucap Andini disaat mereka tengah duduk berdua disofa diruang rawat Ibu Della.
Edwin menoleh pada Andini yang duduk di sebelahnya namun jarak mereka cukup berjauhan. Dilihatnya Andini sedang menatap padanya menantikan jawaban darinya. Sudut bibir Andini terdapat plester yang menempel, menutupi sudut bibir yang tadi terluka.
"Menolong itu tidak harus pada orang yang kita kenal melainkan pada orang yang membutuhkan bantuan," kata Edwin.
Andini tertegun menatap takjub pada sosok pria di sebelahnya. Edwin benar-benar menjadi penolong untuknya, entah apa jadinya bila tadi Edwin tidak ada di sana Andini pasti sudah kehilangan kesuciannya dan juga mendapat siksaan dari Louis.
"Bagaimana cara saya membalas kebaikan anda, Pak?" tanya Andini kemudian.
"Tidak ada," jawab Edwin.
"Jangan seperti itu, Pak, saya merasa tidak enak bila tidak membalas kebaikan anda."
"Saya tulus menolong kamu dan membantu membayar biaya rumah sakit ibu kamu."
"Walau anda mengatakan seperti itu, tapi saya tetap merasa tidak enak, Pak."
"Lalu kamu ingin saya seperti apa? Meminta imbalan padamu?" tanya Edwin menatap Andini yang tengah mengigit bibir bawahnya.
Sejujurnya Andini juga tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Edwin oleh sebab itu Ia tadi bertanya.
"Terserah anda, Pak, saya bersedia melakukan apa saja untuk membalas kebaikan anda asalkan tidak meminta kesucian saya," ucap Andini kemudian.
Edwin menganggukan kepala, ia paham apa yang Andini maksud. Gadis itu ingin membalas kebaikannya namun tetap ingin menjaga kesuciannya.
"Baiklah saya akan meminta sesuatu dari kamu tapi tidak sekarang, saya akan memintanya nanti kalau saya membutuhkannya."
Andini menggangguk, cukup lega mendengar Edwin akan meminta sesuatu darinya. Andini jadi tidak terbebani oleh kebaikan pria itu dan semoga permintaan Edwin tidak memberatkannya.
Edwin kembali menatap Ibu Della yang masih terbaring koma, setelah mendengar penjelasan Andini ia jadi semakin yakin keputusan menolong gadis itu sudah tepat. Uang yang ia miliki jadi bermanfaat untuk orang lain.
Edwin menoleh pada Andini yang terlihat canggung duduk disofa yang sama dengannya. Sudut bibir Edwin tertarik, ia tersenyum tipis melihat kecanggungan Andini mungkin gadis itu ingin mengajaknya mengobrol tapi tak tahu apa yang hendak dibahas.
Pada akhirnya Edwin berinisiatif mengajaknya mengobrol lebih dulu sembari menunggu Bima yang sedang mencari makanan untuk mereka.
"Siapa nama kamu?"
"Andini, Pak."
"Ahh iya, saya tadi mendengar nama itu saat kakakmu memanggilmu. Berapa usiamu?" tanyanya lagi.
"20 tahun, Pak."
"Muda sekali, kamu seperti anak saya saja," kata Edwin sambil terkekeh.
Andini tertegun melihat Edwin yang terkekeh. Edwin bukan hanya tampan, dia baik dan juga ramah, buktinya dia mau terkekeh saat bersamanya padahal mereka baru saling mengenal.
"Memangnya usia anda berapa, Pak?" tanya Andini balik.
"Hampir dua kali usia kamu," jawab Edwin kembali menoleh pada Andini.
"Hah? Yang benar, Pak?" tanya Andini tak percaya pasalnya wajah Edwin terlihat masih muda seperti pria berusia 25-30 tahunan dan Andini pikir Edwin masih berusia 28 tahun.
Edwin mengangguk mengisyaratkan bila ia tak berbohong mengenai usianya yang hampir kepala 4.
"Saya pikir usia anda 28 tahun, Pak," ucap Andini polos membuat Edwin seketika tergelak. Edwin tak menyangka bila dirinya terlihat 7 tahun lebih muda dari usia sebenarnya.
"Kamu ada-ada saja Andini, usia saya hampir kepala 4 mana mungkin saya seperti pria berusia 28 tahun," ucap Edwin.
"Tapi benar, Pak, Anda sungguh seperti pria berusia 28 tahun," ucap Andini lagi.
"Sudah Andini kamu masih saja mengira saya masih muda. Saya sudah tua dan juga sudah menikah," ucap Edwin.
Andini mengangguk mengiyakan perkataan Edwin tapi tidak bisa ia pungkiri bila dirinya sedikit kecewa setelah tahu pria tampan yang sedang bersamanya sudah menikah.
'Ya, jelas saja sudah menikah, usianya saja hampir kepala 4,' batin Andiri.
Andini pun hanya bisa mengagumi sosok Edwin yang sudah berjasa untuk dirinya, ia mana berani menyukai apa lagi ingin memiliki pria itu, rasanya tidak tahu diri sekali.
Tidak lama, pintu kamar rawat Ibu Della dibuka. Bima datang membawa kantong keresek berisi makanan dan minuman untuk mereka makan.
"Kak Bima beli apa?" tanya Andini.
"Kamu lihat saja sendiri." Bima meletakkan kantong kresek di tangannya keatas meja.
"Aku buka ya."
"Bukalah."
Andini pun membuka kantong kresek yang tadi Bima bawa, mengeluarkan isinya ternyata ada tiga porsi pecel lele dan 3 botol air mineral.
"Wahh, ini pasti enak, Kak," kata Andini pada Bima yang sedang menarik kursi.
"Kakak tahu kamu suka makan pecel lele jadi Kakak belikan itu," ucap Bima menduduki kursi yang baru saja ia tarik.
Kini Bima duduk menghadap pada Edwin dan Andini yang duduk bersisian di sofa.
"Silahkan, Pak, anda makan juga." Bima menyodorkan satu porsi pecel lele dan satu botol air mineral di hadapan Edwin.
Edwin mengangguk kemudian membuka kotak pecel lele miliknya untuk menghargai pemberian dari Bima. Merekapun makan bersama.
Edwin jadi teringat pada Mona, apakah istrinya sudah makan? Edwin khawatir Mona melewatkan waktu makannya, pasalnya wanita itu selalu sibuk dan makan setelah dirinya mengingatkan.
Helaan nafas keluar dari mulutnya. Ada perasaan rindu yang tak terkira, namun apakah Mona juga merindukan dirinya?
Melihat Edwin yang menghentikan makannya, Andini dan Bima saling pandang. Mereka jadi bertanya-tanya. Apakah Makanannya tidak enak? Apakah Edwin tidak menyukai pecel lele?
Ya, jelas saja Edwin tidak menyukai pecel lele karena itu makanan pinggir jalan dan Edwin pasti tidak pernah memakannya, itulah yang ada dipikiran Bima dan Andini.
"Apa makanannya tidak enak, Pak?" tanya Andini ragu-ragu.
Edwin menoleh pada Andini. "Oh, tidak. Makanan ini enak, saya suka." Edwin kembali melanjutkan makannya yang tadi sempat terhenti.
Tak lama mereka selesai dengan makannya. Edwin mengeluarkan kartu nama dari dompetnya lalu memberikan pada Andini.
"Saya pulang dulu, hubungi saya bila ada apa-apa dengan ibu kamu," ucap Edwin.
"Iya, Pak, terima kasih banyak," ucap Andini.
Edwin mengganggukan kepala kemudian pergi dari sana. Setelah memastikan Edwin pergi, barulah Andini berani membaca kartu nama yang Edwin berikan padanya.
"Edwin Pranata, CEO Restoran Hamara. Ini kan restoran tempat aku kerja."